Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (26)

By March 18, 20214 Comments

Ilustrasi: Wayang Kertas Minak Jingga karya Mbah Tertib Suratno

Terotoktoktoktoktoktok.

Tiada hari tanpa pesta di Puralingga.  Tuak melimpah. Free flow.

“Hiyung… hiyung… hiyung… ternyata jadi ratu itu enak. Minum tuak tidak ada yang meributkan. Demi keadilan, bebaskan seluruh rakyat Blambangan-Puralingga minum tuak. Biar rakyat tambah cerdas,” celoteh Minak Jingga.

“Sudah dibebaskan sejak lama,” kata Angkatbuto.

“Tanpa pajak,” ucap Minak Jingga.

“Tanpa pajak,” bawahan menimpali. “Cuma dikutip biaya keamanan dan lain-lain.”

“Hiyung… hiyung… hiyung… Ratu Ayu Kencanawungu. Kalau minum-minum begini aku jadi tambah kangen padamu. Ingat Sanur.”

“Apakah Dyah Ayu Kencanawungu juga suka minum tuak?” tanya Angkutbuto.

“Iya. Margarita,” jawab Minak Jingga seadanya. Mungkin aslinya demikian.

Mereka mengisi lagi piala masing-masing. Menenggaknya.

“Rasanya nelangsa, minum-minum tanpamu Kencanawungu. Adanya hanya buto-buto jelek Angkatbuto-Angkutbuto.”

“Bersama yang ada saja.”

“Siapa yang ada?”

“Di keputren ada Dewi Wahita dan Dewi Puyengan.”

“Oh ya, aku kok sampai lupa.”

“Nah, sementara Kencanawungu belum tersedia, dengan Wahita dan Puyengan dulu.”

“Tidak apa-apa?” tanya Minak Jingga.

“Tidak apa-apa. Penguasa mah bebas,” kata Angkatbuto mendadak logat Sunda.

“Tapi aku maunya Kencanawungu.”

“Ini untuk sementara. Lumayan. Dua putri. Muda-muda. Duapuluhan. Lebih baik dua duapuluhan daripada satu empatpuluhan seperti Angkutbuto, ha-ha-ha,” kata Angkatbuto menunjuk dan mentertawakan saudaranya.

“Nanti satu punyaku empatpuluhan akan aku tukar dua yang duapuluhan,” Angkutbuto menyahut.

“Angkatbuto-Angkutbuto. Hentikan ucapan kalian. Berimplikasi pelecehan,” Minak Jingga menyelak. “Hiyung… hiyung… hiyung… bagaimana caranya aku memboyong Kencanawungu?”

“Kirim surat terlebih dahulu,” Angkatbuto memberi saran.

“Surat?”

“Ya. Surat. Yang romantis. Perempuan suka membaca surat romantis.”

“Kamu tahu aku tidak sanggup menulis surat. Aku buta huruf.”

“Hua-ha-ha, hamba lupa,” ucap Angkatbuto. “Perintahkan pujangga istana Bhre Wisatsana membikinkan. Dia spesialis membikin surat cinta.”

“Dimana Wisatsana?”

“Di pojok sana. Di bar. Bersama Rani Badri dan Wayan Arcana.”

“Perintahkan sekarang juga.”

“Dia mabuk.”

“Pujangga yang mabuk tuak menulis lebih bagus daripada pujangga yang mabuk petuah.”

“Segera hamba perintahkan,” Angkatbuto beranjak.

“Angkutbuto,” Minak Jingga beralih ke Angkutbuto. “Setelah surat cinta selesai ditulis Wisatsana, segera kamu bawa ke Majapahit. Serahkan langsung pada ratu Dyah Kencanawungu.”

“Prabu Minak Jingga tidak ingin membacanya terlebih dahulu?” tanya Angkutbuto.

“Kamu itu bagaimana? Aku buta huruf. Raja tidak perlu membaca untuk menyetujuinya.”

“Siap menyelenggarakan titah paduka Minak Jingga,” Angkutbuto menyahut.

“Kepalaku tambah berat. Aku perlu istirahat,” kata Minak Jingga.

“Istirahat di keputren. Minta dipijiti Dewi Wahita dan Puyengan,” Angkutbuto memberi usul.

“Apa mereka tukang pijat?”

“Ya bukan,” kata Angkutbuto geleng-geleng kepala. “Paduka perlu belajar banyak. Pijat itu merupakan bagian dari roman Jawa. Wah, dulu bagaimana ceritanya seperti ini kok bisa jadi raja.”

“Kalau begitu aku akan ke keputren. Mencari Puyengan. Cari obat puyeng.”

Teroktoktoktoktok.

Minak Jingga beranjak meninggalkan pesta. Langkahnya oleng.

Bersambung

Join the discussion 4 Comments

Leave a Reply