Skip to main content
Cerita

Mariska di Musim Pandemi

By June 23, 2021No Comments

Hanya kepada pengarang tua Rudra Wibisana, Mariska membayar tunai honor tulisan di koran—satu dari sedikit koran yang masih bertahan terbit sampai hari ini. Setiap dua minggu, beberapa hari setelah tulisan Rudra muncul di kolom yang ditulisnya dua minggu sekali, ia muncul di kantor koran.

Menemui Mariska.

Seperti biasa, Mariska menebar senyum begitu melihatnya.

Acapkali Rudra melemparkan pertanyaan pada diri sendiri, apakah dia datang ke sini untuk honor yang memang menjadi haknya ataukah untuk senyum Mariska.

Kalau diingat-ingat, sudah sekitar seperempat abad sejak pertama kali ia melihat Mariska. Waktu itu ia tampak muda sekali.

Wanti, bagian administrasi keuangan yang biasa mengurusi honor penulis, mengenalkan Mariska padanya.

“Ini Mariska. Mulai sekarang ia yang mengurusi honor Mas Rudra,” kata Wanti.

Wanti sendiri yang diakrabi semua penulis dan seniman yang banyak berhubungan dengan koran ini naik pangkat. Ia jadi kepala bagian, tidak lagi secara langsung mengurusi honor penulis.

“Oh namanya Mariska. Saya suka namanya. Mariska Veres. Shocking Blue. Venus. Never Marry a Railroad Man. Send Me a Postcard,” Rudra berucap tak berkejuntrungan.

Meski tak paham ucapan orang di hadapannya, mungkin karena segan, takut lihat tampangnya, atau tahu diri sebagai orang baru, Mariska mengiyakan saja.

“Iya, Om,” kata Mariska.

Mariska tahu, beberapa orang yang dia hadapi adalah nama-nama terkenal di bidangnya.

“Jangan panggil Om. Apalagi Pak. Di sini semua Mas. Lebih egaliter,” Rudra menyahut sok tahu.

Rudra tidak bekerja di situ. Cuma penulis yang sesekali menyumbangkan tulisan. Ia punya hubungan baik dengan pemimpin redaksi serta beberapa wartawan koran ini.

“Iya, Mas,” Mariska berucap patuh.

Rudra tertawa tergelak-gelak.

“Kamu dapat pengganti yang tepat, Wanti,” kata Rudra. “Semoga betah di sini Mariska. Beramal melayani gelandangan seperti saya. Wajah saya jelek tapi hati saya baik,” lanjutnya.

Waktu itu, sekitar pertengahan tahun 1990an, semua orang mulai terbiasa dengan bank. Honor dikirim ke rekening penulis, tidak lagi via wesel pos.

“Saya tidak punya rekening di bank. Mohon saya diperbolehkan setiap kali mengambil tunai honor saya,” kata Rudra.

“Tentu saja boleh, Mas,” jawab Mariska yang di kemudian hari tidak lagi merasa canggung memanggilnya ‘Mas’, meski usia keduanya berselisih jauh.

Mariska menyukai Rudra. Menurut dia Rudra orangnya hangat. Di balik sikapnya yang sembarangan ia menilai Rudra sejatinya penuh perhatian.

Setiap kali habis melakukan perjalanan, Rudra datang ke kantor membawa oleh-oleh.

Rudra sering melakukan perjalanan ke luar kota untuk seminar, diskusi, ceramah, dan lain-lain.

Mariska sampai hapal. Setiap kali habis melakukan perjalanan ke luar negeri, oleh-olehnya adalah cokelat. Terutama cokelat macadamia, dengan kantong dari airport Singapura.

Kadang membawa rambutan yang dibilang dari kebon sendiri.

Kantor ini bersuasana kekeluargaan. Suasana kekeluargaan menjalar sampai ke para penulis maupun kontributor yang tidak menjadi bagian formal perusahaan. Mereka menginjak kantor ini seperti menginjak rumah sendiri.

Jangankan asal usul. Urusan satu sama lain mereka saling tahu.

Misalnya Mbak Esti, bagian dokumentasi yang suaminya telah meninggal, diam-diam akan segera menikah dengan teman bagian perpustakaan. Mbak Margaretha, wartawan senior, mengajukan pensiun dini. Ia mendirikan lembaga independen, ingin fokus mengurusi isyu-isyu perempuan. Mas Pudjo, wartawan desk regional, dilabrak istri karena ketahuan pacaran dengan wanita Pemalang yang buka warung Tegal di sebelah kantor, dan seterusnya.

Rudra tahu, Mariska berasal dari Sukabumi. Ibunya Tionghoa, ayahnya Belanda.

Tidak terlalu keliru, dulu sekali, tatkala pertama kali bertemu, begitu mendengar nama Mariska, Rudra langsung melanjutkan dengan Mariska Veres.

Mariska Veres adalah vokalis kelompok rock Shocking Blue dari Belanda yang lagu-lagunya menempel di kenangan Rudra.

Kalau rambut Mariska Veres hitam panjang dengan poni, rambut Mariska yang ini agak kemerahan. Mata Mariska sangat bagus. Beberapa kali Rudra menyatakan pujian terhadap mata Mariska yang indah.

“Also your smile. You have a magic smile,” kata Rudra.

Kadang Rudra datang ke kantor untuk mengambil honor pas jam makan siang.

Bersama Mariska ia kemudian makan siang di kantin kantor. Sambil bertegur sapa dengan cukup banyak orang yang dikenalnya di lingkungan ini.

Ia tahu, Mariska belum atau tidak menikah.

Dia tidak ingin memperbincangkannya, bertanya, bahkan bertanya dalam hati untuk diri sendiri sekali pun.

Orang bebas menentukan pilihan hidupnya dan kebahagiaannya sendiri.

Seperti dirinya, yang juga hidup sendiri.

Sebelum orang lelah bertanya seperti sekarang, dulu sangat sering dia mendapat pertanyaan mengapa belum nikah.

Teman lama ada yang mengingatkan akan teman SMA, cewek cantik di kota lama yang dulu jatuh hati padanya.

“Kenapa kamu dulu tidak nikah dengannya?” tanya sang teman.

“Saya beruntung tidak nikah dengan teman sekolah,” jawab Rudra.

“Kenapa?”

“Kalau saya nikah dengan teman sekolah, saat ini dia sama tuanya dengan saya. Tidak menarik lagi,” jawab Rudra.

Sang teman tertawa tergelak-gelak. Beberapa teman perempuan yang mendengar percakapan tersebut bersungut-sungut.

“Aku pengin mengguyurnya dengan air teh ini,” satu perempuan menggerundal.

Dengan semangat menulis yang tak pernah surut, pada perkembangannya Rudra diminta untuk menulis kolom secara rutin dua minggu sekali.

Tentu saja pada zaman itu dan selanjutnya dia telah memiliki rekening di bank. Uang honor bisa saja ditransfer, tapi Rudra memilih kebiasaan lama: ambil tunai di kantor.

Khusus pada dirinya, koran yang bermotto humanisme ini dengan penuh pengertian  memberi kesempatan pembayaran yang tidak praktis dan merepotkan itu.

Datang ke kantor koran untuk mengambil honor menjadi semacam ritual baginya: ritual untuk mempertahankan sesuatu yang bisa disentuh—tangible.

“Koran never dies,” kata Rudra sama kekanak-kanakannya menyebut “rock never dies”.

Hanya dalam relasi dengan koran ini ia menerima uang dengan cara seperti dulu kuli perkebunan menerima upah.

“Biarlah bertahan seperti ini. Seperti sifat koran. Bisa dipegang,” ujarnya kepada Mariska.

Saat itu, seperti biasa mereka makan siang di kantin berdua.

Mariska sebenarnya tidak lagi mengurusi honornya. Dia pindah ke bagian lain, dalam posisi cukup tinggi.

Terjalin selama bertahun-tahun, tak ada lagi sekat-sekat dalam hubungan mereka berdua.

“Mas Rudra adalah pernulis terlama di koran ini,” ucap Mariska.

Rudra terdiam.

“Saya tidak menyadarinya. Mungkin kamu benar,” ucapnya tersadar. “Dari masa jaya koran, sampai ke sandyakala,” lanjutnya.

“Kita tidak tahu sampai kapan koran bertahan,” kata Mariska. “Tahun depan, dalam hitungan saya persis seperempat abad sejak saya mengenal dan membayar honor Mas.”

“Harus kita rayakan tahun depan,” kata Rudra. “Berdua.”

“Apa hadiah yang Mas harapkan dari saya,” tanya Mariska.

Rudra menatap mata Mariska.

“Bagaimana kalau saya meminta hadiah, Mariska tidur dengan saya pada saat ulang tahun saya,” begitu saja ucapan terlontar dari mulut Rudra yang memang sering bercanda dengan Mariska.

“Yang bener?” sahut Mariska santai.

“Bagaimana kalau benar?” kata Rudra.

“Tidak masalah. We know each other,” jawab Mariska mengejutkan Rudra.

Entah mengapa, setelah itu suasana agak canggung. Mereka melanjutkan makan tanpa banyak berkata-kata.

Kadang Rudra melirik Mariska.

Mariska sadar dirinya dilirik. Ia senyum, dengan senyum bidadari.

Percakapan tadi terjadi pada tahun 2019.

Virus corona yang sebelumnya cuma jadi bahan pemberitaan, tak lama kemudian menggulung dunia.

Dunia masuk masa pandemi.

Bukan saja Rudra tak lagi melakukan ritual datang ke kantor dua minggu sekali, makan di kantin bersama Mariska, dan lain-lain, tapi hari ini memang tidak lagi seperti hari lalu.

Pada hari ulang tahun, 28 Juni, dia menerima telepon dari Mariska mengucapkan selamat.

“Bagaimana dengan janji kita?” tanya Rudra.

“Saya pernah membaca buku Mas, entah yang mana, tapi saya ingat kata-katanya: rindu tidak untuk dituntaskan, lalu melupakannya. Memelihara dan menjaga rindu, sampai waktumu tiba,” kata Mariska.

Rudra terdiam kehilangan kata-kata. Ia termangu-mangu.

“Sangat mencerahkan,” komentar Mariska.

Rudra diam.

“Mas…,” suara Mariska lembut.

“Oh, ya, ya….” Rudra menjawab buru-buru.

Terus terang dia lupa pernah menuliskan itu.***

23 Juni 2021

Leave a Reply