Kencanawungu mengumpulkan semua petinggi. Kali ini dia lebih tenang.
“Aku kadang bertanya pada diri sendiri, Minak Jingga itu nyata atau tidak nyata. Apa menurut kalian Minak Jingga nyata?” kata Kencanawungu kepada para petinggi kerajaan.
Tanda tanya menyelimuti ruangan.
“Hamba kurang paham maksud paduka ratu,” ucap Logender. “Sudah jelas dia ada. Patih Sinduro gugur. Begitu pun adipati Rangga Lawe. Minak Kuncar sendiri lari kocar-kacir kemari.”
“Saya pun sejatinya bingung,” Minak Kuncar menyahut. “Sri ratu menyinggung Minak Jingga nyata atau tidak nyata. Sebingung saya menghadapi Minak Jingga. Tadinya dia Jaka Umbaran. Ksatria tampan. Sakti. Terpercaya. Mengapa tiba-tiba dia berubah jadi buto. Membawahi para buto, entah muncul dari mana. Jangan-jangan mereka hantu hutan Dandaka, bertugas untuk mengganggu manusia.”
“Kamu menganggap mereka hantu, meragukan mereka nyata?” Logender mengarahkan pertanyaan ke Minak Kuncar.
“Aku sedang memikirkan apa yang terjadi pada negeri ini. Yang kita takuti jangan-jangan cuma hantu,” jawab Minak Kuncar.
“Ancaman terhadap negeri kamu anggap tidak ada?” Logender mencecar.
“Bukan demikian, tapi rasanya ada yang dilebih-lebihkan mengenai dirinya.”
“Aku jadi curiga kamu simpatisan Minak Jingga. Kamu dulu saudara seperguruan dengannya. Satu partai. Kamu tidak bersih. Ada keterpengaruhan.”
“Kecurigaanmu berlebihan, patih Logender.”
“Lhoh, lha ini nyatanya. Kami perlu waspada terhadap penyusupan.”
“Berhentilah kalian bertengkar,” Kencanawungu menyela. “Sekarang giliranku bicara.”
Logender, Minak Kuncar, dan lain-lain tersadar telah ribut sendiri.
“Sejatinya aku telah mendapat petunjuk dewa,” ucap Kencanawungu.
Para petingi mengerahkan perhatian. Rupanya ratu hendak menyampaikan sesuatu yang penting.
“Menurut petunjuk dewa, hanya ada satu ksatria yang bisa mengalahkan Minak Jingga. Ksatria itu namanya Damarwulan.”
Teroktoktoktoktoktoktok.
Patih Logender kaget serasa disengat lebah. Buru-buru dia menutupi kagetnya.
“Kalau boleh tahu, siapa itu Damarwulan?” Logender bertanya kepada Kencanawungu.
“Pemuda desa. Kini berada di kepatihanmu,” jawab Kencanawungu.
Giliran seluruh ruangan kaget. Mereka berpandangan satu sama lain, sebelum semua mata tertuju pada Logender.
“Hamba tidak paham maksud paduka ratu,” kata Logender.
“Apa kurang jelas yang kusabdakan. Yang bisa mengalahkan Minak Jingga pemuda desa bernama Damarwulan. Kini dia berada di kediamanmu.”
“Mohon maaf paduka ratu. Petunjuk dewa itu paduka peroleh lewat mimpi atau bagaimana?”
“Terserah bagaimana paman patih mengartikannya. Itulah petunjuk dewa yang kuperoleh.”
“Petunjuk dewa hanya simbol. Kita harus pandai menafsirkannya,” kata Logender. “Kalau betul demikian petunjukan dewa yang paduka ratu terima, menurut tafsir hamba yang bakal mengalahkan Minak Jingga adalah putra saya. Layang Seta-Layang Kemitir.”
Ruangan berdengung.
“Selalu saja anak sendiri yang ditonjol-tonjolkan,” seorang petinggi nyeletuk.
Minak Kuncar angkat bicara: “Sudah jelas paduka ratu menyebut nama: Damarwulan. Pemuda desa. Satu orang. Tidak dua, dan bukan anak kota, apalagi anak kepatihan.”
“Dewa memberikan petunjuk dengan tanda-tanda. Damarwulan artinya Damar dan Wulan. Dua anak. Berarti Seta-Kemitir,” Logender menanggapi Minak Kuncar. “Kamu tidak mampu membaca tafsir mimpi.”
“Sekarang begini saja. Di kepatihan patih Logender ada tidak pegawai, abdi, atau entah apa bernama Damarwulan,” kata Minak Kuncar.
“Jelas tidak ada,” sahut Logender.
“Benar-benar tidak ada?” Minak Kuncar berucap dengan nada memojokkan.
“Aku tahu nama semua pegawai dan abdiku. Tidak ada nama Damarwulan.”
“Paman patih Logender,” tiba-tiba Kencanawungu berucap.
Semua kembali diam.
Kencanawungu melanjutkan bicara: “Aku titahkan paman patih Logender untuk mencari dan menghadirkan pemuda bernama Damarwulan di hadapanku.”
Tak terkatakan gusarnya Logender.
“Dimana hamba harus mencarinya?”
“Aku tidak akan berpanjang kata. Aku memberi waktu sepekan bagi paman patih Logender untuk menghadirkan Damarwulan. Kalau dalam sepekan paman patih tidak sanggup menghadirkan Damarwulan, kedudukan patih akan aku copot.”
Bumi ginjang ganjing langit kelap-kelap katon.
Tidak ada yang mengira ratu Kencanawungu mengeluarkan titah seperti ini.
Bersambung