Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (42)

By April 8, 2021No Comments

Damarwulan meninggalkan Puralingga. Di jalan dia melihat dua penunggang kuda melaju kencang ke arahnya. Makin dekat tampak satu penunggang kuda membawa kuda lain, tali kekang disatukan dengan tali kekang kuda yang ditungganginya.

“Dimas Damarwulan,” seru salah satu penunggang kuda.

“Kangmas Layang Seta-Layang Kemitir,” Damarwulan menyahut.

Ia tidak mengira akan kemunculan Layang Seta-Layang Kemitir.

Keduanya turun dari kuda, memeluk Damarwulan.

“Syukurlah engkau selamat dimas,” Layang Seta berkata.

“Kami semua mengkhawatirkanmu sehingga cepat-cepat menyusul,” Layang Kemitir berkata tak kalah hangat. “Kabar keberhasilan dimas membunuh Minak Jingga telah tersebar kemana-mana. Kami sangat lega.”

“Ini semua karena kehendak dewa kangmas Layang Seta-Layang Kemitir,” ucap Damarwulan.

“Tentu saja karena kehendak dewa, namun kami melihat sendiri laku dan tirakatmu dimas Damarwulan,” kata Layang Kemitir.

“Sejak semula kami sekeluarga telah melihat bahwa dimas Damarwulan adalah ksatria pilihan dewa. Apa yang pernah kami lakukan di kepatihan adalah cara kami untuk mematangkanmu, dimas Damarwulan.

Ayahanda Logender sejak semula telah melihat dimas Damarwulan sebagai ksatria yang kelenggahan. Oleh karenanya ayahanda dengan berani mengusulkan kepada ratu Kencanawungu agar dimas Damarwulan diangkat sebagai senapati.

Ratu mendengar nasihat ayahanda Logender. Diangkatlah dimas Damarwulan sebagai senapati Majapahit,” Layang Seta menerangkan.

Terharu Damarwulan. Ia tidak mengira sebegitu tanggap dan perhatian keluarga Logender terhadap dirinya.

“Tidak terkira terimakasih dan rasa syukurku kangmas Layang Seta-Layang Kemitir. Sebegitu berartinya jalan yang ditunjukkan dan disediakan untukku oleh keluarga Logender,” Damarwulan berucap penuh haru.

“Kami pun tak kalah bersyukur menjadi putra ayahanda Logender yang mampu melihat sesuatu sebelum kejadian. Weruh sak durunge winarah. Lalu dipertemukan dengan dimas Damarwulan sebagai ipar,” ucap Layang Seta.

“Untuk mempermudah perjalanan dimas Damarwulan, sengaja saya membawa satu kuda untuk dimas Damarwulan,” Layang Seta menunjuk kuda yang tadi dihelanya.

“Begitu besarnya perhatian dimas Layang Kemitir.”

 “Sudah selayaknya kami membantu ipar. Keluarga harus kompak.”

Mereka berdua bertanya ini-itu bagaimana Damarwulan menaklukkan Minak Jingga.

“Bolehkah saya melihat kepala Minak Jingga yang dimas bungkus itu?” tanya Layang Seta.

“Tentu saja kangmas Layang Seta,” jawab Damarwulan.

Dia menyerahkan bungkusan kain berisi kepala Minak Jingga.

Layang Seta menerima dengan hati-hati, meletakkan di tanah dan membukanya.

“Waduh seram. Kepalanya gede sekali. Rambutnya panjang keriting,” serunya.

Damarwulan ikut memperhatikan, berjongkok di dekat Layang Seta.

“Kamu tidak ingin melihat, Layang Kemitir?” tanya Layang Seta.

“Aku tidak berani. Kepala buto menakutkan,” ucap Layang Kemitir.

Diam-diam dia menghunus keris Sunduk Geger—pusaka yang dikhususkan untuk menusuk dari belakang.

Tanpa ampun, ia hunjamkan keris ke punggung Damarwulan.

            Aja turu sore kaki
            Ana dewa nganglang jagad
            Nyangking bokor kencanane
            Isine donga tetulak

           (Jangan tertidur terlalu awal
           Ada dewa mengelilingi jagad raya
           Menenteng bokor emas
           Berisi doa penolak bala)

Damarwulan ambruk. Layang Seta-Layang Kemitir berjingkrak.

“Ternyata tidak sukar menyingkirkan seorang senapati,” kata Layang Seta.

“Rasakan kamu Damarwulan,” kata Layang Kemitir yang masih menyimpan dendam sembari membersihkan noda darah pada keris.

Segera mereka membungkus kembali kepala Minak Jingga.

Keduanya meloncat ke punggung kuda, melaju menuju Majapahit.

Bersambung

Leave a Reply