Lumajang. Adipati Lumajang, Minak Kuncar, adalah saudara seperguruan Minak Jingga. Dia memanggil patih Wora Wari dan para petinggi kadipaten.
“Paman patih Wora Wari dan semua kalian yang hadir di sini, tentunya telah jadi perhatian kalian semua tentang sepak terjang Minak Jingga. Dia saudara seperguruanku, tapi aku tidak bisa membenarkan tindakannya. Sekarang Minak Jingga mengambil alih dan menduduki partai Puralingga,” Minak Kuncar membuka pertemuan.
“Kadipaten, bukan partai,” Wora Wari membetulkan.
“Aku tadi bilang apa?”
“Partai.”
“Ya, menduduki partai keliru. Yang benar kadipaten,” kata Minak Kuncar membuat yang mendengar tambah garuk-garuk kepala.
“Sebenarnya Raden Minak Kuncar dan Raden Minak Jingga kemana bergurunya, kok dua-duanya jadi agak kortslet,” anak buah bisik-bisik.
Minak Kuncar melanjutkan bicara.
“Kalau semua orang dibenarkan menduduki kadipaten mana saja mentang-mentang kuat bakal jadi apa negeri ini.”
“Sepakat,” ucap Wora Wari. “Apa yang akan kita perbuat kanjeng adipati?”
“Siagakan pasukan. Kita berangkat ke Puralingga. Akan aku insyafkan Minak Jingga. Kalau tidak bisa diajak bicara, apa boleh buat kita tempuh jalan kekerasan.”
Teroktoktoktoktoktoktok.
Minak Kuncar dan pasukan tiba di Puralingga.
Minak Jingga menyambutnya.
“Hiyung… hiyung… hiyung… saudaraku Minak Kuncar. Aku tidak mengira kamu begitu tanggap. Kamu kesini bawa orang banyak tentu ingin ambil bagian jadi panitia perkawinanku dengan Kencanawungu. Betul, betul, betul. Aku perlu banyak tenaga. Tukang masak, pager bagus, pager ayu, keamanan, tukang parkir, dan lain-lain.
Kamu nanti jadi best man, pendamping pengantin lelaki. Jangan lupa pakai pakaian yang bagus. Semua pakai seragam. Ragat sendiri-sendiri. Minak Jingga tidak punya uang.”
Lama tidak jumpa, Minak Kuncar tidak mengira Minak Jingga sekorslet ini sekarang.
“Jangan ngelindur kakang Minak Jingga. Aku kesini untuk menyadarkan kakang Minak Jingga. Sudah terlampau jauh yang kakang Minak Jingga perbuat. Menduduki wilayah yang bukan haknya,” ucap Minak Kuncar.
“Aku sekarang jumeneng ratu. Hendak menikahi Kencanawungu.”
“Apa Kencanawungu mau denganmu?”
“Sudah kuminta bantuan dukun dari Genteng, Banyuwangi. Cinta ditolak dukun bicara. Kalah rupa menang dupa.”
“Bangun Minak Jingga, kamu mimpi. Kamu telah offside. Sebaiknya kamu segera meninggalkan Puralingga kembali ke Blambangan.”
“Hiyung… hiyung… hiyung… ternyata kamu Minak Kuncar. Kamu bocah kemarin sore berani menasihati Minak Jingga. Enyah dari hadapanku,” Minak Jingga tersadar.
“Tidak bisa diajak bicara baik-baik. Hadapi pasukan Lumajang!”
Pertempuran pecah. Prajurit Minak Kuncar berhadapan-hadapan dengan prajurit Minak Jingga.
Minak Kuncar terlibat perkelahian dengan Minak Jingga. Pergulatan dua saudara seperguruan ini seru. Ilmunya sama, tafsirnya berbeda.
“Hadoohhhh…,” seru Minak Kuncar.
Berkali-kali dia dihujani pukulan dan tendangan oleh Minak Jingga.
Sadar Minak Kuncar. Bakal tidak ada hasilnya dia menghadapi Minak Jingga. Anak buahnya akan mati sia-sia.
Segera dia menarik mundur pasukan. Lari meninggalkan Puralingga.
“Hiyung… hiyung… hiyung… ternyata cuma segitu kemampuanmu Minak Kuncar. Jurus andalanmu lari. Wah, wah, wah, itu jurus paling sakti. Kudaku lari,” Minak Jingga ngomyang tak keruan.
Dia menari-nari, diiringi lagu dangdut Kudaku Lari. Semua pasukan Blambangan dangdutan. Bergoyang ala tentara.
“Ooohhh, kudaku lari…” penyanyi orkes berhenti, memberi isyarat penonton untuk melanjutkan bunyi lirik lagu.
Pecah suara penonton: “…gagah berani.”
(Yang teriak kurang sopan “Oooh, kudaku lari terkencing-kencing” tidak saya kutip).
Minak Kuncar terus berlari menjauhkan diri. Dia menuju Majapahit. Hendak melapor, Minak Jingga memang edan dan sulit diatasi.
Bersambung