Menjadi kebiasaan Kencanawungu, ketika dibelit keruwetan dia masuk bangsal meditasi. Sesaji dan perangkat meditasi telah disiapkan oleh Wangi Seruni.
Melepaskan diri dari tanya siapa tahu menemukan jawab, tiga-tiganya badan mengambang dalam meditasi teratai.
Tidak diduga, dewa tiba-tiba hadir.
“Kencanawungu,” dewa menegur sebelum Kencanawungu sempat berkata-kata. “Mengapa engkau lupa. Segala sesuatu cuma ilusi. Minak Jingga adalah ilusimu. Hantu dari Puralingga ada dalam pikiranmu.
Tidakkah engkau tahu, seperti tubuhmu memiliki sensor indrawi, otakmu sejatinya juga dilengkapi oleh sensor ilusi. Mengapa engkau tidak memanfaatkannya?
Pasang surut kehidupan yang kamu rasakan hanyalah akibat dari aliran ilusi yang lepas dari sensor. Ilusi menjerat dirimu. Mulai ilusi tentang kekuasaan sampai ke kecemasan akan kematian.
Bebaskan dirimu. Bebaskan dari apa? Dari delusi, yang menjadikan ilusi menjadi tampak nyata.
Dewa tahu, ini tidak gampang. Saat ini semua manusia dikuasai delusi. Tidak bisa membedakan mana nyata mana tidak nyata. Kepalsuan dan kebohongan semata-mata kulit dari situasi ketika yang nyata dan tidak nyata tidak bisa dibedakan.
Abaikan situasi seperti itu. Yang harus kamu pertahankan adalah kondisi. Mengkondisikan diri dalam kesadaran, tak terpengaruh oleh situasi.
Kencanawungu anakku, engkau harus memurnikan pikiran. Jangan biarkan pikiran dikuasai sampah. Engkau harus mengatasi apa yang sering menguasai manusia, yakni iri hati; bangga diri; sikap tak peduli; agresi.
Pikiranmu saat ini kacau. Kembalilah ke ajaran awal. Mengolah tubuh-pikiran-kata.
Terlebih engkau itu ratu. Pelihara tubuhmu, pikiranmu, ucapanmu.
Kuasai ruang dan waktu diri sendiri. Jangan terbawa ruang dan waktu pihak lain.
Dengan menguasai ruang dan waktumu sendiri, kamu menjadi tiada. Tiada dalam ada; ada dalam tiada. Di situ baru kamu dimungkinkan manunggal dengan sesuatu yang besar.
Siapa sesuatu yang besar? Bukan dewa atau siapa-siapa, melainkan rakyat.
Itulah yang disebut manunggaling kawula-gusti.
Ratu adalah rakyat; rakyat adalah ratu. Tahta bukan untuk dewa tapi untuk rakyat.”
Sesaat dewa berhenti berkata-kata.
Kencanawungu berkesempatan berucap:
“Maafkan dewa batara agung. Selama ini pikiran hamba hanya dikuasai Minak Jingga.”
“Jangan terperdaya oleh Minak Jingga. Minak Jingga cuma narasi. Lawan narasi dengan kontra-narasi.”
Samar-samar Kencanawungu menangkap maksud dewa.
Dewa melanjutkan ucapan:
“Kuberitahu rahasia dewa. Yang bisa mengalahkan Minak Jingga adalah pemuda desa bernama Damarwulan. Pemuda yang masih murni tanpa keinginan.”
“Dimana hamba menemukan Damarwulan?” tanya Kencanawungu.
“Dia ada di kepatihan Logender.”
Samber geledek. Kencanawungu kaget luar biasa.
“Di tempat patih Logender?” Kencanawungu bertanya, tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar dari dewa.
“Bocah desa itu ada di kediaman patih Logender,” kata Dewa. “Sudah kuudar semuanya. Terimalah berkah dewa untukmu, Kencanawungu.”
Dewa menghilang bagai uap.
Kencanawungu termangu-mangu.
Sebegitu jelas pesan dewa ia tangkap.
Bersambung