Patih Logender tidak mengira bakal menghadapi situasi seperti ini. Bagaimana seandainya dewa benar? Jangan main-main. Yang lain boleh diabaikan, tapi ini dewanya ratu Majapahit.
Aku harus siap andaikata sewaktu-waktu angin berganti arah dan situasi politik berubah, begitu pikiran melintas di otak Logender.
Dikumpulkannya ketiga anaknya, Layang Seta, Layang Kemitir, dan Dewi Anjasmara.
“Anjasmara,” Logender menyebut nama putrinya.
“Ya, ayahanda,” jawab Anjasmara.
Dia bertanya-tanya mengapa ayahanda mengumpulkan mereka bertiga.
“Apa kamu benar-benar mencintai Damarwulan?” tanya Logender.
Terkejut Anjasmara.
“Kenapa ayahanda bertanya soal ini?” ucap Anjasmara.
“Ayahanda ingin tahu seberapa jauh sebetulnya cintamu kepada Damarwulan.”
“Ya jelas cinta. Bagi saya tidak ada cinta lain lagi kecuali kepada Damarwulan,” kata Anjasmara.
“Halahhhh, dasar anak tidak kenal luasnya dunia. Kuper. Temehek-mehek kok sama abdi. Bikin malu saja,” Layang Kemitir menyela.
“Kemitir, diamlah kamu,” Logender menegur Layang Kemitir.
“Mbok sama yang lain saja,” kembali Logender berucap kepada Anjasmara.
“Tidak mau yang lain, ayahanda,” ujar Anjasmara. “Tak mau yang lain, hanya sama dia….”
Logender geleng-geleng kepala.
Layang Seta-Layang Kemitir mencibir.
“Bagaimana kalau aku nikahkan kamu Anjasmara dengan Damarwulan?” kata Logender.
Bukan hanya Anjasmara kaget, tapi juga dua kakaknya.
“Ayahanda hendak mempermainkan saya?” Anjasmara berucap sembari memonyongkan bibir.
“Aku bersungguh-sungguh. Ayahanda mempertimbangkan cintamu pada Damarwulan.”
“Waduh, ayahanda ini bagaimana? Apa langit tidak bakal runtuh,” Layang Seta menyela.
“Kuminta kamu diam Layang Seta,” Logender memperingatkan Layang Seta.
“Jadi ayahanda bersungguh-sungguh?” Anjasmara berbinar-binar. Dia merasa kejatuhan bulan.
“Aku ini orang tua. Patih. Ucapannya adalah sabda pandita ratu.”
Anjasmara salah tingkah. Tidak tahu harus bagaimana membahasakan diri. Ia jadi kikuk. Tangan memain-mainkan ujung rambut.
“Kami benar-benar tidak paham tentang ayahanda,” kata Layang Seta.
“Pada saatnya kalian akan paham, Layang Seta-Layang Kemitir,” kata Logender. “Sekarang juga, lepaskan Damarwulan dari penjara dan hadapkan padaku,” Logender memerintah Layang Seta.
Layang Seta meninggalkan ruangan. Beberapa saat kemudian masuk kembali membawa Damarwulan.
“Damarwulan, aku hendak bertanya padamu,” Logender mengarahkan ucapan pada Damarwulan.
“Hamba nyadong duko, siap menerima hukuman apa saja atas kesalahan hamba,” kata Damarwulan.
“Apakah kamu benar-benar mencintai putriku Anjasmara, Damarwulan?”
Damarwulan tidak menyangka mendapat pertanyaan ini.
“Bukan sekadar cinta, hamba juga tresna,” Damarwulan memberanikan diri bicara.
“Lhadalah, apa bedanya cinta dengan tresna?”
“Ibarat api, hamba mengakui terbakar oleh cinta terhadap Dewi Anjasmara. Api sewaktu-waktu bisa padam. Disertai tresna, cinta dan kesetiaan hamba kepada Dewi Anjasmara akan terjaga.”
“Jagad dewa batara,” ucap Logender.
Anjasmara tersipu-sipu mendengar ucapan pujaannya, Damarwulan. Jantungnya hendak copot. Kalau tidak terikat kepantasan, serasa hendak meloncat ke pangkuan Damarwulan.
“Karena sebegitu besar cintamu kepada Anjasmara, dengarkan titahku: aku akan menikahkanmu dengan putriku Anjasmara.”
Bumi gonjang ganjing langit kelap-kelap katon.
Kali ini langit beserta bulan dan bintang-bintang serasa benar-benar hendak runtuh bagi Damarwulan.
“Disaksikan dewa hamba menerima titah paduka patih,” kata Damarwulan.
Layang Seta-Layang Kemitir diam seribu bahasa. Mereka sama sekali tidak paham apa yang sebenarnya tengah mereka saksikan.
Situasi canggung. Semua kehilangan kata.
“Kalau begitu, kapan kami hendak dinikahkan,” Anjasmara berkata malu-malu, sambil mata melirik-lirik.
“Secepatnya. Dalam pekan ini,” kata Logender.
Sama tidak pahamnya atas keputusan Logender, Anjasmara dan Damarwulan berbunga-bunga hatinya.
Bersambung