Dengan malas Adriana menyantap nasi kunyitnya. Matanya kembali memandang kejauhan, kabut di lapangan golf.
Ia merasa gloomy.
Tiba-tiba ingatannya melayang ke Blora. Ya, Blora. Daerah hutan jati di Jawa Tengah.
Ia tak pernah mampu menghindari perasaan sendu setiap kali ingat daerah itu.
Ketika itu perusahaan furniturnya melesat. Ia kelabakan memenuhi permintaan pasar luar negeri, khususnya Eropa.
Uang hasil depresiasi rupiah memang banyak. Sangat banyak bahkan. Itu pun kurang untuk memenuhi kebutuhan produksi yang melimpah.
Apa hendak kulakukan?
Harus ada langkah berani. Jual rumah di Menteng. Untuk tambahan modal.
Begitulah kemudian ia menjual rumah tersebut.
Baginya ini sekaligus “final shot” bagi masa lalunya dengan Lambang. Ia lenyapkan situs kenangan bersamanya. Arkeolog sekaliber Indiana Jones sekalipun tak bakal bisa menemukannya.
Betul kata orang, kesempitan bisa diubah jadi kesempatan. Kenangan tak berguna bisa disulap jadi modal usaha.
Adriana tertawa penuh kemenangan.
Tidak tanggung-tanggung, dia lalu memindahkan pabrik dari daerah pinggiran Jakarta, Ciputat, ke sentra industri mebel terkemuka Jepara di Jawa Tengah.
Ia menjadi raksasa. Selain kantor di Jakarta dia membuka kantor di Semarang. Ekspor dilakukan via pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
Dia wira-wiri Jakarta-Semarang-Jepara.
Kadang ke berbagai negara Eropa untuk bertemu buyers secara langsung.
Di luar kegiatan bisnis di luar negeri, tak jarang ia ambil bagian dalam lelang karya-karya seni dari balai lelang-balai lelang terkemuka seperti Christie’s dan Sotheby’s.
Inklinasi dia adalah pada modern & contemporary art.
Di kalangan para representative balai lelang di Asia dan Indonesia ia adalah nama tidak asing dan disegani.
Wawasan seninya terasah. Dia bergaul dengan para seniman dan kritikus.
Semasa remaja pernah bergabung dengan kelompok teater di bawah dramawan kenamaan.
Pernah sekali main film, dalam peran tak begitu penting.
Sekarang ini ia bersahabat dengan pemilik galeri terkemuka di Paris, Enrico Navarra. Nama ini yang memperkenalkan pelukis Jean-Michel Basquiat ke seluruh dunia.
Dalam semua hal, Lambang Adilukito kini tingginya tak lebih dari mata kaki Adriana.
Sering menginjak Jawa Tengah, Adriana jadi ingat warisan ayahnya. Tepatnya warisan kakek untuk ayah yang kini jatuh ke tangannya.
Warisan berupa tanah di kabupaten Blora, tempat asal kakek dan ayah dilahirkan.
Semasa ayahnya masih hidup tanah tadi terlupakan. Sebagai diplomat ayahnya berpindah dari satu pos ke pos lain di beberapa negara. Terakhir sebelum pensiun di kedutaan RI di Tokyo.
Bagaimana nasib tanah itu sekarang?
Adriana ingin menengok. Blora tidak terlalu jauh dari Semarang.
Dia menuju Blora. Jeep Cherokee-nya melaju ke timur, melintasi hutan jati.
Di dalam kabin mobil yang nyaman ada jaket jeans True Religion. Kacamata Dior. Tas merk LV edisi khusus dengan grafis garapan seniman New York, Stephen Sprouse.
Peri hutan jati nyingkir terusir aroma minyak wangi Baccarat Rouge.
Angin semilir sejuk. Adriana menikmati alunan lagu The Winner Takes It All.
Dia melihat tanahnya, sadar betapa luasnya. Tanah ini berada di antara hutan jati.
Kakek dulu amtenar kaya raya. Mungkin bagian dari golongan yang tidak disukai oleh pengarang asal Blora, Pramoedya Ananta Toer.
Adriana tersenyum sendiri. Ia penggemar berat karya-karya Pramoedya.
Dari dulu bagi Adriana Blora adalah wilayah eksotis.
Bisikan langit datang padanya siang itu.
Mengapa tidak aku garap tempat ini….
Selama ini ia merasa tidak pernah menemukan tempat yang pas untuk menjamu tamu-tamunya dari luar negeri.
Saya bisa membuka penginapan di sini setidaknya untuk tamu-tamu saya. Mengajak mereka menikmati eksotisme Blora.
Riwayat kolonialisme, perkebunan jati, stasiun tua, kereta api kuno yang kini dihidupkan lagi sebagai daya tarik wisata, ini semua akan disukai londo-londo Eropa.
Adriana senyum-senyum.
Dia sedang diberkati oleh Yang Kuasa, apa yang disentuh tangannya berubah jadi emas.
Dengan perencanaan matang, detil seperti sifat dirinya, dibantu arsitek kenamaan lulusan Belanda dari Semarang, ia mendirikan penginapan dengan 12 kamar di tempat itu.
Ia mengistilahkannya “pondok”. Pondok di tengah hutan jati.
Penginapan berkelas itu ia namakan Jati Inn.
Pada masa itu, begitu menginjak Blora, tanyalah Jati Inn.
Tidak ada satu pun makhluk hidup tidak tahu alamatnya, meskipun hanya satu-dua orang setempat cukup punya kepercayaan diri dan pernah menginjak tempat tersebut.
Bersambung