Tengah Anjasmara dan Damarwulan asyik, tiba-tiba muncul Layang Seta-Layang Kemitir.
“Hahhhhh!” seru Seta-Kemitir.
Mereka pura-pura kaget. Padahal mereka telah lama menguntit dan mengamati gerak-gerik Dewi Anjasmara. Mereka tahu belaka, adegan indehoi (dari kata in the hay)—bercinta di atas jerami—akan terjadi.
Hanya saja dalam hal ini Anjasmara dan Damarwulan belum sejauh itu. Mereka memadu kasih secara innocent ala sebelum era “make love not war”.
They’re just kids, begitu rumusan saya.
Kaget Anjasmara dan Damarwulan. Keduanya bangkit melepaskan diri dari pergumulan. Anjasmara merapikan pakaian yang agak berantakan. Begitu pun Damarwulan.
“Anjasmara. Damarwulan. Apa yang kalian perbuat?” bentak Layang Seta.
“Ngilang dari rumah ternyata melakukan perbuatan tidak senonoh di sini, Anjasmara,” Layang Kemitir mengecam.
“Yang tidak senonoh kalian berdua. Mengintip itu lebih tidak senonoh. Sejenis penyakit,” Anjasmara tak kalah judes. “Voyeurism,” tambahnya, entah dari mana dia dapat kata itu. Waktu itu belum ada studi gender.
“Damarwulan, kamu tidak tahu diri,” kata Seta.
“Siapa yang tidak tahu diri? Kalian mengintip. Kami berdua telah dewasa. Tahu dan sadar apa yang kami lakukan,” kembali Anjasmara bicara getas.
Tanpa diduga muncul patih Logender.
“Ini ada apa geger di sini seperti geger wong ngoyak macan?” Logender berucap.
“Ini ayahanda, Anjasmara dan Danarwulan melakukan perbuatan asusila,” Layang Seta mengadu.
Logender menatap Anjasmara dan Damarwulan.
Anjasmara menapis-napis jerami yang beberapa masih menempel di rambut. Damarwulan tidak tahu harus berbuat apa. Malu, salah tingkah, merasa bersalah.
“Benar yang dikatakan kakakmu, Anjasmara?” tanya Logender pada putrinya.
“Asusila apanya. Orang muda pacaran itu kan wajar, ayahanda,” jawab Anjasmara.
“Wajar apanya…,” Logender menukas.
“Ya, namanya cinta,” Anjasmara berkata.
“Tobat aku sama kamu Anjasmara. Apa yang kamu ketahui tentang cinta.”
“Apakah dulu ayahanda dengan ibunda tidak mengenal cinta?”
“Anjasmara, kok jadi kamu yang menanyai ayahanda!”
“Saya cuma bertanya, kok. Kalau salah ya dimana salah kami.”
Seperti biasa, ia berucap sambil monyong. Baginya seakan-akan tak ada masalah di dunia.
“Wah, ini dia. Ngeyelan,” Layang Seta garuk-garuk kepala. “Sudah jelas salah masih ngeyel.” Hampir dia menyebut ciri fisik wanita tukang ngeyel. Tidak jadi.
“Kamu itu putri patih, Anjasmara,” ucap Logender. “Perbuatan kamu memalukan, tidak pantas.”
“Jadi kalau saya bukan putri patih, pantas?”
“Kamu jangan membuat ayahanda pusing. Dunia mengenal kepantasan. Pangkat-derajat. Bibit-bebet-bobot. Apa ya pantas putri patih bercinta dengan anak desa tukang ngarit.”
“Ini hamba yang salah, kanjeng patih,” Damarwulan angkat bicara.
“Damarwulan, kamu ngaku salah?” tanya Logender.
“Iya kanjeng patih. Nyadong duko, nyadong dawuh.”
“Kamu melanggar tata susila kepatihan, Damarwulan. Tahu kamu apa hukumannya?”
“Hamba siap menerima hukuman apa saja. Asal dibebaskan Dewi Anjasmara dari hukuman. Ini salah hamba.”
“Wuah, wuah, wuah…,” Layang Kemitir menyela. “Sudah jelas Anjasmara trutusan di kandang kuda. Dua-duanya salah, ayahanda.”
“Saya trutusan di rumah sendiri. Kalian trutusan di kampung-kampung seluruh kota,” Anjasmara berkata sengit.
“Anjasmara, diam!” Logender membentak.
“Seluruh kota juga tahu, siapa yang disatroni kangmas Seta-Kemitir,” Anjasmara menggerundal. “Terakhir anak-anaknya tabib di dekat pasar Oro Oro Dowo. Anaknya dua perempuan semua.”
“Kalian sekarang dengarkan apa yang ayahanda titahkan,” kata Logender. “Damarwulan harus dipenjara.”
Anjasmara kaget. Damarwulan menunjukkan sikap tenang.
“Seta-Kemitir. Jebloskan Damarwulan ke penjara,” perintah Logender.
Bersambung