Sabda Palon dan Naya Genggong selalu muncul dalam dongeng-dongeng rakyat sebagai pendamping raja atau ksatria. Cerita paling terkenal adalah tatkala Sabda Palon-Naya Genggong jadi pendamping/abdi raja terakhir Majapahit, Girindrawardhana atau Brawijaya V.
Saat itu Majapahit terdesak oleh kemunculan kerajaan baru, Demak. Brawijaya beserta para pengikut termasuk Sabda Palon-Naya Genggong lari ke lereng Gunung Lawu. Di situ mereka melanjutkan ritual kepercayaannya. Mereka mendirikan candi, sekarang dikenal sebagai Candi Ceto (terletak di Karanganyar).
Kecewa kepada Girindrawardhana yang kemudian memeluk agama baru. Sabda Palon-Naya Genggong meninggalkan raja. Mereka mokhsa. Sebelum moksha keduanya bersumpah, akan kembali 500 tahun kemudian.
Dihitung dari peristiwa tadi, 500 tahun itu jatuh pada tahun-tahun sekarang ini.
Dalam tafsir lebih luas, Sabda Palon adalah Semar dalam pewayangan. Bersama Naya Genggong, sebagaimana Semar dan anak-anaknya, mereka simbol nurani rakyat.
Semar, Gareng, Patruk, Bagong, mendampingi Arjuna dan para Pandawa. Itu semacam konsep manunggalnya rakyat dan penguasa, manunggaling kawula-gusti.
Pada dongeng Minak Jingga—teman-teman saya terutama Ninuk lebih suka menyebut MJ—Sabda Palon-Naya Genggong menjadi pengiring Damarwulan.
Siang itu Sabda Palon dan Naya Genggong bercengkerama di dekat kandang kuda di padepokan Begawan Selagiri di Paluamba.
“Junjungan kita Damarwulan ingin ke Kediri. Kenapa tiba-tiba ia tertarik pada ibukota baru kerajaan. Semasa ibukota di Trowulan dia tenang-tenang saja, tidak pengin ke ibukota,” ucap Naya Genggong.
“Jangan-jangan dia punya pacar di Kediri,” Sabda Palon menyahut.
Ha-ha-ha, keduanya tertawa.
“Bener lho, kalau kuperhatikan dia selalu mesem-mesem setiap kali ada orang menyebut Kediri,” lanjut Sabda Palon.
“Mungkin terkenang tahu takwa yang empuk-empuk sedap.”
“Pokoknya seperti ada kenangan tersembunyi. Mesemnya seperti mesemnya Semar. Mesem nong kamar.”
“Sejak kapan kamu menguasai psikologi fenomenologis seperti itu?”
Harap diingat, Sabda Palon-Naya Genggong bertransformasi dari zaman ke zaman. Tak terhindarkan percakapan mereka kadang menggunakan kosa kata, bahasa, maupun rujukan mutakhir.
“Senyum dan tawa bisa ditafsir segala rupa. Para bawahan tertawa untuk atasan yang melucu tapi sama sekali tidak lucu. Itu namanya tawa mengharap kenaikan pangkat. Malaikat tertawa untuk ketertiban, kebajikan, dan kebaikan dunia. Makna tawa mereka seketika menjadi menyedihkan, ketika setan tertawa lebih keras mentertawakan tawa malaikat.
Tawa paling jujur tanpa pretensi adalah tawa pasangan muda-mudi dimabuk asmara, bergandengan tangan lari-lari di lembah seribu bunga,” persis Semar dalam pewayangan, Sabda Palon suka menggurui orang.
“Dari mana pengetahuan itu kamu dapat?” tanya Naya Genggong.
“Dari kitab tertawa dan melupakan.”
“Kamu paham maksudnya?”
“Tidak.”
“Kok ngomong panjang lebar seperti paling tahu sedunia?”
“Mengikuti zaman. Ini zaman orang merdeka ngomong apa saja tentang hal yang tak dipahaminya.”
“Sekarang ini aku juga sering pangling sama teman-teman lama,” gumam Naya Genggong. “Dulu pendiam dan plonga-plongo, sejak ada handphone bisa nulis apa saja dan sangat ceriwis. Dari subuh menyebar nasihat.”
“Mungkin nulis nyebar nasihat sambil berak. Zaman goblok bareng.”
“Paman Sabda Palon dan Naya Genggong…,” tiba-tiba terdengar seruan.
Dyah Palupi muncul.
“Dimana putraku Damarwulan?” tanya Palupi.
“Masih di ladang, banyak yang dia kerjakan.”
“Cepat cari dan panggil Damarwulan. Eyang Begawan Selagiri ingin berbicara dengannya,” perintah Dyah Palupi.
Buru-buru Sabda Palon dan Naya Genggong mencari Damarwulan.
Bersambung
Sabda Palon-Naya Genggong sedang ngobrol. Terbayang, keduanya sedang di pinggir ladang mengawasi Damarwulan, jongkok dan sambil merokok. Obrolannya asyik banget. Segar ceritanya.
Betul. Rokoknya beda dari MJ.
MJ gelek…
Tahu takwa kediri uenaakk tenan, empuk² menyehatkan. Gimana gak bikin mesem?? Eheemm.. ehheemmm….
Hi hi hi…