Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (12)

By March 2, 2021March 4th, 2021No Comments

Terotoktoktoktoktoktok…

Rangga Lawe menyerang Minak Jingga secara beruntun. Minak Jingga berkelit kesana kemari. Tambah kesal Rangga Lawe.

Tiba-tiba Minak Jingga hilang. Dia kabur. Seluruh pasukannya mengikuti. Mereka menarik diri dari pertempuran.

Rangga Lawe beserta pasukan Tuban mengejar. Yang dikejar hilang di Alas Purwa.

Alas Purwa adalah taman bermain pasukan Blambangan. Mereka sangat menguasai hutan tersebut. Yang mengejar celingukan.

“Kurang ajar, para buto menghilang di hutan,” Rangga Lawe menggerundal. “Minak Jingga, kalau kau merasa diri digdaya tunjukkan dirimu. Hadapi Rangga Lawe,” ia berseru kencang.

Tidak ada tanggapan. Hutan sepi. Hanya angin berdesir. Para buto lenyap ditelan hutan.

Tengah pasukan Tuban bingung, dari pekatnya hutan tiba-tiba meluncur anak panah. Mulanya beberapa, bertambah jadi belasan, puluhan, ratusan, jutaan.

Anak panah yang tak terkira jumlahnya berubah menjadi gugusan mega menutupi langit. Bergerak  dengan kecepatan mengerikan.

Lebih menggetarkan daripada yang ditampilkan oleh sutradara Zhang Yimou dalam film Hero. Ketika dalam flm itu Tony Leung dihujani panah, bersama kekasihnya  Maggie Cheung mereka  tidak menghindar.

Di atas lembaran kertas mereka melanjutkan menulis kaligrafi dengan kuas besar. Yang mereka lakukan adalah masuk dalam ruang waktu diri sendiri melalui kaligrafi alias ilmu serat. Tidak ada panah bisa melukai mereka. Hanya saja, siapa di dunia yang menguasai ilmu tersebut, kecuali Tony Leung dan Maggie Cheung? Ahhh….

Anak panah yang melesat di Alas Purwo lebih ampuh daripada panah-panah Zhang Yimou. Bikinan Banyuwangi lebih hebat daripada bikinan China. Dan lebih awet.

Para prajurit Tuban bertumbangan, sebagian menjadi landak, tubuhnya tertancap ratusan anak panah.

Patih Wangsapati menyelamatkan diri berlindung di balik pohon trembesi berusia ratusan tahun. Ia melihat junjungannya, Rangga Lawe, menghalau hujan anak panah.

Sampai suatu saat Wangsapati mendengar jeritan Rangga Lawe.

“Wangsapati, aku kena….”

Puluhan anak panah menyusul menghunjami Rangga Lawe, sebelum tentara pemberani ini tumbang.

“Duh dewa…,” Wangsapati sesambat.

Serangan anak penah reda.

Hutan kembali sepi. Tidak terdengar suara apa pun.

Untuk menghormati gugurnya Rangga Lawe, saya akan menggunakan kemerdekaan saya untuk menterjemahkan sajak penyair yang saya cintai, Robert Frost.

Judulnya: Stopping by Woods on a Snowy Evening.

Hutan siapakah yang rasanya aku kenal ini
Pondoknya ada di desa situ
Ia tak akan melihat aku berhenti di sini
Untuk melihat hutannya dipenuhi salju

Kuda kecilku tentulah berpikir ada yang ganjil
Berhenti di suatu tempat jauh dari mana-mana
Di antara hutan dan danau yang beku
Malam tergelap sepanjang tahun

Ia mengibaskan kelintingan di tubuh
Bertanya adakah sesuatu yang keliru
Hanya ada suara lain di luar kelintingannya
Hembusan angin dan gugurnya kepingan salju

Hutannya cantik, gelap dan dalam
Tapi aku punya janji yang harus kutepati
Pergi jauh sebelum aku tidur
Pergi jauh sebelum aku tidur

 

Bersambung         

Leave a Reply