Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (5)

By May 18, 2021No Comments

Mencemaskan, mengkhawatirkan, kadang konyol. Adriana teringat beberapa pengalaman yang pernah terjadi dengan Stella.

Rumah pernah hampir terbakar. Stella waktu itu berumur 6-7 tahun.

Ketika ia meninggalkan rumah untuk ke kantor, Stella tengah bermain-main dengan beberapa teman di kamar. Adriana memilih teman-teman Stella bermain di rumah daripada sebaliknya, Stella yang keluar rumah.

Baru beberapa saat di kantor, Adriana menerima telepon dari rumah. Ibu harus segera pulang, kata salah satu asisten.

Dengan panik Adriana bergegas meninggalkan kantor.

Apa yang terjadi, ia cemas luar biasa.

Ternyata bersama teman-temannya Stella bermain api. Obat nyamuk yang mengandung gas disemprotkan ke nyala korek. Mereka senang melihat semprotan gas berubah menjadi lidah api.

Lidah api menyambar entah apa. Ruangan membara.

Geger semua orang. Untung banyak yang sigap, termasuk satpam. Api bisa dipadamkan. Sampai rumah Adriana melihat separuh kamar telah menghitam.

Ia lemas. Rasanya mau pingsan.

Pada fase kelas menengah putrinya, Adriana menyekolahkan Stella di sebuah sekolah internasional. Berkali-kali ia dipanggil ke sekolah karena masalah Stella.

Stella sering absen dari pelajaran. Kabur atau nongkrong entah di mana. Dia menjadi kepala geng para cewek, namanya RASCAL. RASCAL adalah susunan huruf dari nama-nama anggota inti geng. S di tengah maksudnya Stella.

Dengan 1001 macam persoalan Stella lulus. Dia ingin melanjutkan sekolah ke Australia.

Adriana membujuk, mengapa tidak di Singapura saja. Dekat. Dalam pikiran Adriana, kalau Stella sekolah di Singapura ia lebih gampang mengawasi. Kalau perlu ia membeli apartemen biar setiap waktu dirinya bisa tinggal di Singapura menemani Stella.

No. Stella berkeras ingin sekolah di Melbourne. Teman-teman banyak melanjutkan ke Melbourne.

Adriana menghubungi agen yang mengurusi anak-anak Indonesia yang hendak sekolah di Melbourne. Selain mencarikan sekolah yang layak, dimintanya agen mencarikan apartemen bagi Stella.

Dari semula jantung Adriana berdegup lebih kencang setiap kali menerima telepon Stella dari Melbourne.

Ada problem apa nih….

“Ma, ternyata colokan listrik di Australia beda dengan di Indonesia. Bagaimana ini?” kata Stella melalui telepon saat pertama di Melbourne.

Adriana menarik napas panjang, antara lega, kesal, pengin tertawa, dan entah apa.

Ternyata cuma soal colokan listrik. Ia menyuruh Stella mencari alat yang bisa didapat di toko elektronik atau supermarket. Harganya murah hanya beberapa dollar. Ia tak tahu apa namanya tapi penjual pasti tahu. Yang pasti namanya bukan cireng atau bakpao, Adriana kesal.

Suatu saat Stella telepon tengah malam. Adriana deg-degan.

“Ma, saya ingin beli tv. Enaknya ukuran berapa inci?”

“Terserah my love aja berapa inci. Sesuaikan dengan ruangan. Tidak perlu membikin home theatre.

Setelah itu Adriana membanting diri di kasur.

Selain sekolah di Australia, Stella pernah bersekolah fotografi di Paris. Tidak selesai, karena merasa kurang cocok.

Ia merasa lebih cocok dengan penulisan skenario. Lalu mengikuti kursus script writing di Los Angeles.

Di luar itu entah apa lagi. Yang belum pernah sepertinya cuma kursus balap karung.

Soal pacaran tak kalah problematik.

Di Australia Stella pacaran dengan cowok dari Colombia.

Adriana geleng-geleng kepala. Mengapa cari cowok dari negeri sejauh itu, tanyanya. Ia selalu takut Stella akan kian jauh.

“Pelajari baik-baik. Jangan-jangan dia kartel narkoba,” Adriana menakut-nakuti.

Pernah pula di Jakarta ketika sibuk dengan pembuatan film (minat Stella berubah-ubah setiap waktu) Stella pacaran dengan cameraman. Cameraman ini cukup terkenal di kalangan film. Rumahnya di kawasan padat penduduk Jakarta Utara.

“Bisakah my love cari pacar yang rumahnya tidak jauh-jauh amat. Masuk gang lagi. Bakal repot,” kata Adriana.

“You’re Madonna,” sahut Stella.

Adriana bertanya-tanya, apa hubungan Madonna dengan dirinya.

“Material Girl,” ucap Stella sembari tertawa.

Bersambung

Leave a Reply