Kencanawungu menerima surat yang dihaturkan oleh Angkutbuto. Ia mengangsurkan kepada pembantunya, Wangi Seruni. Angkutbuto kembali ke tempat semula, bersila di depan ratu di antara para pejabat tinggi Majapahit.
“Baca!” Kencanawungu memberi perintah kepada Wangi Seruni.
Wangi Seruni membuka surat dengan hati-hati. Ia bersiap membaca. Seisi ruang menahan napas.
Mengapa aku menulis surat?
Yang terkasih, jangan engkau bertanya seperti itu
Karena sejatinya, tiada yang hendak kukatakan padamu
Semata-mata, agar tanganmu memegang surat ini
Kencawungu tertegun. Begitu pula seisi ruangan.
“Tidak mengira Minak Jingga bisa menulis seperti ini,” Kencanawungu membatin.
(Tentu saja semua tertegun. Bait di atas adalah sajak Goethe, saya terjemahkan secara bebas dari buku Roland Barthes, A Lover’s Discourse).
Dengan suaranya yang empuk lembut seperti penampilannya Wangi Seruni meneruskan membaca surat:
“Sejatinya, pusaka paling berharga adalah kata-kata yang pernah kita ucapkan. Apa yang kita ucapkan, apa yang kita jalani, apa yang kita lalui, membentuk konstruksi memori yang pada gilirannya membentuk diri kita.
Bukan masa depan yang tak pasti, dengan janji yang bisa kita ingkari, melainkan masa lalu itulah jati diri kita.
Ketika itu saya adalah pemuda tampan bernama Jaka Umbaran dari desa Banjarsari. Saya tertarik pada sayembara yang diselenggarakan oleh yang mulia ratu Dyah Ayu Kencanawungu. Siapa yang bisa membunuh pengacau dari Cekomaria Paguyangan Kangin, Kebo Marcuet, kalau lelaki hendak dijadikan suami, kalau perempuan akan diangkat saudara.
Janji tadi mengobarkan harapan saya. Saya akan menjadi suami Dyah Ayu Kencanawungu.
Tidak lagi saya lihat rintangan di hadapan saya. Yang membentang di mata saya cakrawala harapan.
Tidak saya duga, rintangan sebegitu besar. Kebo Marcuet sangat sakti. Pantas tidak ada yang berminat mengikuti sayembara konyol itu selain saya, anak desa tidak tahu apa-apa.
Sudah kepalang basah, saya tidak melihat jalan mundur. Semangat, daya hidup, mengalahkan keterbatasan raga dan pikiran. Kiranya itu yang membuat saya mampu mengatasi dan membunuh Kebo Marcuet.
Hanya saja saya harus membayar mahal. Raga saya koyak-koyak, wajah saya rusak. Pukulan Kebo Marcuet pada kepala membuat saya gegar otak, dan pikiran saya jadi kacau.
Saya jadi miring otak. Saya bukan lagi Jaka Umbaran. Saya terputus dari masa lalu. Saya berubah jadi Minak Jingga.
Nama adalah kelanjutan masa lalu. Dengan mengganti nama saya bukan lagi anak desa seperti sebelumnya.
Satu-satunya yang menghubungkan Minak Jingga dengan masa lalu hanyalah cinta. Cinta tidak bisa dijadikan dagangan borongan. Satu-satunya yang saya cinta adalah Dyah Ayu Kencanawungu. Khusus, tidak ada edisi lainnya.
Cinta saya sempurna dengan perasaan cemburu. Dyah Ayu Kencanawungu harus menjadi milik saya sendiri.
Saya tahu, bagi para priyayi cemburu adalah hal memalukan. Tidak pantas, tidak agung, tidak berbudaya, oleh karenanya harus ditutup-tutupi.
Bagi saya, Minak Jingga, peduli setan dengan ketidak-jujuran perasaan.
Dengan cinta dan cemburu saya rela menderita empat kali:
- Menjadi jelek tidak seperti para priyayi.
- Saya cemburu, dan saya menyalahkan diri sendiri karena memendam cemburu.
- Saya selalu khawatir, perasaan cemburu akan menghancurkan pihak-pihak lain.
- Saya sengsara karena kemudian dikucilkan, dianggap kasar, kurang waras, gila.
Demi cinta, saya menerima semuanya.
Mudah-mudahan, Dyah Ayu Kencanawungu mampu mendengar suara hati saya ini,” Wangi Seruni mengakhiri pembacaan.
Ruangan hening. Tidak ada yang tidak tersentuh.
Oh, Minak Jingga….
Mata Wangi Seruni bahkan berkaca-kaca.
“Tidak kuduga, sehalus ini perasaan Minak Jingga. Mampu membuat surat yang mengubah pandanganku,” ucap Kencanawungu penuh haru.
Senang hati Angkutbuto mendengarnya. Lamaran berhasil.
“Hua-ha-ha,” Angkutbuto tertawa gembira. “Yang membuat surat bukan raden Minak Jingga. Yang menulis pujangga dari Ketewel bernama Bhre Wisatsana,” tambahnya.
Geblek, lugu, jujur, naif, memang sangat tipis batasnya.
Seisi ruangan kaget.
“Jadi ini bukan suara Minak Jingga?” kata Kencanawungu pada Angkutbuto.
“Tentu saja bukan. Minak Jingga buta huruf, ha-ha-ha.”
Murka Kencanawungu. Merasa diri dipermainkan oleh konspirasi lelaki.
Ia rebut surat dari tangan Wangi Seruni. Surat ia sobek-sobek, dia lempar ke muka Angkutbuto.
Angkutbuto terperanjat. Dengan seketika dia lenyap menghilang dari ruangan.
Bersambung
Masa lalu MJ terkuak. Kalimat yang nempel: satu-satunya yang dicinta, khusus tidak ada edisi lain. Tak terasa sudah episode 31. Gaasss Mas BRE..