Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (23)

By March 15, 20212 Comments

Layang Seta-Layang Kemitir mengadukan apa yang menimpa dirinya kepada patih Logender.

“Ayahanda harus memecat pegawai baru itu,” kata Layang Seta.

“Menyulitkan dan mempermalukan kepatihan,” Layang Kemitir menyahut.

“Kalian bicara apa dan ada apa?” tanya patih Logender tak paham persoalan.

“Penjaga gerbang bocah desa bernama Damarwulan. Kemarin kami dicegah tidak boleh masuk kepatihan,” ucap Layang Seta.

“Sombong dan tidak tahu sopan santun. Kami bicara sopan mengenalkan diri bahwa kami berdua adalah putra ayahanda Logender. Dia tidak mau mendengar. Begitu kelakukan rakyat kalau diberi seragam. Dengan kasar kami didorong. Kami sabar. Lebih baik membawa persoalan ini kepada ayahanda karena ayahanda yang mengangkat dia sebagai pegawai penjaga gerbang kepatihan,” kata Kemitir.

“Bohong,” Anjasmara yang kebetulan masuk ruangan dan mendengar percakapan berseru. “Kakang Seta-Kemitir yang salah. Damarwulan bertanya baik-baik, kakang Seta-Kemitir tidak sudi menjawab. Malah menghina Damarwulan. Merasa tuan besar yang punya kepatihan. Ditanya Damarwulan siapa kakang Seta-Kemitir, bukannya menjawab malah mengejek. Apa dikira seluruh dunia kenal diri kalian.”

“Anjasmara, kamu ini bicara apa?” Logender menukas putrinya.

“Ya, ayahanda. Kakang Seta-Kemitir bohong. Mentang-mentang anak pejabat. Menghina orang desa.”

“Saya tidak menghina. Bicara apa adanya. Damarwulan bocah desa,” jawab Kemitir.

“Terus kalau bocah desa kenapa? Damarwulan di situ karena diangkat ayahanda sebagai penjaga gerbang. Saya dengar sendiri perintah ayahanda. Siapa saja tidak boleh masuk kepatihan tanpa menunjukkan cap ayahanda patih Logender. “

“Kami putra ayahanda Logender. Apa pantas diminta cap?”

“Kakang Seta-Kemitir tinggal menyebut diri sebagai putra ayahanda Logender. Apa itu telah kakang Seta-Kemitir lakukan. Ditanya dengan sopan malah mentang-mentang. Seperti paling kuasa sedunia. Itu namanya sewenang-wenang. Dek suro. Jadi orang ojo dumeh. Kalau soal sopan santun, rakyat desa lebih ngerti unggah-ungguh. Mereka dekat dengan alam. Setia dengan jalannya alam. Penuh kesabaran. Rendah hati. Sadar manusia tidak seberapa dibanding kebesaran alam….”

“Anjasmara!” patih Logender menghentikan putrinya. “Orang bicara satu patah kata kamu berucap seperti metraliur. Bicara kemana-mana soal rakyat desa, unggah-ungguh, jalannya alam….”

“Soalnya kakang Seta-Kemitir bohong, ayahanda. Mereka memproduksi hoaks untuk menyudutkan rakyat,” Anjasmara tak mau diam.

“Anjasmara, jangan bikin kepala ayahanda pecah. Kamu diam,” Logender berkata. “Beri kakak-kakakmu kesempatan bicara.”

“Betul ayahanda. Kami dicegah tidak boleh masuk kepatihan. Diminta untuk menunjukkan cap ayahanda patih Logender,” kata Layang Seta.

“Terus?”

“Kami tentu saja tidak bisa menunjukkannya. Dia mengusir dan mendorong kami.”

“Bohong,” lagi-lagi Anjasmara berseru.

“Sebenarnya kami tidak ingin melayani. Akhirnya terjadi perkelahian,” Layang Seta tidak peduli seruan adiknya.

“Perkelahian?” Logender bertanya.

“Dengan jumawa Damarwulan menantang untuk kami keroyok berdua.”

“Terus kalian keroyok?”

“Betul.”

“Kalian menang?”

“Mustinya menang. Tapi kami sengaja mengalah. Tidak tega mencederai pegawai ayahanda.”

“Halahhhhh, mau bilang kalah lehernya dipiting saja pakai mutar-muter tidak keruan,” Anjasmara berkata sinis.

“Panggil Damarwulan,” kata Logender.

Layang Seta hendak beranjak, tapi didahului Anjasmara.

“Biar aku yang memanggil,” ucap Anjasmara.

Dewi Anjasmara keluar ruangan.

“Perempuan kalau jidatnya nonong rata-rata tukang ngeyel,” Layang Seta menggerundal.

Damarwulan masuk ruangan. Menghaturkan sembah kepada patih Logender.

“Damarwulan, apa benar kamu berkelahi dengan kedua putraku Layang Seta-Layang Kemitir?”

“Betul kanjeng patih. Hamba mohon maaf karena hamba tidak tahu bahwa tuan muda Layang Seta dan Layang Kemitir adalah putra kanjeng patih.”

“Artinya kamu tidak cocok jadi penjaga gerbang, Danarwulan,” ucap Logender. “Apakah kamu masih ingin kerja di sini?”

“Hamba telah bertekad mengabdi.”

“Kalau begitu kamu tidak lagi aku tugaskan sebagai penjaga gerbang, tetapi sebagai pemelihara kuda-kuda kepatihan. Itu lebih cocok. Kamu dari Paluamba. Biasa pegang arit. Tugasmu mencari rumput dan mengurusi kuda. Ada 40 kuda. Jangan kuda-kuda menjadi terlalu gemuk atau terlalu kurus. Kalau terlalu gemuk tidak bisa lari. Kalau terlalu kurus memalukan pemiliknya seperti tidak cukup diberi makan. Tahu maksudku?”

“PALUamba dan ARIT,” Layang Kemitir merasa perlu menegaskan maksud ayahandanya.

“Tugas akan hamba jalankan sebaik-baiknya,” kata Damarwulan.

Layang Seta-Layang Kemitir tampak puas.

“Dunia sungguh tidak adil,” Dewi Anjasmara menggerutu dengan mulut monyong.

Tidak ada yang mempedulikannya.

Bersambung

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply