Di keputren Puralingga Wahita dan Puyengan dikagetkan kemunculan tiga manusia.
“Jagad dewa batara, siapa kalian?” seru Wahita. “Kalau hantu segeralah menyingkir. Jangan ganggu kami. Kalau manusia sebut nama kalian dan ada niat apa berada di sini.”
“Apakah aku terlihat seperti hantu blawu wong ayu? Namaku Damarwulan. Dua ini abdiku, Sabda Palon dan Naya Genggong.”
Terkesiap Wahita dan Puyengan mendengar nada bicara Damarwulan. Daya pikatnya tidak sebatas penampakannya, tapi juga ucapannya.
“Apakah paduka dewa?” tanya Puyengan. “Batara Surya yang sengaja muncul di keputren?”
“Aku manusia biasa seperti kalian. Bukan hantu bukan dewa.”
Puyengan berbisik ke telinga Wahita: “Ssttt, tampan sekali. Cool.”
“Dari mana dan apa maumu berada di tempat ini Damarwulan?”
“Aku senapati Majapahit. Sengaja aku menyusup ke puri Puralingga untuk mencuri pusaka Minak Jingga. Sebaliknya siapa kalian berdua, wong ayu?”
“Senapati Majapahit?” Wahita terhenyak. “Pantas sanggup menembus penjagaan puri Puralingga. Aku Wahita, dan ini saudaraku Puyengan. Kami adalah putri-putri Minak Surangga, adipati Puralingga. Tak lebih kini kami adalah tawanan Minak Jingga. Kami tidak tahu nasib ayah kami.”
“Oh, aku kira tadi kalian putri-putri Minak Jingga. Kok aneh pikir saya, orang jelek Minak Jingga punya dua putri cantik-cantik,” Sabda Palon menyela.
“Kukira malah istri mudanya,” sahut Naya Genggong.
“Idih, jangan sembarangan kamu bicara. Mana sudi kami dengan Minak Jingga,” Wahita menyahut getas.
“Kalau begitu sama kami saja. Pas, satu-satu. Satu untuk Sabda Palon satu lagi untukku. Yang mana saja bagianku aku mau,” kata Naya Genggong.
“Sama kalian pun kami tidak mau,” kata Wahita. “Kan begitu ya Puyengan? Kamu juga tidak mau kan, sama mereka berdua?”
“Jelas aku ogah,” jawab Puyengan. “Kalau sama majikannya, Damarwulan, aku tidak menolak,” lanjutnya.
“Kok perasaan kita sama, Puyengan. Dengan Damarwulan aku juga mau,” kata Wahita sembari menyablek lengan Puyengan. “Senapati Damarwulan, apakah kamu mau sama kami berdua?”
Pusing kepala Damarwulan. Belakangan dia merasa bertemu perempuan-perempuan nekat, berbeda dari para wanita desa Paluamba. Perempuan kota lebih berani dan lebih blak-blakan.
“Senapati Damarwulan telah punya istri. Cantik jelita. Namanya Dewi Anjasmara,” Sabda Palon berkata.
“Tidak apa kami jadi istri kedua-ketiga,” kata Wahita. “Kami suka lelaki yang istrinya tidak jelek, tapi cantik. Itu artinya dia memiliki portofolio bagus.”
“Modar. Jadi kalau istrinya jelek portofolionya jelek?” kata Naya Genggong. “Senapati Damarwulan datang kemari untuk menumpas Minak Jingga, bukan untuk cari garwa enggal.”
“Apakah senapati Damarwulan telah mendapatkan pusaka Minak Jingga?” tanya Wahita.
“Aku sudah menyusup ke semua ruangan, tidak mendapatkan apa-apa,” jawab Damarwulan.
“Tentu saja senapati Damarwulan tidak mendapatkannya. Minak Jingga tidak pernah melepaskan dua senjata saktinya,” kata Wahita.
“Dua senjata?” tanya Damarwulan. Baru ia tahu senjata andalan Minak Jingga jumlahnya dua. Dikira cuma satu.
“Ya, dua. Gada Wesi Kuning dan pedang Sukayana. Dua senjata itu selalu ada pada dirinya. Kiri kanan.”
“Dua kiri kanan. Tidak ada satu yang di tengah?” tanya Naya Genggong.
“Kami belum pernah lihat yang di tengah,” jawab Wahita lugu, tidak sadar tengah dipermainkan oleh Naya Genggong.
“Jangan berucap kurang pantas, Naya Genggong. Apalagi menyerempet seks. Bagi sebagian orang saat ini seks sama tabunya dengan rokok,” Damarwulan memperingatkan abdinya.
“Rakyat anti tubuh,” Sabda Palon nyeletuk.
Tiba-tiba terdengar suara kecrek-kecrek. Itu adalah bunyi gelang kaki Minak Jingga.
“Hiyung… hiyung… hiyung…. Temanilah aku Wahita-Puyengan. Jadilah stand in, pemeran pengganti Kencanawungu,” terdengar suara Minak Jingga.
Semua kaget.
Damarwulan bersiap-siap, menyingsingkan lengan baju.
Bersambung