Cerita rakyat dari Jawa, terkenal terutama di Jawa Tmur, yakni Minak Jingga, sedari saya kecil sampai sekarang entah mengapa menarik perhatian saya. Dongeng ini (kadang mengambil judul lain, protagonis dalam lakon ini yaitu Damarwulan) saya dengar dari dongeng yang dituturkan oleh orangtua, pembantu, dan lain-lain di lingkungan keluarga, kemudian guru, dilanjutkan teks baik berbahasa Jawa maupun Indonesia ketika saya mulai bisa membaca, drama radio, pertunjukan sandiwara, ketoprak, sendratari, belakangan kanal YouTube.
Sebanyak platform dongeng Minak Jingga, tak terhitung banyaknya versi dongeng ini. Dengan begitu banyaknya versi Minak Jingga, riwayat dan latar belakang para tokohnya, entah itu Minak Jingga, Damarwulan, Ratu Kencanawungu, Patih Logender, dan lain-lain, bukannya makin jelas, tetapi tambah kabur dan ruwet. Mereka yang mencoba menghubung-hubungkan kisah tersebut dengan sejarah Majapahit, bakal garuk-garuk kepala. Yang jelas dan nyata — sekabur siapa sejatinya pencipta dongeng ini — tiap pendongeng merasa memiliki kemerdekaan untuk membikin dengan suka-suka hati versinya sendiri.
Sekarang, ketika tergerak untuk mendongengkan Minak JIngga — seperti saya sebut tadi, dongeng yang menarik perhatian saya dari masa kanak-kanak sampai sekarang — saya pun akan membikin versi suka-suka saya. Sembari bercerita, saya juga akan melakukan penafsiran, analisis, atas dongeng yang saya anggit dan rangkai suka-suka saya. Dengan demikian, akan muncul analisis suka-suka saya atas dongeng suka-suka saya. Dalam imajinasi saya, Minak Jingga adalah tokoh yang juga suka-suka sendiri, maunya sendiri.
Dalam versi saya — mencontoh versi lain yang telah banyak beredar — Minak Jingga bertampang jelek. Seperti raksasa, dalam jagad pewayangan sebutannya buto. Ya, Minak Jingga adalah buto. Para pembantunya semuanya buto. Sebagaimana buto, Minak Jingga beserta para pembantu utama dan anak buah adalah “kaum urakan”. Konflik dengan Majapahit adalah konflik antara kaum antikemapanan, kaum urakan, melawan kemapanan kekuasaan.
Suara Minak Jingga sengau, selalu diawali kata mendayu: “… hiyung… hiyung… hiyung.” Setelah itu dilanjutkan dengan ucapan-ucapan yang tidak konsisten, dalam bahasa anak sekarang: gak nyambung. Dalam istilah saya semasa kecil: ngomyang.
Seperti Minak Jingga, saya akan memanfaatkan kemerdekaan saya untuk ngomyang. Dalam era pasca-kebenaran, ketidak-warasan hanya bisa ditandingi oleh ketidak-warasan. Narrative vs contra-narrative.
Sampai sini, tiba-tiba saya berseru sendiri: “… hiyung… hiyung… hiyung.”
Teroktoktoktoktoktoktoktok….
Layar dongeng dibuka.
Inilah “Minak Jingga dan Saya”.
Segar. Isinya pas, tujuh alinea. Kesan “merdeka”, intepretasi sendiri sejarah.
Terimakasih Marina.
Terimakasih Marina.
waaah, ilustrasiné digawé déwé, sayangé apiiik😀😀😀👍🍻
Ihik ihik jadi malu…
Hiyung-hiyung…..
Bacaan renyah di sore hari.
Semoga juga komentar ini komentar ala Minak Jingga suka-suka sendiri.
Salam sehat Mas Bre
Terimakasih sudah sudi dengar dongeng saya. Ikuti terus. Bakal lebih ngawur.
Sukaaaaa…
Merdeka dan suka suka sendiri…
Cocok… ❤❤❤❤
kenapa kok judulnya
minakjinggo dan saya
Ditunggu di Ciawi