Skip to main content
Cerita

Merah Putih Blue Thunder

By August 16, 2021August 17th, 2021No Comments

Blue Thunder datang lagi bertengger di bingkai jendela. Kemana saja kamu, saya menyapanya. Mungkin karena beberapa hari terakhir cuaca buruk, hujan tiap pagi, dia tidak menampakkan diri.

Begitu Carla menulis tugas hariannya. Ia tengah mengikuti program self healing. Instruktur menyuruh dia membuat target harian, apa yang hendak ia capai pada hari itu.

Carla malah jadi bingung.

Dia menghubungi pengarang yang selalu berbaik hati mendengarkan dirinya.

“Saya sedang menjalani self healing programme. Maukah mas memberi instruksi apa yang harus saya kerjakan tiap hari, untuk menumbuhkan motivasi saya,” Carla mengirim pesan.

“Mulai kapan?” dia menerima jawaban.

“Hari ini bisa?”

“Tulis petang nanti pengalaman yang kamu anggap paling berkesan yang kamu jalani hari ini,” seketika jawaban muncul.

“Terimakasih,” jawab Carla.

Dari sejak itu Carla mengamati baik-baik lingkungannya, coba menghayati apa saja yang dilakukannya. Semua yang ia lihat dan lakukan ia timbang-timbang, bandingkan satu sama lain, mana paling menarik.

Ternyata tidak gampang. Semua hal membosankan.

Baru sekarang dia sadar tentang apa yang diucapkan pengarang ini dulu: hakekat kehidupan sebenarnya kebosanan. Mengapa kita mengerjakan ini-itu, melakukan perjalanan, memelihara hobi, pacaran? Semua hanya untuk menumpas kebosanan.

Manusia lahir sendirian, mati sendirian.

Di antara rentang kesendirian itu kita mengisi dengan kegiatan ramai-ramai untuk menghilangkan kebosanan dan kecemasan menghadapi kesendirian.

“Betul juga,” pikir Carla sekarang.

Ia merasa tercerahkan.

Untung tiba-tiba muncul Blue Thunder.

Blue Thunder adalah sebutan dia untuk burung yang sangat ia sukai warnanya. Dia tak tahu nama jenis burung tersebut. Bagus sekali.  Ukuran tak seberapa besar, kira-kira segenggaman tangan orang dewasa. Bulunya biru, paruh merah menyala.

Pertama kali ia melihat burung itu hinggap di pohon tak jauh dari rumahnya. Di kompleks pemukiman mewah ini banyak pohon besar.

Beberapa saat kemudian si burung melesat meninggalkan dahan yang dihinggapinya.

Burung apa itu, Carla jatuh cinta seketika.

Terbangnya bagai kilat, naik turun, sembari mengeluarkan suara kak-kak-kakkkkk.

Pagi hari berikutnya tatkala jalan-jalan di kompleks tak ia nyana si burung muncul.

Memamerkan aksi terbang di atas Carla.

“Ya ampun, Blue Thunder, kamu muncul,” Carla berseru terpesona.

Sepertinya si burung tahu punya pengagum.

Dia hinggap di dahan pohon tak jauh dari situ.

Carla senyum-senyum.

Hal sama terjadi lagi pagi berikutnya. Juga pagi-pagi yang lain.

Yakinlah Carla Blue Thunder membayanginya.

“You’re my real follower,” Carla berucap.

Setiap jalan-jalan pagi—ritual sebelum ke kantor—dia selalu longak-longok mencari Blue Thunder.

Yang paling mengejutkan dan tak pernah diduganya, suatu saat tiba-tiba Blue Thunder hinggap di jendela kamarnya.

Senang campur kaget, Carla menahan napas. Dia tidak ingin mengejutkan si burung, takut dia kabur.

Blue Thunder tolah-toleh.

Selain warna biru, ada nuansa hitam pada beberapa bagian. Di belakang sudut mata terdapat seraut garis kuning.

“Ternyata kamu memakai eyeliner kuning,” bisik Carla tertawa. “You’re so beautiful.”

Malam hari Carla mengirimkan tulisan mengenai Blue Thunder yang muncul kembali tadi kepada si pengarang.

“Apakah mas bersedia memberi tugas lagi pada saya esok pagi,” tanya Carla.

“Ok,” jawab si pengarang singkat.

Paginya, karena sampai pukul 09.00 tidak menerima instruksi, Carla mengirim pesan: apa tugas yang harus saya lakukan hari ini, mas?

“Bikinlah cerita mengenai Blue Thunder,” Carla menerima perintah.

“Cerita? Cerita apa?”

“Cerita apa saja. Mengarang-ngarang saja sesukanya sebagai manusia merdeka. Ngawur juga boleh.”

“Oh, okay. Thanks mas.”

Berkutatlah Carla membikin karangan.

Dia mengawali dengan menceritakan drinya.

Sebenarnya saya ingin jadi seniman tapi bapak tidak memperbolehkan.

Apa yang akan didapat dari pekerjaan sebagai seniman, kata bapak.

Saya diharuskan mengurus perusahaan construction kami.

Carlo, kakak saya, bagian mencari tender, membuat berbagai perencanaan konstruksi, mengawasi pelaksanaan, dan lain-lain pekerjaan lapangan.

Saya bagian keuangan, mengurusi pembukuan, termasuk pajak.

Beda dengan Carlo yang menyenangi pekerjaannya, sumpah saya benci pekerjaan ini. Tai kucing. Apalagi urusan pajak. Instansi ini semata-mata mencekik kita. Mereka boleh salah, kita tidak boleh keliru sedikit pun.

Muntahlah segala kekesalan Carla.

Malam dia kirim pesan pada pengarang, bahwa dia tidak bisa menyelesaikan tugas hari itu.

“Tapi kamu melakukannya, kan?” tanya pengarang.

“Ya, tapi belum selesai,” jawab Carla.

“Take your time,” jawab pengarang. “Lakukan tiap hari, tidak perlu peduli hasilnya.”

“I’ll do it,” Carla mengirim pesan balik.

Hari berikutnya ia mendapat energi baru untuk melanjutkan cerita.

Saya adalah orang paling menderita, tulisnya.

Dia bercerita, akhirnya tercapai kompromi.

Bapak membiarkan saya melakukan apa saja yang saya suka, melukis, membuat patung, dan lain-lain asal tetap melakukan pekerjaan utama, yaitu mengurus bisnis keluarga. Diulanginya kata-kata, kesenian tidak menghasilkan duit. Dalam hal itu saya anggap bapak benar.

Saya mulai giat mencari uang.

Bapak senang.

Dia membikinkan saya studio.

Studio dibangun di seberang rumah, dengan dinding kaca.

Di situ saya berkarya, bapak bisa mengawasi dari rumah.

Oh ya, saya suka ballet.

Saya berlatih ballet, dan bapak melihat dari rumah.

Untuk yang ini sepertinya dia menikmatinya.

Dikirimnya cerita yang belum selesai itu kepada si pengarang sambil janji besok akan melanjutkan.

Pada hari berikut dia menyinggung Blue Thunder.

Saya membandingkan diri saya dengan Blue Thunder. Dia adalah burung liar, bebas kemana-mana. Melihat dia saya merasa sebagai ‘burung dalam sangkar’.

Sangkar saya adalah studio dengan dinding kaca itu.

Si pengarang tertawa membacanya.

Carla penasaran ingin tahu penilaian si pengarang akan tulisannya.

“Bagus. Saya suka Carla berani menilai diri sendiri,” jawab si pengarang.

“Apakah mas tahu nama burung biru seperti saya ceritakan?”

“Di Jawa Barat disebut burung cekakak. Mungkin dikarenakan suaranya yang seperti orang tertawa cekakakan. Di Jawa Tengah kota kelahiran saya dulu disebut burung branjangan.”

“Branjangan?” Carla menyela.

“Ya, branjangan. Dulu saya pernah menyukai buku roman, judulnya Naga Branjangan Mencuri Anak Perawan.

“Cerita tentang apa itu?”

“Pujangga bernama Naga Branjangan melarikan kekasihnya. Yah kurang lebih seperti epik Rama-Shinta dalam Ramayana.

“Mungkin Blue Thunder ingin menggondol saya,” kata Carla.

“Mungkin, kalau Carla tidak berkeberatan.”

“I don’t mind,” sahut Carla. “Apakah mas mau sewaktu-waktu menengok saya?”

“Ya,” jawab si pengarang.

Suatu hari pengarang ini mengunjungi Carla di kantornya.

Carla mengenalkan dia pada beberapa staf.

Setelah itu, pada jam makan siang Carla mengajaknya makan siang.

“Mas suka masakan Jepang? Restoran Jepang di depan itu enak,” Carla menunjuk restoran di seberang kantor.

Pergilah keduanya ke sana.

Mereka memilih lantai atas yang kebetulan sepi. Dari bangku tinggi tempat mereka duduk terlihat kantor Carla.

“Yang pintu besi cat kuning di sebelah itu gudang kami untuk menyimpan barang-barang,” Carla menerangkan.

Muncul mobil kijang warna hitam, parkir persis di depan kantor.

“Itu bapak saya,” kata Carla.

Pintu mobil terbuka.

“Rapi sekali,” pengarang mengomentari penampilan bapak Carla yang keluar dari mobil.

“Bapak tidak suka penampilan acak-acakan. Apalagi rambut panjang kayak mas,” ucap Carla tertawa.

Si bapak berdiri di teras, menengok kiri-kanan.

Entah apa yang dicarinya.

“Sepertinya dia mencari anak gadisnya yang diculik Naga Branjangan,” pengarang berucap.

Carla tersenyum bahagia.

Ia bangkit dari tempat duduk, berdiri di belakang sang pengarang.

“Saya suka sekali mas mau kesini,” katanya. “Apakah mas sengaja datang dengan baju biru ini?”

Baru si pengarang sadar akan baju yang dikenakannya: memang warna biru.

Carla memeluknya dari belakang.

Yang dipeluk merasa kikuk, tidak mengira bakal mendapat pelukan sehangat ini, dari wanita secantik ini.

“Biasanya dia yang melihat saya dalam sangkar bikinannya. Kini giliran saya yang melihat dia,” bisik Carla. “Biar tahu rasa.”

Pipi keduanya sangat dekat.

Tak ada orang lain di ruangan.

Carla menciumnya lembut.

Nakal sekali anak ini, pikir pengarang ini.

Di bawah terlihat bapak melangkah masuk kantor.

Bulan Agustus.

Hari kemerdekaan makin dekat. Merah putih berkibar di mana-mana.

Keduanya berciuman.***

16/8/2021

Leave a Reply