Belum sepekan dari batas waktu yang ditentukan, patih Logender menghadapkan Damarwulan kepada Ratu Ayu Kencanawungu. Sabda Palon dan Naya Genggong tidak ketinggalan. Mereka mengiringi majikannya.
Seluruh petinggi kumpul tatkala Logender datang.
“Melaksanakan titah paduka ratu, hamba menghadapkan Damarwulan, menantu hamba,” kata Logender.
Semua terheran-heran.
“Menantu?” kurang paham, Kencanawungu bertanya.
“Suami anak perempuan saya Dewi Anjasmara,” jawab Logender.
“Wah, saya tidak pernah dengar patih Logender mantu kok tiba-tiba punya menantu,” Minak Kuncar menyela.
“Saya mantu diam-diam tidak mengundang siapa-siapa,” Logender menyahut. “Tidak pantas pejabat hajatan besar-besaran.”
“Lho, kami sebagai kerabat kan mustinya diundang. Begitu kan, kawan-kawan,” Minak Kuncar mencari dukungan para petinggi.
“Mustinya demikian,” ada suara nyeletuk. “Mantu kok diam-diam. Terlebih anak perempuan cuma satu.”
“Kalau gangguan terhadap keamanan negeri bisa diatasi kami berencana menyelenggarakan pesta besar-besaran,” kata Logender.
“Tadi bilang pejabat tidak pantas pesta besar-besaran. Sekarang akan pesta besar-besaran. Bicara kok dibolak-balik tidak keruan patih ini,” suara tadi berkomentar lanjut.
“Mengapa sebelumnya patih Logender tidak mengaku bahwa Damarwulan berada di kepatihan?” Minak Kuncar mencecar. “Bilang tidak ada nama Damarwulan di kepatihan?”
“Aku tidak tega menantuku maju perang menghadapi Minak Jingga. Dia pemuda desa. Belum pernah jadi tentara. Ini beratnya perasaan mertua yang sangat menyayangi menantu,” Logender berkilah.
Ucapan Logender membuat semua orang mesem-mesem.
“Damarwulan,” Kencanawungu mengeluarkan suara.
“Hamba menghaturkan sembah paduka ratu agung Majapahit, Dyah Ayu Kencanawungu,” kata Damarwulan.
“Dari mana asalmu?”
“Paluamba, paduka ratu.”
“Dua orang di belakangmu itu siapa?”
“Abdi hamba dari Paluamba, Sabda Palon dan Naya Genggong.”
“Hamba Sabda Palon. Menghaturkan sembah kepada sri ratu,” Sabda Palon menyambung ucapan Damarwulan.
“Hamba Naya Genggong,” Naya Genggong berucap sembari mengacungkan jari. “Menghaturkan sembah. Salam dari desa. Padi-padi telah kuning, sayang bukan kami punya.”
Kencanawungu meyungging senyum. Damarwulan mengingatkannya pada Arjuna. Ksatria Pandawa itu selalu disertai abdi yang gemar melucu.
Sepertinya benar titah dewa. Ksatria ini yang akan menumpas para buto di Blambangan-Puralingga.
“Damarwulan, tahukah kamu bahwa saat ini negeri sedang dikacaukan oleh Minak Jingga?” tanya Kencanawungu.
“Begitulah yang hamba dengar.”
“Aku mengundangmu kemari untuk bertanya, beranikah kamu menghadapi Minak Jingga, mengembalikan ketentraman Majapahit?”
“Apa pun dititahkan paduka ratu akan hamba jalani. Itulah darma pengabdian hamba kepada ratu dan negeri.”
“Bagus kalau demikian,” ucap Kencanawungu. “Hendaknya pertemuan ini mendengar titahku: aku angkat Damarwulan sebagai senapati peperangan menghadapi Minak Jingga.”
Semua pejabat menghaturkan sembah.
“Titah paduka hamba junjung setinggi-tingginya,” kata Damarwulan.
“Bunuh Minak Jingga. Penggal kepalanya dan bawa ke hadapanku,” perintah Kencanawungu.
“Ratu sadis,” Sabda Palon berbisik kepada Naya Genggong.
“Lebih seram dari Minak Jingga,” Naya Genggong berbisik menyahut.
“Wangi Seruni,” Kencanawungu beralih pada pembantunya. “Jangan kurang prayoga, siapkan dan dandani Damarwulan sebagai senapati Majapahit.”
“Melaksanakan titah paduka,” Wangi Seruni berucap, bangkit dari duduk.
“Damarwulan, ikuti Wangi Seruni,” kata Kencanawungu.
Damarwulan mohon diri meninggalkan pertemuan mengikuti Wangi Seruni.
“Mari, siapa tahu kita berdua ikut didandani. Kalau kita berdua cukup baju hitam celana putih. Seragam staf senapati,” kata Sabda Palon pada Naya Genggong. Mereka ikut meninggalkan ruangan.
Nantinya setelah didandani Damarwulan berubah bak Batara Kamajaya. Aura agung memancar dari tubuh dan wajahnya yang tampan.
Tidak ada yang tidak terpesona melihat Damarwulan.
Mengalun lagu pangeran Lenny Kravitz, Let Love Rule:
Love is gentle as a rose
And love can conquer any war
Bersambung