Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (14)

By March 4, 2021March 7th, 2021One Comment
Ilustrasi karya Hari Budiono.

Sosok Damarwulan adalah Arjuna dalam pewayangan. Bukan besar, kuat, berat, tapi sedang-sedang saja, lembut, ringan, light—Unbearable Lightness of Being. Kalau para buto adalah “the ugly”, Damarwulan “the beauty”.

Sejak lama kebaikan diasosiasikan dengan beauty, keindahan. Begitu pun sebaliknya, kejahatan dengan ugliness. Medusa berambut ular mengerikan, demikian mitologi Yunani, seperti dibahas oleh ahli filsafat Sarasdewi.

Damarwulan dalam dongeng Minak Jingga digambarkan sebagai anak desa, petani, tukang cari rumput.

Tidakkah menjadi anakronistik, pencari rumput berwajah tampan bak Romeo? Bukan tampang agraris bocah desa kamseuk?

Ini berhubungan dengan niat pembuat cerita. Seperti premis saya, dongeng Minak Jingga adalah antitesis kekuasaan yang banal, kasar, menindas.

Soal penokohan, tinggal dikonstruksi narasi: Damarwulan adalah putra patih. Ayahnya, patih Maudara, telah tiada.

Sang ibu, Dyah Palupi, membawa Damarwulan pulang ke desa Paluamba. Tinggal bersama ayah Dyah Palupi yang berarti kakek Damarwulan, Begawan Selagiri.

Damarwulan bukan pemuda desa pada umumnya. Ia kelas menengah urban. Dalam hal ini desa dijadikan locus dasar pengembangan diri Damarwulan.

Teroktoktoktoktoktoktok.

Dyah Palupi dan Begawan Selagiri tengah memperbincangkan Damarwulan.

“Damarwulan semakin dewasa. Makin mirip ayahandanya. Setiap kali saya melihat Damarwulan jadi selalu ingat kangmas patih Maudara,” kata Palupi.

“Tak terpungkiri anakku,” kata Selagiri. “Aku pun punya perasaan demikian. Dia mirip ayahnya. Hanya ayahnya lebih tinggi, Damarwulan lebih pas sosoknya.”

“Dia bekerja tidak kenal waktu. Pagi bangun sebelum matahari terbit. Memukul angin 1.000 kali. Menggempur ombak 1.000 kali. Menyerat 1.000 kata. Bekerja sepanjang hari.”

“Mengolah alam adalah mengolah kehidupan,” tukas Selagiri. “Aku heran, dia masih muda tapi telaten mengolah diri, mengolah raga-pikiran-batin. Pasti ada hubungannya dengan gurunya, orang bijak dari Kebonjukut. Pendekar atas angin”

“Sepertinya sekarang sedang resah. Dia rerasan ingin meninggalkan Paluamba tapi merasa tidak tega meninggalkan ibu dan kakeknya,” ucap Dyah Palupi.

“Begitukah dia berucap padamu, putriku?” Selagiri ingin tahu.

“Dia tidak menyampaikan langsung pada saya, ayahanda. Saya mendengar dari dua abdi, Sabda Palon dan Naya Genggong,” jawab Palupi. “Menurut mereka Damarwulan sejatinya ingin mencoba keberuntungan hidup di ibukota baru Majapahit, Kediri. Dia ingin tahu kenapa Majapahit memindahkan ibukota dari Trowulan ke Kediri. Menurut dia seperti dituturkan Sabda Palon dan Naya Genggong, akar Majapahit adalah Singasari. Mengapa ibukota tidak pindah ke Tumapel, tetapi Kediri. Masa depan negara penuh ketidak-pastian, kata dia menurut para abdi. Ia ingin mengadu keberuntungan di tengah masa depan yang tidak pasti.”

“Jagad dewa batara,” Selagiri kaget mendengar penuturan putrinya. “Aku sebenarnya tengah berpikir, sudah waktunya Damarwulan meninggalkan desa. Lha kok tiba-tiba dia berpikir  seperti itu. Ini namanya keleresan.

 ‘Leres’ artinya benar. Namun ketika jadi kata keleresan, artinya bukan cuma benar, tapi seperti tak tersengaja kebenaran menemukan waktu yang tepat. Itulah makna keleresan. Selain benar, di situ ada campur tangan dewa. Jumbuhnya ruang dan waktu,” tambah Selagiri panjang lebar.

“Sebegitu dalam artinya, ayahanda,” Palupi berkomentar.

“Sekarang juga, panggil Damarwulan untuk menghadapku,” perintah Selagiri kepada putrinya.

Dyah Palupi beranjak, mencari Damarwulan.

Bersambung

Join the discussion One Comment

Leave a Reply