Skip to main content
Cerita

Kuntilanak Palmerah

By February 11, 20225 Comments

Foto: Yuniadhi Agung /Model: Sarie Febriane

 

BUDIMAN, pimpinan tempat saya kerja di koran dulu, menelepon. Proyek pengalihan koleksi foto-foto lama ke medium digital hendak dilanjutkan lagi. Dia menawari apakah saya berminat ikut mengerjakannya.

Koleksi foto dalam bentuk cetakan baik hitam putih maupun berwarna dari koran kami jumlahnya jutaan, tersimpan dalam ruang sebesar hangar pesawat terbang. Memasuki era digital, koleksi yang merupakan harta karun luar biasa itu hendak dialihkan ke medium digital agar lebih praktis dan ringkas serta pengaksesan jadi lebih mudah.

Gedung penyimpanan bisa dijadikan mal atau apartemen.

Dulu sejumlah pensiunan dipanggil untuk mengerjakan pekerjaaan raksasa ini. Pekerjaan terhenti karena pandemi.

Kini, dengan mempertimbangkan situasi, proyek hendak dilanjutkan lagi.

“Yang mengerjakan 3 orang. Sampeyan, Jayeng, dan Heru,” kata Budiman.

Sebagai penganggur yang sehari-hari nglangut saya gembira mendapat tawaran tersebut.

Persoalannya saya tidak paham proses digitalisasi, tidak bisa, dan malas belajar.

“Tidak apa,” tukas Budiman penuh permakluman. “Tugas sampeyan cuma memverifikasi foto. Banyak foto misalnya foto tokoh tidak ada namanya. Hanya orang-orang lama yang tahu, maka untuk pekerjaan ini kami memanggil pensiunan. Yang melakukan proses teknis digitalisasi Jayeng. Dia jago. Heru melakukan pendataan,” tambahnya.

“Hanya kami bertiga?” tanya saya.

“Ya, hanya kalian pensiunan yang nganggur. Yang lain sibuk.”

“Baiklah,” saya menyambut.

(Budiman sering tampil di tv, maka saya menyambut dengan ucapan seperti sering diucapkan pemain sinteron: baiklah.)

“Kapan mulai?” saya bertanya.

“Besok.”

KEESOKAN hari saya berdandan rapi berangkat ke kantor. Biasanya jangankan berpakaian rapi, bahkan mandi pun jarang. Tinggal di daerah dingin Puncak sehari-hari saya bersarung dan berjaket. Istri menganggap penampilan saya seperti penjaga villa.

Kaget saya melihat Palmerah. Lingkungan yang dulu sebegitu hidup, hangat, gayeng, vibrant, kini sepi seperti Eldorado ditinggalkan para penambang emas.

Saya melangkah masuk gedung tempat kerja saya dulu.

Serasa memasuki karang hantu.

Jayeng dan Heru sudah tiba, berada di sudut ruang, satu-satunya wilayah yang lampunya menyala.

Untuk penghematan listrik tempat-tempat lain dibiarkan gelap.

“Akhirnya kamu datang. Pekerja macam apa kamu, hari pertama saja terlambat,” Jayeng berkata.

Dia menjadi sesepuh proyek.

Heru cuma senyum-senyum, asyik dengan pekerjaannya. Dari dulu dia begitu. Pekerja yang rajin.

Jayeng mengangsurkan tumpukan foto kepada saya.

“Nih, kamu lihat satu persatu. Foto-foto orang tidak ada namanya. Kamu namai, nanti didaftar Heru, terus aku input ke komputer,” kata Jayeng menerangkan mekanisme kerja kami.

Saya melihat foto satu persatu.

“Itu siapa. Cewek cantik banget,” tanya Jayeng menunjuk foto yang saya pegang.

“Gloria Estefan,” jawab saya.

“Sopo kuwi?” tanya dia dalam bahasa Jawa.

“Penyanyi dari kelompok Miami Sound Machine. Ini foto waktu saya mewawancarai dia di Ancol tahun 84,” saya menerangkan.

Saya ceritakan padanya, sebelumnya namanya Gloria Fajardo. Asal Cuba. Tahun 60an saat Cuba jatuh ke tangan rejim komunis di bawah Fidel Castro keluarga dia kabur ke Amerika, ke Miami, daerah paling dekat dengan Cuba.

Gloria yang waktu itu masih remaja tinggal di daerah kumuh di Miami, tempat para pengungsi.

“Sekarang jangan tanya. Saya pernah ke Miami. Rumah dia di kawasan paling mahal, menghadap laut dilengkapi dermaga kecil. Dari situ dengan speedboat ia bisa kemana saja. Kalau mau bisa sampai Pantai Baron Gunung Kidul,” saya menyebut daerah asal Jayeng.

“Wolak-waliking jaman,” Jayeng menukas.

Karena ada pendengar, saya tambah semangat bercerita.

Sewaktu mengunjungi Miami saya melacak bagaimana penyanyi yang saya kagumi ini  bertumbuh. Saya datangi kawasan tempat para pengungsi Cuba dulu, di belakang Orange Bowl Stadium.

Di situ saya melihat gedung-gedung kumuh, berbeda 180 derajat dibanding gedung-gedung bergaya art deco di kawasan terkenal Miami, South Beach, tempat Gianni Versace ditembak mati.

Konon di situlah dulu tempat penampungan para pengungsi Cuba.

Kepada perempuan tua yang saya tengarai sebagai orang Cuba, saya menyapa dan bertanya apakah dia tahu nama Gloria Estefan.

“Tentu saja,” jawab perempuan itu ramah, yang kemudian dari saling memperkenalkan diri saya tahu nama dia Maria.

“Dulu dia tinggal di sana. Setiap hari ia main gitar dan nyanyi,” kata Maria menunjuk gedung tua berlantai dua. “I love her,” lanjutnya.

“I love her too,” saya menimpali tak mau kalah.

Maria tertawa.

“Everybody loves her,” ucapnya.

Saya ingat ucapan Gloria Estefan tatkala saya wawancara di Jakarta.

“I’m communicating who I’m, and who the Hispanics are, and what Latin music means and what we have to offer to the world.”

Banyak hal yang berbau Amerika Latin menyihir saya.

Dalam sastra saya menggemari Gabriel Garcia Marquez.

Baik Marquez maupun Estefan bagi saya sama-sama menghembuskan gairah Caribbean.

“Kamu sebagai wartawan agak lumayan. Nilai kamu 6,” Jayeng menyela. “Kalau ini siapa?” dia menunjuk foto lain lagi.

“Oh, ini Art Garfunkel,” jawab saya.

“Penyanyi juga?”

“Ya.”

“Kamu wawancara juga?”

“Ya. Di Singapura waktu dia tampil di Kallang Stadium bersama rekan duetnya, Paul Simon.”

“Sudah tua.”

“Ya, dia lahir tahun 41 di New York. Tanggal lahirnya sama dengan saya. Hanya umur beda jauh. Saya mewawancarai dia tahun 85. Waktu itu umur saya 23 tahun.”

“Apa yang kamu tanyakan?”

“Iseng-iseng saya tanya pengalaman apa yang kamu ingat ketika kamu umur 23 tahun.”

“Dia jawab apa?”

“Dia kaget. Mungkin tidak ada wartawan bertanya segoblok itu.”

Jayeng tertawa.

“Tapi tiba-tiba wajah dia berubah. Ia tampak senang. Ingatannya luar biasa. Ia bercerita pada umur 23 dia mengadakan show di Tokyo Dome. Tiket terjual 48.000 seat. Diingatnya pula tahun itu ia pergi sama ibunya ke Israel. Bayangkan, ketika bercerita pada saya umur dia 44 tahun. Ia menceritakan apa yang ia jalani pada usia 23 tahun dengan bagus dan lengkap. Saat saya umur 23 tahun, disuruh mengingat pacar saat umur 21 pun saya tak sanggup.”

“Soalnya kamu orang tidak keruan. Untung kamu diperbolehkan Pak Jakob kerja di sini,” ucap Jayeng.

Saya renungkan betul juga ucapannya.

Hanya tentang Art Garfunkel saya memang sangat terkesan dengan memorinya.

Saya sempat mengujinya dengan bertanya, buku apa saja yang dia baca 5 tahun terakhir.

Dengan seketika ia menjawab dalam 5 tahun terakhir dia membaca 133 buku, 26 di antaranya ia sebut sangat mengesankan.

Ia menyebut satu persatu judul 26 buku tersebut beserta pengarangnya.

Lintang pukang saya mencatat (saya tidak pernah melakukan wawancara dengan tape recorder, tapi mencatat di notes).

Yang sempat saya catat cuma Ulysses oleh James Joyce dan The Sheltering Sky oleh Paul Bowles karena kedua buku itu saya membacanya.

The Sheltering Sky diangkat ke film dengan bintang Debra Winger. Di film terlihat sekilas rambut kemaluan Debra Winger saat adegan dicium bagian bawah pusarnya oleh John Malkovich.

Glekk.

Diselingi obrolan menyenangkan seperti itu kerja tak terasa.

Petang tiba.

Jayeng dan Heru bersiap pulang.

“Jangan lupa. Pukul 22.00 lampu dipadamkan. Gedung dikunci,” Jayeng memperingatkan sembari meninggalkan tempat.

Saya memilih tetap tinggal, ingin menikmati foto-foto lama.

Ada foto kerusuhan peristiwa Malari; Rendra baca puisi; Suzie Quatro main bas dengan berjaket kulit; Kusni Kadut di hadapan regu tembak; Jimmy Harianto mewawancarai penyanyi Rafika Duri; Efix Mulyadi main gaple; mbak Maria menunduk dalam doa sebelum nulis berita; dan lain-lain.

Teramat asyik dengan foto-foto lama, saya lupa waktu.

Tiba-tiba lampu padam.

Saya menengok arloji. Pukul 22.00.

Buru-buru saya mengemasi barang bersiap meninggalkan tempat.

Pada saat itulah mata saya menatap sudut ruang di mana kursi-kursi ditumpuk.

Foto: Yuniadhi Agung /Model: Sarie Febriane

Darah saya berhenti mengalir. Di atas tumpukan kursi saya lihat duduk wanita bergaun putih dengan rambut panjang terurai.

Sambar geledek, mengapa saya lupa bahwa kantor ini banyak hantunya.

Kini saya di ruang maha luas sendirian. Semua lampu telah dipadamkan.

Saya merapal doa.

Sosok yang saya lihat menghilang.

Dengan penerangan cahaya telepon seluler saya mencari jalan keluar.

Tiba-tiba sosok tadi muncul lagi.

Kali ini berdiri di atas meja.

Tak terlalu jauh jaraknya. Saya bisa memperhatikan secara detil. Rambut hitam terjurai dengan poni di dahi.

Ia bertelanjang kaki.

Terpengaruh pengarang Charles Bukowski yang memuja kaki wanita, saya memperhatikan kaki kuntilanak ini.

Kakinya bagus.

Seluruh bulu kuduk berdiri.

Foto: Yuniadhi Agung /Model: Sarie Febriane

Saya lari ke pintu.

Celaka dua belas.

Pintu terkunci dari luar.

Mengapa saya mengabaikan peringatan Jayeng.

Saya melihat jendela. Jendela bisa dibuka dari dalam.

Di seberang jendela rerumputan, lalu lapangan parkir.

Pada saat inilah saya memanfaatkan ilmu lompat harimau: meloncat jendela berguling di lapangan rumput.

PAGI berikutnya saya menelepon Jayeng. Saya ceritakan apa yang saya alami tadi malam dan minta izin tidak masuk.

Ngantuk. Semalaman saya tidak bisa tidur dihantui pengalaman menyeramkan.

“Ha-ha-ha…,” Jayeng tertawa. “Kamu percaya kuntilanak?”

“Lhah saya melihat sendiri. Duduk di tumpukan kursi, berdiri di atas meja, lalu jalan-jalan di lorong-lorong kantor.”

“Itu pekerjaan Yuniadhi Agung dan Sarie Febriane,” kata Jayeng.

“Apa?”

Kedua nama yang disebut Jayeng adalah fotografer dan wartawan.

Saya tahu keduanya adalah manusia cerdas.

“Apa kamu tidak memperhatikan kalau kuntilanak itu miirip Sarie?” kata Jayeng sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Saya coba mengingat kembali.

Memang benar mirip Sarie.

“Mereka menggunakan teknologi metaverse untuk menakut-nakuti kamu,” kata Jayeng.

“Apa itu metaverse?” tanya saya.

Meski sering mendengar orang mengucapkannya, saya tidak paham apa artinya.

“Begini. Kalau dari dunia nyata dialihkan ke dunia virtual, itu namanya virtual reality. Kalau dari dunia virtual dialihkan ke dunia nyata, namanya augmented reality. Nah, metaverse adalah gabungan keduanya, yang nyata dan tidak nyata jadi satu. Paham kamu?” ucap Jayeng.

Saya terpesona.

Belum pernah saya mendengar penjelasan segamblang ini.

Soal benar tidaknya saya tidak tahu, tapi pokoknya apa pun yang dikatakan teman Palmerah saya percaya.

Pantas kuntilanak itu rasanya saya akrabi.

Brengsek.

“Sekarang kamu ke kantor. Pekerjaan banyak,” Jayeng memerintah.

Segera saya mandi, siap-siap berangkat.

Awas, malam ini aku menunggu kemunculanmu.***

11/2/2022

Join the discussion 5 Comments

Leave a Reply