Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (25)

By March 17, 20213 Comments

Kalau anatomi kekuasaan bisa dianalogikan dengan anatomi tubuh, maka memori menduduki posisi sentral. Posisinya kurang lebih seperti sejarah dalam pembentukan kesadaran berbangsa/bernegara.

Tanpa sejarah, bangsa tidak memiliki jati diri. Ibarat individu atau seseorang tanpa self. Tanpa kesadaran atas sejarah, tanpa self, baik bangsa atau pun individu tidak memiliki identitas.

Dalam sejarah peradaban, selalu ada ketegangan hubungan antara individu/self dengan sistem yang lebih besar, sebutlah itu bangsa, negara, atau kekuasaan. Negara, kekuasaan, cenderung tidak adil tatkala dihadap-hadapkan dengan individu.

Untuk mencegah ketidakadilan sistem terhadap individu diciptakanlah hukum. Negara yang genah mengutamakan kedaulatan hukum, bukan kedaulatan kekuasaan. Kalau penguasa sewenang-wenang, tidak mengindahkan hukum, itu pertanda negara tidak genah.

Kalian, rakyat, berhak melawan.

Sejak tahun 2000an terlihat menguatnya kesadaran diri atau self menghadapi sistem yang lebih besar. Francis Fukuyama menunjukkan masalah ini dalam bukunya berjudul Identity. Seperti biasanya, uraian dia terang benderang laksana matahari siang hari.

Kalau pada masa sebelumnya individu cenderung diam menghadapi dominasi kekuasaan (dalam bahasa pemikir pasca-kolonialis Gayatri Spivak  disebut “subaltern”), kini para individu bangkit menunjukkan perlawanan dengan apa yang disebut sebagai “politik identitas”.

Politik identitas mengkonsolidasi para individu dalam kesadaran yang lebih sempit, biasanya berhubungan dengan ras, etnisitas, agama.

Kalau sebelumnya individu semata-mata takluk dan menjadi pihak yang harus menyesuaikan diri terhadap sistem, dalam kancah pertarungan politik identitas, sistem  dipaksa untuk menyesuaikan diri pada individu.

Serupa anatomi individu, kekuasaan kadang kurang waras. Ia kehilangan cita-cita, kehilangan jati diri, menjadi hantu gentayangan.

Dongeng Minak Jingga saya bayangkan sebagai dongeng mengenai kekuasaan yang hampa, kering dari cinta kasih. Tokoh-tokohnya merindukan cinta.

Minak Jingga termehek-mehek pada Dyah Ayu Kencanawungu. Gandrung tidak ketulungan. Tiap hari dia terbayang-bayang Kencanawungu. Para pembantu hendak dia tubruk, dikira Kencanawungu.

Dewi Anjasmara dirundung mimpi, cinta indah yang terilhami mimpi, mengenai kedatangan pangeran tampan. Damarwulan adalah representasi kerinduan Dewi Anjasmara.

Bagaimana dengan Dyah Ayu Kencanawungu?

Dia cantik, pintar, berkuasa, single. Posisi sebagai ratu Majapahit membuatnya tidak bisa mengumbar pikiran maupun keinginan pribadi.

Kencanawungu adalah representasi bagaimana kekuasaan yang agung nyatanya mengalienasi individu.

Minak Jingga, tokoh buruk rupa serupa buta dalam pewayangan, tahu peluang ini. Ia merasa berhak mempersunting Kencanawungu. Merasa dirinya tampan.

Semua lelaki, entah tampan entah jelek, selalu merasa diri tertampan sedunia. Itulah beda lelaki dengan perempuan. Perempuan, secantik apa pun dirinya selalu merasa ada yang kurang. Makin cantik makin merasa tidak aman. Industri kacantikan paham betul psikologi ini.

Kencanawungu, meski punya segala-galanya, harus hidup dalam “language of silence”.

Siapakah sebenarnya yang dirindukan oleh Kencanawungu?

Sejak kecil menyukai dongeng Minak Jingga, saya pernah curiga, jangan-jangan yang dirindukan oleh Kencanawungu adalah saya.

Mustinya judul “Minak Jingga dan Saya” memakai tanda tanya.

Bersambung

Join the discussion 3 Comments

Leave a Reply