Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (29)

By March 22, 2021One Comment
Ilustrasi: Dari buku Scottt Merrillees Faces of Indonesia (Hanusz Publishing LLC, 2021)

Teroktoktoktoktoktok.

Berbahagialah bocah kampung. Dibesarkan dan diperkaya memorinya oleh dongeng. Dalam pagelaran wayang kulit anak-anak menonton dengan menyelipkan diri di antara para penabuh gamelan dan sinden.

Mereka tertidur di awal pertunjukan yang akan berlangsung semalam suntuk. Terbangun tengah malam, tatkala gamelan riuh dalam irama sampak.

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon.

Dalang mencabut gunungan, mengibas-ngibas jagad pakeliran. Pertanda dunia tengah guncang. Prahara dimana-mana. Pagebluk, orang pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati.

Angin ribut. Tanah longsor. Samudera tumpah. Gunung runtuh.

Inilah transisi dunia lama menuju dunia baru. Tatanan lama telah usang. Akan segera muncul tatanan baru.

Goro-goro, kata dalang.

Muncullah tokoh abdi yang digemari anak-anak. Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

Mereka melucu. Membuat orang tertawa. Tawa adalah eksplosi untuk memisahkan diri dari dunia yang tengah lara.

Cara mengatasi penderitaan adalah dengan tertawa-tawa. Dengan tertawa kita menjadi berjarak dengan kenyataan. Penderitaan menjadi kurang terasa.

Sebaliknya, jangan tertawa-tawa mengenai cinta. Kalau ada yang mengungkapkan cinta sambil tertawa-tawa, jangan hiraukan dia. Cinta adalah soal serius.

Sabda Palon-Naya Genggong maklum belaka mengenai nasib yang menimpa majikannya, Damarwulan.

“Penjara adalah jalan menuju ke kemuliaan kekuasaan,” kata Sabda Palon. “Sukarno, Fidel Castro, Benazir Bhutto, Xanana Gusmao, Nelson Mandela. Semua mengalaminya. Mereka utusan langit, bukan muncul dari selokan.”

Dalam goro-goro, abdi merdeka berceloteh apa saja. Kadang ditingkahi celoteh sinden Elisha. Cantik, sarjana pula.

“Mengapa harus demikian,” Naya Genggong pura-pura bertanya.

“Agar tentang penderitaan rakyat mereka bukan hanya tahu; ngerti; paham. Dengan mengalami penderitaan mereka jadi sadar dan menghayati. Kitab Mahabharata mengajarkan pentingnya pembuangan,” kata Sabda Palon.

Mahabharata dari India digubah dalam bahasa kawi dan menemukan warna lokal Jawa pada masa wanita luar biasa, leluhur Majapahit, Gayatri Rajapatni.

“Bale Sigalagala,” ucap Sabda Palon. “Pandawa dibuang ke hutan Bale Sigalagala ketika itu. Abdi keleleran seperti kita berdua sekarang. Tidak apa. Nantinya ada kesempatan untuk meruntuhkan kekuasaan yang tidak adil dan semena-mena.”

“Kamu subversif,” kata Naya Genggong.

“Tidak. Saya membangunkan kesadaran. Para muda zaman ini biar kenal Rendra. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan tetap terjaga.”

Damarwulan menjalani kehidupan penjara dengan kepasrahan.

Menghilangkan niat dan tujuan. Beban manusia adalah keinginan.

Angin tidak pernah memilih-milih kemana hendak berhembus. Belajar dari angin, jangan coba-coba memilih yang enak-enak saja, menghindari yang dianggap tidak enak.

Apa yang kita lihat, tangkap, jalani, hanyalah ilusi.

Kepasrahan tidak membutuhkan upah—termasuk upah kebahagiaan.

Sebaliknya, kepasrahan adalah kesanggupan untuk menerima ketidak-bahagiaan dan ketidak-sempurnaan dunia.

Dengan yang kujalani ini, semakin jelas aku melihat inti penderitaan manusia.

Bersambung

Join the discussion One Comment

Leave a Reply