Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (44)

By April 10, 2021One Comment

Melewati kawasan sepi berhutan lebat, Damarwulan dan rombongan dicegat sosok yang muncul secara tiba-tiba. Ksatria tampan berpakaian serba putih, dengan kuda yang juga warna putih.

“Berhenti,” kata ksatria ini, memalangkan kuda di tengah jalan. “Siapa kalian kluyuran di tengah hutan?”

Melihat penampilannya yang luar biasa, Damarwulan merasa harus berhati-hati.

“Saya Damarwulan, senapati Majapahit,” jawab Damarwulan.

“Siapa dua perempuan ini?”

“Saya Wahita, dan ini saudara saya Puyengan,” Wahita menjawab.

“Sebaliknya siapa dirimu ksatria tampan?” tanya Damarwulan.

“Aku pangeran Panji Sumirang, penguasa Alas Purwa.”

“Sekarang bisakah kamu menyingkir dan kami melanjutkan perjalanan?” ucap Damarwulan.

“Ceritakan terlebih dahulu kalian dari mana hendak kemana, ada apa sampai di tempat ini,” kata Panji Sumirang.

Secara singkat Damarwulan menceritakan peristiwa yang dialaminya.

“Rupanya kamu Damarwulan. Cerita kesaktianmu mengalahkan Minak Jingga telah tersebar kemana-mana. Hanya saja aku kurang percaya. Tunjukkan bukti bahwa kamu mengalahkan Minak Jingga,” ujar Panji Sumirang.

“Bukti berupa kepala Minak Jingga yang telah aku penggal dirampok oleh begal yang memperdayaiku. Kini mereka mendahuluiku membawa bukti itu ke Majapahit. Yang kupunya dua wanita ini, saksi peperanganku melawan Minak Jingga.”

“Oooo, jadi dua wanita ini bukan istrimu. Lalu siapa istrimu, Damarwulan?”

“Istriku putri Kediri, namanya Dewi Anjasmara.”

“Bukan istri kok gandeng-gandengan. Kurang pantas kamu Damarwulan,” kata Panji Sumirang.

Habis kesabaran Damarwulan.

“Jaga ucapanmu Panji Sumirang. Menyingkir dari hadapanku atau kulabrak kamu.”

“Lawanlah aku kalau kamu sanggup Damarwulan,” Panji Sumirang menantang.

Secepat kilat Damarwulan mengirimkan tenaga pukulan melalui telapak tangan.

Panji Sumirang terlempar dari kuda. Ikat kepala lepas. Penyamarannya buyar.

Damarwulan kaget luar biasa.

“Adinda Anjasmara,” seru Damarwulan.

Ia menghambur, ingin mengangkat berdiri Dewi Anjasmara.

Dengan sengit Anjasmara menolak.

“Adinda adinda… baru meninggalkan rumah beberapa hari telah menggandeng perempuan lain,” Anjasmara bersungut-sungut.

“Dengarkan dulu adindaku,” Damarwulan memegang lengan Anjasmara.

Anjasmara menepisnya.

“Gak usah urusi saya. Gandeng-gandengan sama dua itu saja,” Anjasmara menunjuk ke Wahita-Puyengan.

Suasana runyam.

“Dewi Anjasmara, maafkan kami, ini salah kami, bukan salah senapati Damarwulan,”  Wahita berkata.

“Ya, terus terang kami yang nyosor,” Puyengan menyambung. “Maafkan kami Dewi Anjasmara. Kami memang kurang pantas.”

“Lagi pula cuma pegangan tangan, tidak ada perasaan apa-apa adinda,” kata Damarwulan.

Nah, ini perbedaan lelaki dan perempuan. Lelaki cenderung berkata: hanya fisik, tidak ada perasaan. Sebaliknya wanita: hanya perasaan, tidak ada hubungan fisik.

Alangkah konyol dua makhluk ini sejatinya.

Oh ya, dalam rombongan tersebut terdapat dua abdi Damarwulan, Sabda Palon dan Naya Genggong.

“Kalian juga, Sabda Palon-Naya Genggong. Kalian bukannya peduli, malah pura-pura tidak tahu,” Anjasmara menyemprot Sabda Palon-Naya Genggong.

“Kami sedang makan di warung, tidak tahu apa yang terjadi tuan putri,” jawab Sabda Palon.

“Tugas abdi adalah mengingatkan majikan. Sebagaimana tugas kawula mengingatkan penguasa. Jadi apa negeri kalau penguasa seenak udel, dan kawula pura-pura bego kayak kalian,” Anjasmara menyemprot sana-sini.

“Sudahlah adindaku. Kakanda mengaku salah, kakanda minta maaf,” Damarwulan membujuk.

“Maaf maaf… lelaki sama saja. Ada jidat sedikit kelimis lupa sama istri di rumah,” Anjasmara berucap sengit. “Sekarang kalian semua nurut sama aku. Aku yang memimpin dan menyerahkan kalian kepada ratu Majapahit.”

Tidak ada yang berani berkata apa-apa. Semua diam mengiyakan.

“Memang ngeyelan,” bisik Naya Genggong kepada Sabda Palon.

“Apa kalian bisik-bisik!” sergah Anjasmara.

Laksana cengkerik terinjak, para abdi diam seketika.

“Mari kita lanjutkan perjalanan,” Damarwulan mengajak sembari memegang tangan Anjasmara.

“Jangan pegang-pegang,” Anjasmara menampik.

Rombongan bergerak menuju Majapahit.

Bersambung

Join the discussion One Comment

  • Hartono R says:

    Meminjam teori neuro language programing, maka para laki-laki atau perempuan yg sdh menikah akan berkata: lho, kok podho? Karena otak memproses coupling atau mirorring yg kemudian memicu hormon dophamine, membangkitan memori di setiap kepala manusia yg pernah mengalaminya. 😁

Leave a Reply