Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (37)

By April 1, 2021No Comments

            Anjasmara ari mami
            Masmirah kulaka warta
            Dasihmu lan wurung layon
            Aneng kuta Prabalingga
            Prang tanding lan Wurubisma
            Kariya mukti wong ayu
            Pun kakang pamit palastra

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

            Anjasmara adindaku
            Permata hati carilah berita
            Kekasihmu tak urung jadi mayat
            Di kota Prabalingga
            Bertempur melawan Wurubisma
            Tinggallah berbahagia wahai kekasih
            Kakanda mohon diri untuk mati

Bait di atas adalah lirik gending Anjasmara. Menceritakan saat Damarwulan meninggalkan Dewi Anjasmara untuk memerangi Minak Jingga.

Tiada terkira kesedihan Anjasmara mendengar percakapan antara ayahandanya, patih Logender dengan kedua kakaknya Layang Seta-Layang Kemitir.

Oh kekuasaan, dia tidak mengenal belas kasih dan persaudaraan. Tega terhadap saudara.

Teramat lugu orang yang percaya bahwa niat baik bisa menyangga kekuasaan. Mengira orang baik dengan sendirinya menyelenggarakan kekuasaan secara baik.

Kekuasaan isinya kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan kekuasaan itu sendiri.

Sifatnya mulur-mungkret. Sedangkan moral sifatnya hitam-putih.

Dalam sifat kepentingan yang mulur-mungkret, tidak ada lagi hitam adalah hitam; putih adalah putih.

Pada kekuasaan moral menjadi abu-abu. Tidak ada batas benar-salah; baik-buruk.

Sekarang kekuasaan hendak memangsa anaknya sendiri.

“Aku tidak bisa menerima, ayahanda. Bagiku salah adalah salah, benar adalah benar,” kata hati Anjasmara. “Tidak akan kubiarkan kakang Damarwulan kalian perdaya.”

Anjasmara memanggil pembantu setia, Ni Luh Sekar. Diceritakannya apa yang dia dengar.

“Jagad dewa batara,” Ni Luh Sekar kaget. “Betapa jahat ayahanda dan kakak-kakak tuan putri Dewi Anjasmara.”

“Mereka tidak jahat, semata-mata terbawa hukum kekuasaan,” Anjasmara menenangkan diri sendiri. “Tidak ada orang baik dalam kekuasaan. Tidak ada orde baik.”

“Sekarang apa yang hendak Dewi Anjasmara lakukan?” tanya Ni Luh Sekar.

“Aku akan menyusul kakang Damarwulan. Kakang Damarwulan harus diperingatkan. Selain Minak Jingga ada saudara yang akan menusuk dari belakang.”

“Bagaimana tuan putri Anjasmara akan menyusul senapati Damarwulan?”

“Tentu saja aku akan naik kuda. Perintahkan abdi menyiapkan kudaku.”

Dewi Anjasmara trampil berkuda. Kuda tunggangannya berwarna putih, terpelihara secara istimewa. Seperti pernah disinggung sebelumnya, shampoo-nya pun khusus. Shampoo kuda. Saking sayang sama kudanya, Anjasmara memakai shampoo yang sama dengan kudanya.

Kuda dia beri nama tak kalah mewah: Dior.

Dior dilatih secara khusus, dari latihan ketangkasan sampai kepatuhan. Semua dikuasai oleh Dior.

Hanya satu kelemahan Dior. Dia punya sifat bawaan yang sulit diubah. Dior suka main di got.

Tanpa membuang waktu, Dior si kuda disiapkan.

Dewi Anjasmara mengubah penampilan. Dia berdandan sebagai lelaki.

Dari seorang dewi yang kenes dan manja, Anjasmara berubah menjadi ksatria tampan. Lelaki tampan, mendekati ayu.

“Tidak mengira, tuan putri akan setampan ini sebagai lelaki,” kata Ni Luh Sekar kagum. “Tentunya sebagai kstaria, tuan putri tidak lagi memakai nama Dewi Anjasmara. Siapa nama baru tuan putri?”

“Panji Sumirang. Kini aku adalah pangeran Panji Sumirang,” kata Anjasmara.

Segera dia keluar menyongsong kudanya.

Tanpa canggung sedikit pun Dewi Anjasmara yang kini pangeran Panji Sumirang meloncat ke punggung kuda.

Bagai anak panah, melesat Dior ke timur, menyusul Damarwulan.

Bersambung

Leave a Reply