Damarwulan berangkat ke Puralingga setelah berpamitan pada Dewi Anjasmara. Yang tidak diduga Anjasmara, selepas kepergian Damarwulan, secara tidak sengaja dari sudut dinding kepatihan dia mendengar percakapan ayahandanya dengan kedua kakaknya Layang Seta-Layang Kemitir.
“Tentunya kalian berdua tahu bahwa oleh ratu, Damarwulan diangkat sebagai senapati. Sekarang Damarwulan telah berangkat ke Puralingga untuk menghadapi Minak Jingga,” kata Logender.
Suara jelas ditangkap telinga Anjasmara. Ia tidak menampakkan diri, penasaran ingin mendengar lebih lanjut.
“Kami mendengar segalanya. Baru sekarang kami sadar ketajaman serta waskitanya ayahanda. Kami jadi tahu mengapa ayahanda buru-buru menikahkan Anjasmara dengan Damarwulan. Kini ayahanda jadi mertua seorang senapati. Kami berdua jadi ipar senapati. Semua ikut mukti. Ayahanda tahu jalan memuliakan keluarga,” kata Layang Seta didengar Anjasmara.
“Mudah-mudahan nanti ayahanda jadi raja,” Layang Kemitir melanjutkan ucapan saudaranya. “Anak-anak dan menantu semua diangkat jadi adipati penguasa daerah. Cucu dipersiapkan, agar trah Logender berkuasa tujuh turunan.”
“Kalian ini bagaimana malah ngomyang tidak keruan,” Logender menukas. “Belajarlah untuk tidak mengucapkan apa yang kalian inginkan. Kalau pun mengucapkan, ucapkan sebaliknya. Istilahnya: kosok balen.
Kalau ingin berkuasa, apalagi selamanya, bilang bahwa kalian tidak ingin berkuasa. Anggap itu gagasan orang lain. Orang lain yang mengucapkan. Niatnya jelek. Ingin mendorong kalian masuk jurang.
Ambisi harus disembunyikan. Isi kepala yang busuk harus ditutupi. Itu sebabnya raja perlu mahkota indah untuk menutupi bobrok isi kepala.”
Layang Seta-Layang Kemitir mengangguk-anggukkan kepala.
“Terimakasih kami diberi pelajaran berharga,” kata Layang Seta.
“Sekarang kalian berdua dengarkan baik-baik perintah ayahanda. Damarwulan telah berangkat ke Puralingga. Kalau petunjuk dewa yang diterima ratu Kencanawungu benar, boleh jadi Damarwulan akan mengalahkan Minak Jingga. Membunuh dan memenggal kepalanya untuk diserahkan kepada ratu.
Susullah Damarwulan. Intai dari kejauhan. Kalau dia berhasil membunuh dan menenteng kepala Minak Jingga, baru kalian muncul. Ambil hatinya dengan puja-puji sebagai ipar. Nah saat dia lengah, salah satu dari kalian tusuk dia dari belakang.”
Anjasmara terperanjat. Keluar keringat dingin. Ia tak bergerak, ingin mendengar lebih lanjut.
“Tusuk dari belakang. Betul ayahanda. Kalau dari depan kami kalah,” kata Layang Kemitir.
“Sudah kupersiapkan untuk kalian, keris namanya Sunduk Geger. Keris sakti ini, sesuai namanya, artinya menusuk punggung. Memang hanya digunakan untuk menusuk dari belakang. Keris untuk menusuk dari depan ayahanda tidak punya.
Ini keris bikinan empu untuk para politikus. Politikus tidak menusuk dari depan. Mudah ketahuan. Jangan pernah meninggalkan jejak kejahatan.
Nanti, setelah kalian berkuasa, cari penulis yang sedia menuliskan kemuliaan kalian. Itu namanya sejarah. Sejarah penguasa dibikin ahli sastra.
Untuk mempertahankan tahta jangan melulu mengandalkan tentara. Itu kuno. Tentara kalau pintar berkemungkinan berontak,” nasehat Logender.
“Kalau begitu apa, ayahanda?” tanya Layang Kemitir. “Ayahanda selalu berpikiran maju, beberapa langkah di depan.”
“Pelihara para pendengung sebanyak-banyaknya. Tugas mereka adalah untuk memperdaya rakyat. Bikin rakyat bingung, tidak tahu mana yang benar dan tidak benar. Makin rakyat bingung, makin mudah mereka diperdaya.
Musuh besar kekuasaan adalah rakyat yang cerdas. Oleh karenanya, kalau kalian ingin kekuasaan kuat, pertahankan kebodohan rakyat.”
“Wah, wah, wah, tidak mengira kami menerima pelajaran seberharga ini,” kata Layang Seta. “Pelajaran ini akan kami simpan baik-baik sebagai azimat.”
“Nah sekarang jangan lagi menunda-nunda waktu. Berangkat kalian menguntit Damarwulan. Kalau Damarwulan berhasil membunuh Minak Jingga, jalankan perintah ayahanda tadi.
Sebaliknya kalau Damarwulan kalah dan mati, kalian tidak perlu susah-susah. Kembali ke Kediri. Damarwulan menang kalian untung, Damarwulan kalah kalian tidak rugi,” kata Logender.
“Benar. Damarwulan menang kita rampas kepala Minak Jingga. Damarwulan kalah kita menyelinap pulang. Lenggang kangkung. Mampir Tabanan terlebih dahulu. Sekalian mengunjungi Komang Sari Dewi,” kata Layang Kemitir.
“Jangan seperti anak kecil, laksanakan perintah ayahanda,” ujar Logender.
Anjasmara lemas.
Bersambung
Politik dinasti. Dari dulu sampai sekarang.
Juga soal bagaimana kita harus bisa bedakan anrara fakta dan realitas politik.