Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (11)

By March 1, 20213 Comments

Gelang di kaki menimbulkan suara kecrek-kecrek ketika Minak Jingga melangkah. Dia menyongsong Rangga Lawe. Di depan Rangga Lawe ia menjatuhkan diri, bersimpuh di tanah.

“Selamat datang junjungan hamba paduka adipati Rangga Luwe,” kata Minak Jingga.

“Rangga Lawe, bukan Rangga Luwe,” yang disapa membetulkan ucapan Minak Jingga.

“Minak Jingga menghaturkan sembah.”

“Tidak usah sok santun Minak Jingga. Blambangan bukan Pacitan. Kamu tahu kesalahanmu?” tanya Rangga Lawe.

“Mboten,” jawab Minak Jingga dalam bahasa Jawa.

“Kamu mbalelo melawan Majapahit.”

“Tidak.”

“Engkau bilang tidak, lalu kamu pikir apa yang tengah kamu perbuat. Puralingga yang bukan hakmu kamu duduki.”

“Hamba hendak memperistiri Ratu Ayu Kencanawungu.”

“Nah itu pertanda pikiranmu tambah korslet.”

“Dulu Ratu Ayu Kencanawungu berjanji, siapa mampu membunuh Kebo Marcuet yang mengganggu ketentraman Majapahit, kalau lelaki akan dijadikan suami kalau perempuan akan dijadikan saudara,” Minak Jingga menerangkan.

“Kamu memang berhasil membunuh Kebo Marcuet, dan Ratu Ayu Kencanawungu telah memberimu hadiah, mengangkatmu sebagai adipati Blambangan,” Rangga Lawe menyela.

“Tapi janjinya dijadikan suami.”

“Kamu sudah menerima hadiahnya, menjadi adipati Blambangan. Sekarang mengapa kamu ribut?”

“Blumbangan hamba anggap bonus,” kata Minakjingga.

“Jagad dewa batara,” Rangga Lawe menyelak. “Minak Jingga, kamu manusia tidak tahu diri.”

“Hamba cuma nagih janji.”

“Kamu pikir Ratu Ayu Kencanawungu mau denganmu? Kamu tidak berkaca seperti apa tampangmu?”

“Lama-lama juga mau. Dicoba dulu. Minak Jingga. Miring penak njengking mangga.”

“Lhadalahhhhh, omonganmu bukan omongan orang sekolahan.”

“Memang Minak Jingga tidak sekolah, tapi pemimpin, apalagi ratu, harus menepati janji. Kalau omongannya tidak bisa dipegang, apa yang bisa dipegang dari penguasa. Esuk dele sore tempe.

“Kamu sok pintar,” Rangga Lawe jadi jengkel.

“Tugas pemimpin adalah menyelesaikan janji masa lalu. Membereskan sejarah kalau perlu. Masa depan tidak ada yang tahu. Setiap orang menentukan masa depannya sendiri, bukan penguasa. Blambangan adalah Bohemia. Tempat manusia merdeka. Tidak sudi jadi budak cita-cita penguasa.”

“Siapa ngajari kamu ngomong itu?”

“Milan Kundera.”

“Kamu wong edan. Tidak usah bicara nggeladrah.  Sekarang kamu menurutlah aku serahkan Majapahit.”

“Tidak mau.”

“Berani sama aku?” gertak Rangga Lawe.

“Tidak.”

“Kalau begitu menyerahlah.”

“Ogah.”

Rangga Lawe hilang kesabaran. Ia merasa dipermainkan.  Dia meloncat menendang Minak Jingga.

Minak Jingga terguling. Dengan cepat bangkit lagi.

“Kamu melawan Rangga Lawe?” kata Rangga Lawe penuh amarah.

“Terpaksa…,” Minak Jingga berucap sembari mengikat selendang di pinggang.

Dilandasi kesadaran akan tubuh, menghadap kemana pun bentuk apa pun adalah posisi. Hati-hati terhadap yang seperti ini.

“Kamu hendak melawan adipati Rangga Lawe!”

Pecah pertempuran.

Prajurit Blambangan menghadapi prajurit Tuban.

Gemerincing suara pedang dan tombak beradu.

Debu mengepul di padang oleh serunya pertempuran.

Bersambung

Join the discussion 3 Comments

Leave a Reply