Skip to main content
Cerita

Lila Bhuwana

By July 19, 20214 Comments

Bambang Kusumo dari sebuah universitas terkemuka menghubungi saya. Dia minta kesediaan saya menjadi pembicara dalam perbincangan online mengenai “imajinasi (manusia) kota dalam sastra”. Dikirimnya jadwal, para pembicara lain, serta rancangan diskusi berupa pemikiran akademis lengkap dengan referensi dari Guenter Grass sampai Haruki Murakami.

Nyali saya menciut.

Saya katakan padanya gembira menerima ajakannya tapi tahu diri pikiran saya tidak sampai.

Kelihatannya dia jatuh iba. Dia bilang abaikan saja rancangan diskusi.

“Cerita apa saja, suka-suka,” ucapnya.

“Bisakah saya minta waktu untuk memikirkannya,” saya berkata padanya.

Ia mengiyakan.

Terlanjur mendengar kata “imajinasi kota”, bagaimana saya bisa mengabaikan atau melupakan begitu saja.

Paradoks melupakan: makin berusaha melupakan akan semakin memikirkan.

Imajinasi kota, pikiran saya tak terkendali.

Menyusuri buku-buku, agar tidak mempermalukan diri sendiri andai saya memutuskan bersedia jadi pembicara nanti.

Sia-sia, makin keras saya berpikir saya merasa kian tidak kemana-mana.

Saya malah ingat Min Kebo yang mengembara di jalanan kota lama.

Saya menyerah.

Beli martabak. Menikmatinya sambil minum bir.

Tiba-tiba saya ingat Lila Bhuwana.

Entah kenapa suasana pasar senggol di pusat kota Denpasar puluhan tahun lalu itu melintas di otak.

Mungkin karena martabak dan bir.

Kebiasaan makan martabak dan bir terbentuk dari situ.

Itulah tempat nongkrong bersama teman-teman, saat kami merasa menjadi seniman cukup dengan modal rambut gondrong.

Di tengah masa kuliah ketika merasa tidak tahu mau apa dan meragukan apa saja, saya ke Bali, tersedot oleh pesona romantiknya.

Sahabat yang terlebih dulu tinggal di Bali terus menerus membujuk agar saya pindah ke Bali. Bersama saya, bujuknya. Mengulang masa di Salatiga.

Jadilah saya menyusulnya. Tinggal di rumah kontrakan di banjar Hyang Batu di Denpasar.

Sehari-hari menulis.

Menulis apa saja, dikirim ke koran dan majalah mana saja.

Tiap Minggu ke pasar Suci. Di situ banyak agen koran dan majalah.

Langganan kami kios koran/majalah “Agung”.

Kami akrab dengan pemiliknya, Mbak Tris.

Mbak Tris bahkan akan menyimpan koran atau majalah yang memuat tulisan kami.

“Ini, aku simpan untuk kalian,” begitu dia berkata dengan logat Malang.

Dia berasal dari Batu, Malang. Pindah ke Bali mengikuti suami, orang Bali. Namanya Agung yang menjadi nama kiosnya. Ketika kami mengenalnya, sang suami telah meninggal.

Dunia terasa menjadi milik kami ketika tulisan dimuat di media massa.

Seluruh manusia di planet Bumi kami curigai membaca tulisan kami.

Setelah itu honor tiba, dikirim via wesel.

Saatnya merayakan dengan makan-makan di nite life Denpasar ketika itu, Lila Bhuwana.

Lila artinya senang, bhuwana artinya dunia atau tempat.

Tempat yang menyenangkan.

Di pasar kaget lapangan tengah kota tersebut saya dan sahabat tadi begadang sampai pasar bubar lewat tengah malam. Kadang ditambah teman-teman lain sesama pemimpi.

Di dekat situ ada kantor koran. Beberapa wartawan biasa nongkrong di tempat yang kami juluki Libanon ini.

Sempat naksir cewek, penari dari Tabanan.

Pernah pula jumpa penulis terkenal. Namanya Gerson Poyk.

Saya ingat, salah satu cerpennya menceritakan suasana Lila Bhuwana malam hari.

“Kamu sepertinya juga akan jadi penulis terkenal,” kata Mbak Tris pada saya.

Hubungan saya dengannya menjadi sangat dekat.

Saya sangat bahagia dia membaca tulisan saya.

“Jangan-jangan kalian saling naksir,” ucap sahabat saya. “Asmara Suci. Mustinya jadi judul puisi atau cerpen, ha-ha…,” lanjutnya diiringi tawa sampai terguling-guling.

Ketika punya uang berlebih karena mendapat honor tulisan saya sering mengajak Mbak Tris keluar jalan-jalan.

Kemana lagi kalau bukan ke Lila Bhuwana. Berboncengan vespa butut tahun 62, menyusuri Denpasar laksana menyusuri Roma seperti adegan film Roman Holiday. Tangannya melingkar di pinggang saya. Rambutnya berkibar-kibar ditiup angin dewata.

Beberapa kali kami nonton film di bioskop di dekat situ, namanya Lila Bhuwana Theatre.

Oh ya, satu hal yang harus saya ceritakan, Mbak Tris adalah penyanyi keroncong. Suaranya merdu. Bersama kelompok keroncongnya ia berlatih seminggu sekali di kediaman pimpinan keroncong di daerah Renon.

Sering saya menemani.

Mendengar alunan suara dia, dan berdebar tatkala sambil menyanyi ia melirik saya.

“Matek aku…” ucap saya menirukan kata yang sering ia ucapkan.

Lagu favoritnya adalah Segenggam Harapan.

Sayang, hubungan kami terputus ketika saya kemudian pindah, meninggalkan Bali bekerja di media besar di Jakarta.

Dunia berubah.

Irama hidup Jakarta membuat saya tidak lagi mampu memegang kehangatan sebelumnya—kehangatan Lila Bhuwana.

Mengunjungi Bali pun saat itu saya sudah tak sempat lagi.

Segenggam harapan merucut dari tangan.

Saya jadi mesin.

Ketika bertahun-tahun kemudian saya bisa wira-wiri ke Bali lagi, kios-kios koran di Suci sudah tak ada lagi.

Kemana kios Agung? Kemana Mbak Tris?

Sahabat yang dulu sama-sama tinggal di Hyang Batu juga tidak tahu.

“Tidak tahu saya kemana dia,” ucapnya.  Dia telah berkeluarga, selain punya 2 anak punya toko besar di Jalan Teuku Umar. “Aku pernah ketemu di apotik tapi lupa tidak tanya alamat dan nomor teleponnya. Makin cantik,” tambahnya.

Seandainya punya pistol, sudah kutembak kepalanya.

Mengapa dia tidak tahu bahwa hidup saya dibayang-bayangi Suci dan Lila Bhuwana.

“Aku ingat asmara Suci-mu,” ia berkata terbahak-bahak.

Ironi kehidupan, justru ketika dunia dilanda pandemi, hubungan fisik dibatasi, saya menerima pesan WhatsApp darinya:

Apa kabar? Ini Mbak Tris. Suci. Denpasar. Semoga masih ingat.

Jantung saya hampir copot.

Dia mengaku mendapat nomor saya dari penulis muda di Denpasar.

Bagaimana saya bisa melupakanmu.

Setiap kali mendengar Segenggam Harapan aku teringat dirimu.

Rindu tumpah, percakapan menderas bagai air bah.

Dikiriminya saya foto dirinya.

Dulu rambutnya panjang, kini sebahu. Ada beberapa helai memutih. Silver threads among the gold. Manis sekali.

“Ah itu di mata kamu saja,” kata dia.

“Sumpeee,” saya menjawab dengan semangat, meniru cara berucap anak-anak masa kini.

“Semangatmu sepertinya masih seperti dulu ketika sering datang ke Suci.”

Begitulah gaya percakapan kami.

“Kuperhatikan, dari dulu kamu gombal,” katanya.

Kini ia memiliki penginapan berbentuk home town di daerah Pedungan. Dikirimnya foto home town-nya.

Luar biasa, decapku.

“Nanti, kalau pandemi selesai kamu harus kemari,” pesannya.

“Tentu. Kita akan berboncengan vespa ke Lila Bhuwana. Sumpeee,” jawab saya menggoda.

Dia tertawa.

“Lila Bhuwana sudah tidak ada. Tinggal kenangan,” jawabnya.

Tentu saja. Wajah Denpasar, sebagaimana banyak kota, telah berubah total.

Belakangan, selama beberapa waktu ia menghilang.

Pesan saya melalui WhatsApp tidak dia balas.

Layar ponsel  tidak menunjukkan ia membuka pesan saya.

Sibuk apa Mbak Tris?

Sampai kemudian saya menerima pesan dari Murni, mengaku sebagai pegawainya.

Ia memberi kabar bahwa Bu Trisnani meninggal 3 hari lalu karena covid.

Black out. Dunia gelap seketika.

Beku, saya tidak bisa apa-apa.

Murni mengirimkan foto serta video pemakaman Mbak Tris.

Mbak Tris dimakamkan di makam Panjer, Denpasar.

Pada video saya lihat pemakaman dilakukan malam hari. Lampu merah ambulan bekerjap-kerjap di kegelapan makam. Sejumlah orang dengan pakaian seperti astronaut menyemprot-nyemprot disinfectant daerah sekeliling.

Selain mengirim foto dan video pemakaman, Murni mengirim video kenangan ketika Mbak Tris latihan keroncong di Renon, tempat yang saya kenal dulu.

Mbak Tris menyanyikan  Segenggam Harapan.

Air mata saya runtuh.

Saya bertanya-tanya, apakah yang seperti ini layak diceritakan dalam diskusi nanti.

Saat ini, nasib kota dan nasib manusia tidak ada bedanya.

Sama-sama ambruk.***

19/7/2021

Join the discussion 4 Comments

Leave a Reply