Kediri. Belakangan patih Logender jarang pulang ke kepatihan. Keadaan genting membuat dia lebih banyak di istana Majapahit.
Patih Logender memiliki tiga anak. Yang sulung kembar lelaki bernama Layang Seta dan Layang Kemitir. Si bungsu perempuan, Dewi Anjasmara.
Di Kediri tidak ada yang menandingi kecantikan Dewi Anjasmara. Indah sampai gigi yang bak deretan mutiara. Matanya jangan dibilang lagi. Cemerlang bagai bintang panjar pagi.
“Ni Luh Sekar,” kata Anjasmara kepada pembantu setianya. “Kamu jangan jauh-jauh dariku. Ayahanda jarang pulang. Negara tengah genting. Kangmas Seta-Kemitir tidak pernah di rumah. Kluyuran tak keruan. Aku takut kalau kamu tidak di sisiku.”
“Tentu saja tuan putri Anjasmara. Pengin jalan-jalan juga mau kemana di Kediri ini. Sudah bosan hamba lihat sungai Brantas,” jawab Ni Luh Sekar. “Pengin pecel Jl Daha, bisa bikin sendiri di rumah. Sambel kacang sudah ada yang bikin. Tinggal pesan.”
“Kalau begitu hatiku lega,” ucap Anjasmara. Nadanya manja.
“Oh iya, Ni Luh Sekar,” tiba-tiba Anjasmara merasa ada sesuatu yang ingin diceritakan. “Tadi malam aku bermimpi aneh sekali.”
“Mimpi apa tuan putri?”
“Aku bermimpi bertemu pangeran tampan sekali.”
“Waduh, tanda hendak ketemu jodoh.”
“Begitukah?” Anjasmara tersipu.
“Biasanya demikian. Pangeran titisan dewa hadir lewat mimpi terlebih dahulu sebelum hadir di kamar.”
Anjasmara mencablek pembantunya.
“Kok tiba-tiba di kamar itu bagaimana,” kata Anjasmara tersenyum.
Ni Luh Sekar cekikikan.
“Titisan dewa tambah tampan tatkala mesem di kamar. Diikuti kehadiran Gareng.”
“Kok Gareng?” Anjasmara tidak paham maksud pembantunya.
“Megar dijereng,” tukas Ni Luh Sekar.
Meledak tawa.
“Kamu saru Ni Luh Sekar…,” ucap Anjasmara. Pipinya memerah. Rona demikian disebut rona palmerah.
“Adakah yang tuan putri butuhkan?” tanya Ni Luh Sekar.
“Bikinkan aku minuman beras kencur. Campur madu.”
“Baik tuan putri,” Ni Luh Sekar berlalu.
Ni Luh Sekar melihat ada orang di pintu gerbang. Ia keluar ingin tahu.
Di gerbang kepatihan dua makhluk, satu pendek gemuk satu kurus tinggi longak-longok.
“Siapa kalian? Cari siapa?” Ni Luh Sekar menegur.
“Lho kok kamu…,” Sabda Palon kaget melihat Ni Luh Sekar.
Ni Luh Sekar memperhatikan dua orang yang rasanya dia juga kenal.
“Wah tidak salah, kalian Sabda Palon dan Naya Genggong,” Ni Luh Sekar berseru.
Sama kagetnya, mereka berebutan saling tanya kabar.
“Kemana saja kalian bertahun-tahun menghilang,” tanya Ni Luh Sekar.
“Kami hidup di desa. Paluamba,” jawab Sabda Palon.
“Dimana itu Paluamba?”
“Jauh. Kamu tidak akan tahu. Daerah Ciawi.”
“Sekarang mau apa di sini?”
“Beberapa hari kami sampai kota. Tidak ada yang kami tuju. Kami kapiran. Ingin mengabdi mencari pekerjaan kepada patih Logender. Siapa tahu beliau masih ingat kami,” kata Sabda Palon.
“Patih Logender tidak di rumah. Beliau sekarang lebih sering di istana.”
“Kalau begitu kami nunggu.”
Ni Luh Sekar melihat sosok lain di kejauhan.
“Itu siapa?” tanyanya.
“Oh itu anak asuh kami. Damarwulan. Biar kami bertiga mengabdi kepada patih Logender. Bersedia diberi pekerjaaan apa saja.”
Damarwulan mendekat.
Ni Luh Sekar terpesona melihat ketampanan Damarwulan.
“Jagad dewa batara. Bocah bagus. Kamu jadi anak asuhku saja? Mau ya?” Ni Luh Sekar berkata.
Naya Genggong menyela.
“Kamu kalau lihat berondong langsung nyosor…,” Naya Genggong meledek Ni Luh Sekar.
“Damarwulan, mau ya jadi anak asuhku. Nanti tidur sama aku,” Ni Luh Sekar tak peduli ucapan Naya Genggong.
“Maaf bibi, kami datang kemari untuk mencari pekerjaan,” jawab Damarwulan.
“Wah tutur katamu pun tutur kata ksatria,” Ni Luh Sekar girang. “Tidur sama bibi. Nanti bibi ajari.”
“Ni Luh Sekarrrrrr…,” terdengar suara memanggil.
“Oh majikan memanggil,” Ni Luh Sekar berucap.
Dewi Anjasmara muncul di gerbang.
“Disuruh menyiapkan minuman malah ngobrol di sini” Anjasmara ngomel. Siapa mereka ini?” lanjutnya bertanya.
“Oh ini teman-teman lama saya. Sabda Palon dan Naya Genggong,” jawab Ni Luh Sekar.
Mata Dewi Anjasmara menatap keduanya. Setelah itu tertuju pada Damarwulan.
Byurrr, Anjasmara terkesiap.
Dengan suara gemetar dia berucap: “Kalau yang itu siapa?”
“Itu anak asuh Sabda Palon dan Naya Genggong. Siapa tadi namanya?” Ni Luh Sekar berceloteh.
“Hamba Damarwulan, tuan putri,” Damarwulan menjawab Anjasmara.
“Apa maksud kalian datang kemari?”
“Bertiga, bersama abdi hamba Sabda Palon dan Naya Genggong kami ingin mengabdi pada patih Logender. Kami bersedia dipekerjakan sebagai apa saja.”
“Oh begitu?” kata Anjasmara. “Baik kalian kami terima bekerja di sini.”
Ketiganya kaget.
Ni Luh Sekar mendekati Anjasmara.
Berbisik Ni Luh Sekar pada Anjasmara: “Tuan putri ini bagaimana? Yang menentukan orang boleh bekerja di kepatihan atau tidak adalah patih Logender.”
“Biar saja, ayahanda nanti akan setuju,” jawab Anjasmara dengan bibir monyong. Orang cantik, monyong malah tambah cantik.
“Waduh, hamba tidak ikut bertanggungjawab kalau patih Logender marah.”
Anjasmara membawa Ni Luh Sekar menjauh.
Dengan berbisik dia berucap: “Ni Luh Sekar, tahukah kamu. Dia yang muncul dalam mimpiku.”
Kaget Ni Luh Sekar.
“Jagad dewa batara. Saya makin tidak berani ikut tanggung jawab, tuan putri,” kata Ni Luh Sekar.
Dewi Anjasmara senyum-senyum.
Bersambung
Damarwulan jauh² dr Ciawi cari pecel tumpang kediri atau sate ayam pak siboen atau nasi bumbu rujak depot wilis ?
Iya nih Damarwulan ngakunya kontemporer tp aslinya kampung boy. You can take the boy out of village but you can’t take the village out of the boy.
Anjasmara – Damarwulan. Ada pula Anjasmara – Anjampiani. Fakta dan dongeng berkelindan. Semuanya memberi daya hidup.
Komentar ini menyadarkan saya bahwa ‘Saya’ dalam judul “MK dan Saya” kurang saya paparkan. Nanti akan coba saya uraikan. Biar lengkap ngomyangnya.
Tak terasa sudah episode ke-17. Konstan seru dan gilanya. Lanjuuttt.