Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (22)

By March 13, 2021No Comments

Setelah berhari-hari tidak menginjak rumah—entah kemana, maklum di Kediri mereka banyak simpenan—Layang Seta-Layang Kemitir pulang ke kepatihan. Di gerbang mereka dicegat Damarwulan.

“Kisanak hendak kemana?” kata Damarwulan sopan.

Seta-Kemitir kaget.

“Kamu siapa?” tanya Layang Seta.

“Saya penjaga gerbang kepatihan,” jawab Damarwulan.

Layang Seta-Layang Kemitir tertawa.

“Kamu minggir. Yang mulia mau lewat,” ucap Layang Kemitir.

Damarwulan heran menghadapi tingkah dua orang yang tak dikenalnya ini. Apakah orang kota semua suka bertingkah begini?

“Mohon tunjukkan cap patih Logender kalau hendak masuk kepatihan,” kata Damarwulan.

“Hua-ha-ha…,” Seta-Kemitir tertawa terbahak-bahak. “Coba jelaskan siapa dirimu?” lanjut Kemitir.

“Saya Damarwulan.”

“Dari mana asalmu?”

“Paluamba.”

“Pantes. Bocah desa. Tidak kenal siapa kami: Layang Seta-Layang Kemitir.”

“Siapa pun, tanpa cap patih Logender tidak akan Damarwulan izinkan masuk kepatihan.”

Tersentak Seta-Kemitir.

“Sebelum habis kesabaran kami, menyingkir kamu,” gertak Layang Seta.

“Damarwulan tidak akan menyingkir.”

“Berani sama kami?”

“Yang kutakuti apamu….”

Layang Seta melayangkan tinju.

Damarwulan menapis. Tinju menyasar tempat kosong.

Bangkit amarah Layang Seta.

“Mari Kemitir,” dia mengajak saudaranya. “Kita beri pelajaran bocah kampung ini.”

Mereka mengeroyok Damarwulan. Dengan tenang Damarwulan melayani keduanya. Seta-Kemitir tambah geregetan.

Entah bagaimana, tiba-tiba Damarwulan memiting keduanya. Leher masing-masing terkempit di kanan-kiri tangan Damarwulan.

Mereka teriak-teriak, antara marah, frustrasi, kesakitan.

Ni Luh Sekar dan Anjasmara lari keluar ingin tahu ada keributan apa. Keduanya kaget melihat Damarwulan memiting Layang Seta-Layang Kemitir.

“Tobatttt, Damarwulan hentikan,” Ni Luh Sekar berteriak. “Itu putra patih Logender.”

Ganti Damarwulan kaget. Ia melepaskan keduanya.

“Kenapa jadi ribut seperti ini…,” Anjasmara tak kalah panik.

“Maaf tuan putri, hamba tidak tahu bahwa tuan-tuan adalah putra patih Logender,” ucap Damarwulan.

“Bocah desa geblekkkkkk,” Layang Seta menumpahkan kekesalan sembari mengurut-ngurut leher.

“Untung kami mengalah. Kalau tidak kamu sudah jadi bangkai,” Layang Kemitir berucap pedas.

“Sudah, sudah, kenapa jadi begini,” Anjasmara menengahi.

“Dia meminta kami menunjukkan cap patih Logender,” ucap Seta.

“Memang demikian perintah ayahanda kepada Damarwulan. Siapa yang tidak bisa menunjukkan cap ayahanda, tidak boleh masuk kepatihan. Negara sedang gawat.”

“Negara sedang gawat. Kamu tahu apa Anjasmara,” Seta menyergah adiknya. “Harusnya kan dia bertanya siapa kami.”

“Hamba sudah bertanya, tapi tidak dijawab,” Damarwulan menyela.

“Harusnya kamu tahu sendiri. Kembar ganteng begini tidak ada duanya di Kediri. Kami putra patih Logender. Dasar bocah desa kurang pengetahuan.”

“Damarwulan hanya melaksanakan tugas, mentaati perintah ayahanda, kangmas Seta-Kemitir,” Anjasmara membela Damarwulan.

“Kamu mengapa terus-menerus ikut-ikutan, Anjasmara?”

“Bukan ikut-ikutan. Saya dengar sendiri perintah ayahanda kepada Damarwulan. Kan begitu ya Ni Luh Sekar?” dia mencari sekutu.

“Betul tuan muda. Hamba juga mendengar perintah kanjeng patih Logender. Siapa saja tidak boleh masuk kepatihan tanpa menunjukkan cap kanjeng patih,” Ni Luh Sekar berucap.

“Sudah, sudah, kami malas bicara sama kalian. Cerewet,” Seta berkata sembari melangkah masuk kepatihan.

“Untung kami tadi mengalah,” Kemitir mengulangi ucapannya. “Asuuuu tenan.”

Anjasmara senyum-senyum.

“Sudah jelas kalah, masih bertingkah,” ia berucap mentertawakan kelakuan kakaknya.

Ni Luh Sekar ikut senyum-senyum.

Bersambung

Leave a Reply