Sama seperti Minak Jingga gandrung kepada Kencanawungu, Dewi Anjasmara tengah kasmaran berat pada Damarwulan. Dia menyanyikan lagu untuk Damarwulan, sembari menimang-nimang perhiasan.
Apakah kau tahu aku sedang menunggumu
Tak bisa dijelaskan mengapa aku menyukaimu
Jatuh cinta padamu secara mendalam
Semenjak berjumpa denganmu hari itu
Apakah kau tahu aku sedang menunggumu
Jika kau benar-benar peduli padaku
Bagaimana bisa membiarkan malam yang tiada akhir
Menemaniku menghabiskan waktu
Apakah kau tahu aku sedang menunggumu
Jika kau benar-benar peduli padaku
Bagaimana bisa membiarkan tangan yang memegang bunga
Gemetaran tertiup angin
(Dikutip dari lagu ciptaan Eric Chen, Ni Zhi Dao Wo Zai Deng Ni Ma)
Dewi Anjasmara jadi sering kluyuran ke kandang kuda. Ada-ada saja alasannya. Dulu malas-malasan. Kini ia bilang selalu kangen pengin naik kuda. Perlu diketahui, Anjasmara terampil naik kuda. Maklum, anak orang kaya.
“Pengin naik kuda atau yang lain?” Ni Luh Sekar menggodanya.
“Naik kuda, Ni Luh Sekar. Kamu kan tahu aku senang berkuda,” jawab Anjasmara. Pipinya agak memerah. “Tapi kan juga tidak ada jeleknya aku mengirim makanan untuk Damarwulan. Dia bekerja sangat keras. Sekarang kuda-kuda jadi sangat terawat. Dirawat khusus dengan shampoo kuda.”
“Jadi sekarang mau ngirim makanan lagi?”
“Iya. Apa yang kamu punya untuk kukirim kepada Damarwulan?”
“Ketan durian,” jawab Ni Luh Sekar.
“Wah cocok,” ucap Anjasmara.
“Biar tambah lengket,” Ni Luh Sekar berseloroh.
Anjasmara berangkat menuju kandang kuda membawa bekal yang telah disiapkan Ni Luh Sekar.
Dia melihat Damarwulan tengah menyikat tubuh kuda. Damarwulan bertelanjang badan. Tubuhnya bagus. Orang Jawa menyebut tubuh seperti itu bambangan. Tubuh ksatria.
“Damarwulan,” Anjasmara menyapa.
“Oh, tuan putri,” Damarwulan menyahut hormat.
“Waktunya istirahat, aku membawakanmu ketan durian.”
“Hamba jadi tidak enak merepotkan tuan putri.”
“Kamu harus mencobanya. Ini aku memasaknya sendiri,” kata Anjasmara, mengambil alih hak cipta Ni Luh Sekar. Anjasmara tidak becus memasak.
“Nanti saya akan mencobanya.”
“Sekarang saja,” kata Anjasmara.
Dia mendekati Damarwulan. Dibukanya bekal. Ia menyuapi Damarwulan.
Damarwulan kaget. Jadi kikuk.
“Maaf tuan putri. Biar saya makan sendiri.”
“Kenapa kamu selalu menyebutku tuan putri. Aku ini punya nama Damarwulan. Namaku Anjasmara. Dewi Anjasmara. Panggil aku Anjasmara saja.”
Damarwulan tambah gelagapan.
“Tubuh kamu kotor semua,” ucap Anjasmara sembari tangannya mengusap-usap dada Damarwulan yang bidang.
Usapannya melembut. Damarwulan tak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya ketika Dewi Anjasmara memeluknya, kecuali membalas pelukan.
Anjasmara mendekatkan wajah dengan tatapan mata sebagai danau bening, siap menenggelamkan siapa yang balik menatapnya.
Matilah Damarwulan. Ia tenggelam ke dalam sihir danau asmara.
Air menjadi beriak. Dari riak berubah jadi gelombang. Menggulung keduanya.
Keduanya terguling di tumpukan jerami. Mengingatkan pada Claudia Cardinale ketika memadu cinta dengan Henry Fonda di kandang kuda dalam Once Upon a Time in the West—seandainya kalian seumur saya pernah menggemari film koboi spaghetti semacam itu.
Paha Anjasmara tersingkap. Padat putih berisi. Terangkat menggamit pinggang Damarwulan.
Penonton termasuk Hari Budiono dan kawan-kawan terbeliak. Demikian pula Tanto, Haris, Hari Atmoko, Begawan Prabu, Singgih, Warih. Mereka belum pernah lihat versi ini. Mbak Agnes, Mbak Maria, memalingkan muka, takut jatuh dalam dosa. Yang gembira menerima apa adanya Mbak Sarie. Mas Hariadi tak jelas dimana rimbanya.
Seperti tontonan panggung, mendadak cahaya padam. Gelap. Layar turun. Mengalun suara emas si cantik Teresa Teng menyanyikan Yue Liang Dai Biao Wo De Xin.
Apa boleh buat. Saya tidak ingin penonton lebih memperhatikan selingan, lupa esensi.
Bersambung