Skip to main content
Cerita

Malam Lebaran

By May 2, 2022One Comment

Supartono, terhitung keponakan dari kampung yang belum setahun pindah kerja ke Jakarta, bilang tidak akan mudik.

“Saya akan berlebaran di rumah Om saja,” dia menelepon waktu itu. “Saya akan datang hari Minggu, sehari sebelum lebaran,” tambahnya minta izin.

Saya senantiasa senang dikunjungi kerabat dari kampung halaman. Bisa ngobrol-ngobrol tentang kota kelahiran, memperbincangkan sanak saudara dan handai-taulan, membayangkan situasi kota lama dulu dan sekarang, mengenang para tetangga kampung kala itu, sambil diam-diam saya mengingat-ingat perempuan-perempuan yang pernah gituan dengan saya. Bisa jadi mereka juga teringat saya.

Hanya saja di luar harapan saya, Supartono kali ini malah teramat bersemangat menceritakan pengalaman yang baru dia alami beberapa hari sebelumnya, melayat istri bos yang meninggal. Tidak tega saya membendung pengalaman diri yang ia ceritakan dengan menggebu-gebu.

“Ternyata Om, ada pemakaman luar biasa mewah, megah, semua nisan dibuat melebihi gedung magrong-magrong, namanya pemakaman Gunung Gadung,” kata Supartono.

Gunung Gadung tentu tak asing bagi saya. Tempat itu tak jauh dari tempat tinggal saya di Ciawi. Bagian dari “taman bermain” saya.

Ciawi, Rancamaya, Sentul, Sukasari, Gang Aut, bahkan mereka yang suka nongrong di terminal Baranang Siang banyak yang saya kenal.

Pemakaman yang dia maksud terletak di Jalan Raya Cipaku, biasa dijadikan jalan alternatif dari kota Bogor menuju Rancamaya, tempat saya biasa cari duren tatkala musim durian.

Gunung Gadung adalah pemakaman elit. Luasnya lebih dari 100 hektar.

Nama-nama besar taipan dan kerabatnya diistirahatkan di sini.

Kalian akan melihat, satu makam saja bisa menempati area satu hektar.

Di sana-sini terlihat makam dengan granit, marmer kelas satu, gazebo, patung dewa, gerbang besi megah yang tentu tak didatangi pengantar gofood (kecuali penghuninya iseng mengganggu manusia minta dikirim martabak), dan kemewahan-kemewahan lain yang sulit dilukiskan.

Saya bisa membayangkan kesulitan Supartono mendeskripsikan kemewahan Gunung Gadung. Dibutuhkan kekayaan imajinasi. Perlu belajar pada SGA, Eka Kurniawan, Joko Pinurbo, Hasan Aspahani, Linda Christanty, Ayu Utami, Maria Magdalena, Arundathi Roy, Haruki Murakami, dan banyak lagi termasuk Ria Utari yang saya bertanya-tanya kenapa belakangan jarang menulis.

Katanya dari Jakarta dia dan beberapa teman kantor diangkut dengan minibus ke Gunung Gadung.

“Unit kerja saya hanya sedikit orangnya. Tidak lebih dari 10 orang. Diangkut dengan minibus. Di minibus disediakan kotak roti, buah, minuman,” ucapnya. “Yang bikin kaget ketika sampai Gunung Gadung. Di jalanan sepi menanjak ratusan atau mungkin ribuan karangan bunga berjajar di pinggir jalan. Tempat istri bos hendak dikebumikan seperti tempat pesta. Dipasang tenda-tenda warna putih.”

Ia menyebut ada counter kopi dari coffee shop internasional, menyediakan espresso, cappuccino, americano, dan lain-lain.

Makanan dilayani catering dari restoran ternama di Jakarta.

“Makanan pakai boks, boksnya bukan dari kardus tapi dari kayu berukir,” Supartono bercerita dengan takjub. “Kursi-kursi diselimuti kain putih dari bahan satin berjajar-jajar di tempat upacara. Upacara diiringi kuartet gesek oleh cewek-cewek cantik, melantunkan yang saya ingat lagu ‘Ave Maria’. Disediakan portable toilet. Toiletnya ber-ac.”

“Kamu makan-makan?” tanya saya.

“Tidak. Saya mengikuti jejak Om, tidak makan di tempat orang kesusahan,” jawabnya.

Terus terang saya lupa pernah berkata demikian padanya.

“Sebenarnya ada hal paling utama yang ingin saya ceritakan pada Om,” ucapnya.

“Apa itu?” saya ingin tahu.

Kali ini nada dia berubah. Ia berucap dengan suara agak pelan, mimik serius, kadang disertai bahasa tubuh yang menunjukkan perasaan seram.

“Tempat upacara pemakaman sejuk ber-ac. Ada lantunan ‘Ave Maria’. Saya jadi ngantuk dan tertidur.”

Dalam hati saya tertawa.

Dasar anak kampung, batin saya.

Pada saat tertidur itulah Supartono mengaku bermimpi, melihat alam kubur.

“Persis seperti komik yang saya baca masa kecil, pedihnya siksa neraka,” katanya.

Waduh, masuk momen dramatik.

Saya mendengarkan dengan seksama.

Supartono bercerita ditunjukkan siksa bagi orang yang mulutnya digunakan untuk berbohong, memfitnah, mengumpat, berkata kotor.

“Mereka ditusuk mulutnya, telinganya, matanya, hidungnya,” katanya. “Lidah dan bibirnya dipotong. Putus. Segera tumbuh lagi. Dipotong lagi. Begitu seterusnya.”

Ia yakinkan pada saya bahwa itu benar adanya dan dia benar-benar melihat semuanya.

Katanya ada orang yang perutnya menggelembung besar. Dari mulutnya keluar cairan nanah baunya busuk tak keruan.

“Itu siksaan bagi orang yang suka minum minuman keras,” katanya sambil menatap saya.

Saya menatap perut sendiri.

Perut saya datar dalam balutan jeans merk Zara.

“Saya tidak lagi minum bir, kecuali lupa,” kata saya.

Dia manggut-manggut, melanjutkan cerita tentang aneka siksaan yang dia lihat, dari tubuh yang dibelit ular besar, kepala dikepruk penggada berduri, kedua tangan dan kaki dibelenggu dibenamkan dalam cairan mendidih, dan lain-lain.

Pokoknya seram.

“Terdengar suara keras, dok-dok-dok, saya terbangun,” kata Supartono. “Orang membereskan tenda di dekat kursi tempat saya tertidur. Baru saya sadar, upacara pemakaman telah usai. Saya ketiduran, ditinggal oleh rombongan. Tempat telah sepi, hanya ada para pekerja membereskan tenda, sound system, para EO sibuk beres-beres, dan lain-lain. Udara sangat dingin. Rupanya habis hujan.”

“Terus?” saya penasaran.

“Tempat itu jauh dari mana-mana. Saya tanya orang di situ, bagaimana cara pulang ke Jakarta dengan kendaraan umum. Ada yang berbaik hati membantu mencarikan gojek sambil memberi petunjuk lengkap bagaimana saya mendapatkan bis.

Dengan gojek saya ke Cipaku. Dari situ ganti naik angkot ke Sukasari. Dari Sukasari ke terminal Baranang Siang. Dari Baranang Siang naik bis ke Jakarta.”

Ia melengkapi cerita pangalaman akherat dengan pengalaman dunia dari terminal ke terminal.

“Semua orang akan mati. Andaikata kamu mati, apakah kamu ingin dimakamkan di pemakaman mewah?” saya bertanya.

“Tidak, Om. Di mana saja. Yang utama bagi manusia adalah amal dan perbuatannya,” jawabnya.

Klise, tapi ia ucapkan dengan penuh penghayatan.

“Kamu benar,” kata saya.

Usai itu ia tertidur di sofa.

Mungkin capai saking semangatnya bercerita Gunung Gadung.

Manusia merdeka mudah tertidur di mana-mana.

Itu bedanya dengan orang stress.

Pun orang jatuh cinta. Orang jatuh cinta susah tidur.

Mangan ra doyan, ra jenak dolan, neng ngomah bingung, bunyi lirik lagu bahasa Jawa.

Sangat pulas tidurnya.

Baru petang hari dia terbangun.

“Wah, saya tertidur lama rupanya,” katanya sembari bangkit dan mengucak-ngucak mata.

“Apakah kamu juga mimpi seram siksa neraka?” tanya saya.

“Tidak. Saya malah mimpi melihat pohon indah berbunga merah, flamboyan. Sayup-sayup saya mendengar suara merdu. Eh, ternyata Om tengah memutar lagu Bimbo, ‘Flamboyan’,” ia berkata sambil tertawa.

“Saya suka lagu-lagu lama. Terlebih Bimbo. Saya kenal baik Kang Sam dan Kang Acil,” saya menyebut 2 personil Bimbo. “Bulan lalu saya ketemu Kang Acil di Bali, di tempat acara kawinan saudara,” tambah saya menunjukkan foto Kang Acil bersama saya.

“Lumayan ganteng,” dia berujar, tak jelas siapa yang dimaksud, Kang Acil atau saya.

Di Bali kami waktu itu kemana-mana bersama-sama.

“Om tentu sering mimpi indah di sini,” ucap Supartono.

Saya tertawa.

Malam lebaran.

Terdengar kumandang suara takbir.

“Ya, saya sering mimpi ketemu pacar lama terutama di malam-malam seperti ini,” saya berseloroh menjawab Supartono.

Kami sama-sama tertawa.***

2/5/2022

Join the discussion One Comment

  • marinA says:

    Ah gilakk. Kado Lebaran yang asyik ini. Seperti diajak ke mana-mana, dari gunung gadung, mimpi neraka, lalu lagu Bimbo. Insert visualnya asyik2, dari skets siksa neraka, sampai foto mas Bre sama Kang Acil Bimbo. Asyik lah.

Leave a Reply