Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (13)

By March 3, 20212 Comments

Saya memiliki premis bahwa dongeng Minak Jingga menyampaikan pesan tersembunyi akan kekuatan yang bersifat perempuan. Kelembutan, kesabaran, memelihara, kebalikan dari sifat keras, brutal, grusah-grusuh, menghancurkan.

Dongeng Minak Jingga menceritakan perebutan kekuasaan. Bukan tidak mungkin si pencipta dongeng dengan sengaja berniat menubuhkan (baca “menubuhkan” bukan “menumbuhkan”) kekuasaan. Semacam psikoanalisis politik kekuasaan.

Sebab sejatinya tubuh adalah medan perebutan kekuasaan. Mengapa perempuan diatur-atur tidak boleh mengenakan ini-itu, hanya boleh mengenakan busana yang ditentukan kepantasannya oleh pihak lain. Dalam budaya patriaki, itulah cara penguasa (terutama penguasa lelaki yang keranjingan syahwat) menguasai perempuan. Kekuasaan merampas hak seseorang atas tubuhnya sendiri.

Di awal pemerintahan rejim militer/Harto, anak lelaki dilarang gondrong. Gondrong, baju tidak dikancing, tidak dilayani tatkala berhubungan dengan instansi pemerintah.

Apa hubungan gondrong dengan PKI yang baru saja mereka habisi masa itu? Tidak ada, kecuali bukti bagaimana kekuasaan campur tangan dalam urusan tubuh. Tanya para aktivis. Sampai tahun 1980an banyak perempuan ketakutan karena dipaksa hendak ditanamkan alat kontrasepsi pada dirinya.

Fasisme—sesuatu yang diabaikan di negeri ini—dengan giat mengontrol tubuh. Orang harus seragam. Baris-berbaris (tahun 60an counter culture menandingi dengan menari, baju bunga-bunga, menjadi ciri Flower Generation).

Dalih baris-berbaris dan penyeragaman tadi adalah ketertiban. Persis terjadi di sekolah-sekolah beberapa waktu lalu. Tentara masuk sekolah untuk menegakkan disiplin siswa.

Disiplin dipahami sebagai disiplin militer. Tujuannya kepatuhan. Begitulah selama ini kebanyakan orang memahami disiplin.

Tidak heran pendidikan gagal menghasilkan individu-individu otonom. Para siswa dan lulusan fasih mengucap ingin berguna bagi nusa, bangsa, negara, dan hal-hal besar lainnya.

Jarang yang mengucap ingin menjadi diri sendiri, manusia otonom, memiliki kewenangan penuh atas diri sendiri. Seperti seniman, tidak bergantung pada apa saja kecuali pada kekuatan alam.

Disiplin yang dibutuhkan sejatinya adalah disiplin kewajaran kehidupan. Berbeda dari disiplin militeristik yang menyumbat pertumbuhan, disiplin kewajaran kehidupan tunduk pada jalannya alam.

Kekuasaan yang baik harus tunduk pada jalannya alam. Ia tidak boleh anti kebudayaan. Sifatnya menjaga, memelihara, dan menumbuhkan. Dasarnya cinta kasih dan kemanusiaan.

Kalau hendak disimbolkan, kekuasan yang demikian sifatnya feminin, sabar seperti ibu bumi.

Saya perhatikan, sifat ini menonjol dan konsisten terdapat pada dongeng Minak Jingga. Para perempuan dalam dongeng ini—akan segera muncul satu persatu—memiliki peran menentukan. Bukan sekadar sampiran atau pemanis agar penonton betah.

Akan saya munculkan protagonis dongeng Minak Jingga.

Siapa dia? Tidak lain tidak bukan: Damarwulan.

Damarwulan tidak tumbuh dalam asuhan bapak, melainkan ibu.

Teroktoktoktoktoktoktok.

(Damarwulan muncul esok hari. Sekarang masih dandan. Mau main di tempat Riyadi di Gejayan. Penontonnya Tanto, Deddy PAW, Haris Kertoraharjo, Sahrudin, dll).

Bersambung

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply