Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (41)

By April 6, 2021No Comments

Misi selesai. Saking senangnya Sabda Palon dan Naya Genggong ingin buru-buru pulang ke Majapahit. Mereka bergegas angkat kaki.

“Biarkan juragan kita bersama Wahita-Puyengan dulu. Kayaknya masih pengin ngobrol,” kata Sabda Palon pada Naya Genggong.

Naya Genggong sependapat.

“Saya lihat tadi ngobrolnya pakai pegang-pegangan tangan,” ucap Naya Genggong.

“Nah, buat apa nungguin orang pacaran,” sahut Sabda Palon.

“Aku pikir-pikir kok aneh. Setiap kali yang menolong dia perempuan.”

“Cantik-cantik pula.”

“Kecantikan itu membosankan,” ucap Naya Genggong. “Mudah diduga dan ada batasnya. Yang tidak terduga dan tiada batas adalah keganjilan. Semoga junjungan kita Damarwulan segera terlepas dari kedangkalan pandangan remaja.”

“Kok mendadak luar bisa pikiranmu.”

“Karena melihat orang-orang cantik hari-hari terakhir ini.”

“Sekarang malah kamu yang membuatku bingung,” kata Sabda Palon garuk-garuk kepala.

Dengan gugurnya Minak Jingga, semua tahanan dari Puralingga dilepaskan. Tak terkecuali adipati Minak Surangga, ayahanda Wahita-Puyengan. Karena jabatannya tadinya oleh Minak Jingga dia dikategorikan tahanan golongan A. Kalau Minak Jingga tidak keburu jatuh, mungkin Minak Surangga dihukum mati.

Tidak terkira bahagia Wahita dan Puyengan bisa berkumpul kembali dengan ayahandanya.

“Ksatria ganteng senapati Majapahit ini lho yang membunuh Minak Jingga,” Wahita memperkenalkan Damarwulan kepada ayahandanya.

“Senapati Damarwulan, terimalah ucapan terimakasihku. Aku kian tersadarkan, hanya anak-anak muda sanggup membebaskan negeri. Yang tua sebaiknya pensiun. Jalan-jalan. Seperti Pak Ageng-Bu Ageng,” kata Minak Surangga.

“Kami melihat sendiri, Minak Jingga seperti dia ajak main-main sebelum dipukul oleh pusakanya sendiri,” Puyengan bercerita kepada Minak Surangga.

“Seakan tanpa kekerasan,” Wahita menambahi.

Minak Surangga terpesona mendengar cerita putri-putrinya.

“Kalau orang tua dungu ini boleh bertanya, ilmu apa yang senapati Damarwulan gunakan,” ucap Minak Surangga.

“Cinta kasih. Ilmu harus berdasar cinta kasih. Memelihara, bukan menghancurkan. Saya semata-mata merupakan jalan bagi Minak Jingga untuk menjalani karmanya. Siapa tahu dia akan mengalami kelahiran kembali, lebih baik seperti dia inginkan.”

Kian kagum Minak Surangga.

“Setelah ini akan kemana senapati?” tanya Minak Surangga.

“Kembali ke Majapahit, tugasku telah selesai.”

“Mengapa senapati tidak tinggal sebentar di Puralingga? Tidak bisakah saya menyelenggarakan pesta kemenangan ini?” kata Minak Surangga.

“Iya, kenapa buru-buru…,” Wahita nyeletuk.

“Tinggal dulu beberapa waktu di Puralingga. Belum pernah kan melihat-lihat Puralingga. Apalagi ini sedang musim mangga. Puralingga terkenal mangganya,” Puyengan ikut membujuk.

Damarwulan merasa perlu mewaspadai diri sendiri. Ia tidak ingin terlena dalam rasa puas diri.

Ia mengikuti teladan para pengelana, meninggalkan desa setelah para penyamun yang menguasai desa terkalahkan. Biasanya pendekar pengelana akan berlalu menuju cakrawala senja, meninggalkan dara desa yang terlanjur jatuh cinta padanya.

Masih banyak tugas menanti, menegakkan keadilan dunia.

“Saya mohon pamit, adipati Minak Surangga,” kata Damarwulan. “Juga kalian berdua, Wahita-Puyengan yang telah menolong diriku.”

Mata Wahita-Puyengan berkaca-kaca.

Oh, senapati kekasih hati….

Bersambung

Leave a Reply