Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (39)

By April 3, 2021No Comments

Teroktoktoktoktoktoktok.

Minak JIngga muncul.

“Hiyung… hiyung… hiyung… Wahita-Puyengan. Siapa bocah bagus ini,” celoteh Minak Jingga. “Apa ini cemceman kalian, berondong kalian?”

“Paduka ini ratu kok menuduh seenaknya. Cemceman. Berondong. Kami baru saja kenal,” kata Wahita sengit.

“Mbok ratu itu belajar bicara. Biar tidak ditertawakan orang,” ucap Puyengan.

“Kayaknya mabuk. Ngomongnya ngawur,” kata Sabda Palon.

“Mabuk ciu,” Naya genggong menyahut.

“Siapa bilang aku mabuk ciu. Aku ini ratu. Minumanku bukan ciu tapi sangria,” ucap Minak Jingga.

“Wah, memang mabuk. Ngomyangnya gawat,” komentar Naya Genggong. “Ayahab.”

“Apa ayahab?” Sabda Palon tidak paham.

“Bahasa Malang. Dibaca terbalik: bahaya.”

“Ha-ha-ha, usa.”

“Bocah bagus, siapa kamu dan sedang apa di sini?” tanya Minak Jingga lebih lanjut.

“Aku Damarwulan. Senapati Majapahit,” jawab Damarwulan.

“Hiyung-hiyung Damarwulan, senapati Majapahit. Lantas siapa dua mahkluk jelek ini?”

“Aku Minak Palon,” kata Sabda Palon.

“Aku Minak Genggong,” Naya Genggong tak mau kalah. “Kami semua minak. Ada lagi minak telon, minak kayu putih, minak oles, dan lain-lain. Kalau minak wangi yang suka Mbak Sarie. Dia mau bikin perusahaan minyak wangi. Namanya Febriane.”

“Terus kamu mau apa Damarwulan?” tanya Minak Jingga.

“Menyerahkanmu ke Majapahit. Kalau kamu tidak bersedia bakal kupenggal lehermu. Kepalamu kupersembahkan pada ratu.”

“Hiyung… hiyung… hiyung…,” seru Minak Jingga. “Kamu sangat berani. Dibayar berapa kamu sama ratu Majapahit. Sebut bayaranmu, akan aku bayar lebih tinggi. Jadilah senapatiku. Biar Puralingga-Blambangan punya senapati tampan. Bosan aku lihat Angkatbuto-Angkutbuto. Pejabat Puralingga jelek semua tampangnya. Tidak seperti para pemimpin zaman dulu. Ganteng-ganteng katon uwong.

“Waduh, ini sejatinya raja apa pengusaha?” celetuk Sabda Palon. “Itung-itungannya kok cuma bayaran. Dikira semua orang bisa dibayar.”

“Ini zaman semua pengusaha jadi penguasa,” Naya Genggong nyeletuk sesukanya.

“Aku melakukan darma menegakkan ketentraman dunia bukan untuk uang,” ucap Damarwulan.

“Lhoh aku memberi dengan rela kok Damarwulan. Anggaplah gratifikasi,” Minak Jingga bicara tidak keruan.

“Apalagi gratifikasi. Sekarang menyerahlah Minak Jingga. Kubawa kamu ke Majapahit.”

“Lhadalah berani sama Minak Jingga!”

Minak Jingga melabrak Damarwulan. Damarwulan berkelit. Hampir saja ia kena seruduk.

Tanpa jeda Minak Jingga merangsek lagi.

Damarwulan kerepotan. Tandang dan serangan Minak Jingga tidak mengenal pola. Sengawur ucapannya. Yang begini sulit diatasi.

Tiba-tiba Damarwulan kena pukul—pukulan tanpa wujud. Seketika pandangannya berkunang-kunang. Damarwulan ambruk.

Minak Jingga berjingkrak, siap menghabisi Damarwulan.

Wahita-Puyengan menjerit.

“Prabu Minak Jingga,” seru Wahita. “Paduka itu ratu. Ksatria. Tidak layak menyerang lawan yang telah tidak berdaya.”

Minak Jingga berhenti seketika.

“Jadi aku ksatria ya?” Minak Jingga pulih kesadarannya. “Ksatria tampan seperti dia? Aku memang tampan,” lanjutnya (pulihnya kesadaran Minak Jingga ya seperti itu. Kewarasannya terletak pada ketidak-warasannya).

“Kepalaku juga agak pusing. Kebanyakan minum sangria. Aku mau tidur. Temani ratumu ini Wahita-Puyengan,” Minak Jingga berucap sembari berjalan sempoyongan menuju kamar. “Ayo Wahita-Puyengan. Aku kangen bertigaan.”

Wahita-Puyengan mengikuti Minak Jingga, yang dalam seketika ambruk di pembaringan.

Wahita memeriksa Minak Jingga.

“Apakah tidur beneran?” Puyengan bertanya pelan.

“Iya. Tidur. Ngorok,” ucap Wahita.

Dengan tangan gemetar, Wahita dan Puyengan meraba dua pusaka yang terselip di pinggang Minak Jingga: gada Wesi Kuning dan pedang Sukayana.

Dua pusaka berpindah ke tangan Wahita dan Puyengan.

Buru-buru dua perempuan ini meninggalkan Minak Jingga. Mereka menjumpai Damarwulan yang baru saja siuman.

“Apa yang terjadi padaku? Dimana Minak Jingga?” tanya Damarwulan.

“Untung senapati Damarwulan selamat. Minak Jingga kami perdaya,” kata Wahita.

Wahita dan Puyengan menyerahkan gada Wesi Kuning dan pedang Sukayana kepada Damarwulan.

“Inilah dua pusaka yang senapati Damarwulan cari,” ucap Wahita.

Bukan main kagetnya Danarwulan.

“Jadi ini gada Wesi Kuning dan pedang Sukayana?”

Damarwulan bisa merasakan kewibawaan kedua pusaka yang kini di tangannya.

“Saatnya senapati Damarwulan melaksanakan darma yang tadi kami dengar,” ucap Wahita.

Teroktoktoktoktoktoktok.

“Terimakasih wong ayu. Kalian berdua daya hidupku.”

Bersambung

Leave a Reply