Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (10)

By February 28, 20214 Comments

Minak Jingga ngedan. Bagi Minak Jingga ngedan adalah strategi untuk mempermainkan orang/manusia.

Ia pura-puta bodoh (membuat orang lain bahagia karena merasa diri lebih pintar dan lebih tahu). Dia kadang sok tahu (membuat orang lain jengkel, iri, marah, dan seterusnya). Siapa main-main dan mainannya bukan sepeda, moge, tanaman, melainkan manusia bisa disebut sejajar nabi.

Pengikutnya ikut ngedan. Khawatir kalau tidak edan tidak mendapat bagian.

Ketika SD saya ikut-ikutan bilang: Minak Jingga, miring penak njengking mangga. Seketika kepala saya kena ketok penggaris kayu oleh guru SD Kanisius saya. Saya dihukum untuk ucapan yang tidak saya mengerti maksudnya.

Baru sekian tahun kemudian saya tahu arti ucapan itu—dan menikmatinya. Bersama jeng Sri. Asal Pare.

“Hiyung… hiyung… hiyung… Ratu Ayu Jeng Sri… eh keliru,” kata Minak Jingga.

Buru-buru dia mengoreksi.

“Hiyung… hiyung… hiyung… Ratu Ayu Kencanawungu. Begini rasanya orang rindu. Terbayang-bayang melulu. Tetangga kukira dirimu,” kata Minak Jingga jujur.

Para pendengar tertawa gelak-gelak. Ada Hari Budiono, Hari Atmoko, Hartono, Wiediantoro, Mbak Ninuk, Sartono, Mas Larto, Trias Kuncahyono, Sutta, Rio, Bang Hance, Agung Dipo, dan entah siapa lagi. Mereka tertawa, sebagian sampai terguling-guling.

“Hiyung…hiyung… hiyung… kurang ajar,” Minak Jingga sadar ditertawakan. “Aku ini ratu. Kalian jadikan bahan tertawaan. Mas Butet juga mentertawakan aku. Asuuuu.”

“Paduka harus sadar. Sekarang paduka bukan lagi adipati. Sudah naik pangkat jadi ratu, ratu Puralingga,” Angkatbuto menyadarkan.

“Aku sekarang ratu,” Minak Jingga terbangunkan. “Penguasa negeri….”

“Nah, jadi paduka jangan terlalu kelihatan ngawur dan tidak kompeten,” Angkatbuto melanjutkan.

“Iya,” Minak Jingga nurut.

“Saatnya paduka memikirkan berkeluarga.”

“Aku mau menikah dengan Kencanawungu.”

“Betul. Hanya dengan begitu masa depan Minak Jingga dan Puralingga terjamin.”

“Begitukah? Mengapa bisa begitu?”

“Dengan menikah paduka punya istri. Nanti punya anak-anak, menantu, dan lain-lain yang akan melanjutkan kejayaan kerajaan,” Angkatbuto mengajari. “Namanya dinasti, dinasti Minak Jingga. Dari Ciawi.”

“Dari Blumbangan,” Minak Jingga menanggapi Angkatbuto yang tak ngalah ngawur.

“Oh iya. Blambangan. Maaf bukan Blumbangan,” Angkatbuto balik mengoreksi majikan.

“Oh ngono, dinasti Minak Jingga. Politik dinasti, ora opo-opo?” Minak Jingga bertanya dalam bahasa Jawa. Begitu gaya dia saat pura-pura bodoh.

“Kerahkan para cerdik pandai untuk membenarkan tindakan paduka,” ucap Angkatbuto.

Tiba-tiba prajurit tergopoh-gopoh masuk istana. Dia menghaturkan sembah.

“Ampun tuan hamba Minak Jingga,” kata prajurit. Napasnya terengah-engah.

“Kenapa kamu gedandapan?” tanya Minak Jingga.

“Puralingga dikepung ribuan prajurit Tuban,” ia melapor.

“Tuban mengepung Puralingga?”

“Betul. Dipimpin langsung adipati Rangga Lawe.”

“Adipati yang masyhur itu. Saka guru Majapahit. Rangga Luwe,” Minak Jingga berucap.

“Rangga Lawe, bukan Rangga Luwe,” lagi-lagi Angkatbuto membetulkan ucapan juragannya.

“Angkatbuto dan Angkutbuto,” kata Minak Jingga. “Siagakan seluruh tentara. Hadapi tentara Tuban.

“Segera menjalankan perintah paduka ratu,” sahut Angkatbuto dan Angkutbuto.

“Aku akan songsong sendiri adipati Rangga Luwe,” ucap Minak Jingga.

Teroktoktoktoktoktok.

Dia beranjak dari dampar kencana, siap menghadapi Rangga Lawe.

Bersambung

Join the discussion 4 Comments

Leave a Reply