Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (9)

By May 23, 2021No Comments

Bulan ngambang di langit. Beberapa hari lagi puncak purnama.

Tiap kali kembali ke tempat ini Adriana merasa terinjeksi semangat dan gairah dosis tinggi.

Capai menempuh perjalanan Semarang-Blora sirna begitu ia tiba di sini.

Menjelang tengah malam seperti ini ia masih tergerak untuk melakukan ini itu, membereskan ini itu. Belum ngantuk juga. Ia minta seorang staf membikinkan teh panas. Ia ingin duduk menikmati teh sembari baca buku.

Bulan Juli, penduduk setempat menyebut masa bediding, malam lebih dingin dari biasanya.

Dari ruang bersantainya ia melihat tamunya di taman depan kamar. Kelihatan celingukan. Tampaknya ia melihat kemari. Adriana memberi isyarat menyapa dari kejauhan.

Sang tamu bisa melihat dengan jelas dari posisinya yang agak di kegelapan. Ruang Adriana terang benderang. Ia berjalan menuju tempat Adriana.

“Hai Adriana,” ucapnya santai langsung menyebut namanya. “Saya butuh corkscrew. Telepon ke resepsion tidak ada yang angkat,tambahnya menunjukkan botol wine di tangan.

“Oh ok. I’ll take it for you,” Adriana bangkit menuju pantry. “Saya ambilkan gelas sekalian.”

Langkahnya mempesona. Sama terpesonanya ia melihat ruangan ini. Dia memperhatikan lukisan besar dengan konfigurasi vertikal.

Adriana kembali dengan corkscrew dan gelas.

“Ini karya Chu Teh-Chun,” Bara berkomentar sembari menatap lukisan dengan kagum.

“Anda tahu seni rupa,” Adriana berucap senang.

Baru kali ini tamu di sini mengomentari lukisan. Pejabat dan orang-orang kaya di daerah mana tahu.

Ah, tidak apa, mereka cuma monyet berduit, begitu diam-diam Adriana menganggap para pejabat.

“Pelukis China. Tinggal di Perancis. Kalau tidak salah malah warga negara Perancis,” Bara berkomentar dengan mata tak beralih dari lukisan. “Jangan-jangan saya tersesat di istana peri hutan. Peri kontemporer.”

Adriana tertawa tergelak-gelak.

“Ini aromanya bukan kemenyan, tapi lavender,”sang tamu meneruskan.

Dia memperhatikan segala rupa hal, batin Adriana.

“Boleh duduk di sini kalau suka,” Adriana menawari.

“Tentu saja suka, tapi kenapa gelasnya cuma satu?”

Adriana menjadi agak kikuk.

“Siapa tahu tak berkeberatan. Klein Constantia. Saya sendiri belum pernah mencobanya. Dapat oleh-oleh dari teman sebelum saya berangkat kemari,” Bara menunjukkan botolnya.

Tamu ini sangat sophisticated, Adriana membatin.

“Biasanya saya suka chardonnay,” ucap Adriana.

Ia senang bertemu orang yang tahu wine. Katanya orang yang tahu wine pandai menyenangkan wanita. Ah, mengapa aku berpikir seperti ini, buru-buru Adriana menghapus pikiran tadi dari otak.

Dia menuju pantry mengambil gelas satu lagi.

Bara membuka tutup botol dengan cekatan. Begitu pun cara menuangkan wine ke gelas. Ia mempersilakan Adriana untuk mencoba.

Adriana mengangkat gelas, memutar pelan melihat reaksi wine pada dinding gelas. Lalu menyisipnya.

“So perfect,” ucap Adriana.

Bara menunjukkan muka gembira. Ia tuang wine di kedua gelas.

“Saya pernah membaca Pangeran Diponegoro dulu menyenangi wine Constantia dari Afrika Selatan ini,” ucap Bara.

Dia penuh referensi, kata Adriana dalam hati.

“Saya tidak mengira ada tempat seperti ini di sini. Istana perak di tengah hutan bukan metafora. It’s real,” Bara menyatakan kekaguman.

“Tadinya saya maksudkan untuk tamu-tamu saya saja,” kata Adriana.

Ia bertutur sekilas mengenai usaha furnitur serta pabrik di Jepara.

“Oohh pantas. Dari tadi saya perhatikan furnitur di sini. Termasuk yang di kamar. Itu semua produk Adriana?”

Adriana mengangguk.

“Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Bara di Blora, daerah jauh dari mana-mana ini?” Adriana tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia memanggil nama, mengikuti dia yang langsung memanggilnya Adriana. Tanpa embel-embel mbak pula. Saya lihat di ID lahir tahun 1966. Lebih muda enam tahun dari saya.

Bara tak segera menjawab.

“Saya ingin menemui seorang pendeta dari geraja Kristen Jawa di daerah ini,” jawab Bara dengan nada agak berbeda dari sebelumnya.

“Tentunya tidak ingin menggantikan kedudukan sebagai pendeta baru di sini,” Adriana bercanda.

Bara tersenyum tipis.

“Agak sulit menjelaskannya. Kalau saya katakan pun belum tentu Adriana suka mendengarnya.”

“Tidak masalah kalau berkeberatan mengatakannya,” tukas Adriana. “I don’t want to be too scrutinized,” tambahnya.

“Maaf,” Bara diam sejenak. “Ok, saya akan terus terang. Mudah-mudahan Adriana tidak akan lalu mengusir saya. Seluruh rakyat Indonesia tidak menyukai latar belakang cerita ini. Tapi saya pikir cerita seperti ini lebih baik tidak lagi disembunyikan.”

Mega berarak menutupi bulan.

Adriana kian ingin tahu.

Bersambung

Leave a Reply