Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (45)

By April 11, 20212 Comments

Pertemuan agung pendapa Majapahit tengah menerima Layang Seta-Layang Kemitir. Mereka mengaku telah memadamkan kekacauan negeri. Keduanya menyerahkan bukti berupa kepala Minak Jingga.

Patih Logender waswas. Mengapa Layang Seta-Layang Kemitir langsung ke istana, tidak pulang terlebih dahulu ke kepatihan, berkonsultasi terlebih dahulu padanya. Ia khawatir Layang Seta-Layang Kemitir mengarang cerita tidak keruan, membuat ratu tidak percaya.

“Jadi kalian yang membunuh Minak Jingga?” tanya ratu Dyah Kencanawungu.

“Betul sri ratu. Kami berdua. Layang Seta-Layang Kemitir,” jawab Layang Seta.

“Bagaimana kalian mengalahkan Minak Jingga?”

“Ternyata Minak Jingga tidak sesakti dibayangkan orang,” Layang Kemitir berucap. “Kami berdua menyerang bersama-sama. Minak Jingga kelabakan. Dia terpojok di tembok. Segera saya tusuk dadanya dengan keris pusaka Sunduk Geger.”

“Wah wah Sunduk Geger untuk menusuk dada. Apa tidak keliru,” Minak Kuncar menyela.

“Lha nyatanya dia mati,” jawab Layang Kemitir.

“Lanjutkan laporan kalian,” Kencanawungu berucap.

“Setelah kami pastikan tewas, kami memenggal lehernya,” Layang Kemitir melanjutkan.

“Kami dengar Minak Jingga otot kawat balung wesi. Tidak tedas senjata,” kembali Minak Kuncar berujar. “Dengan senjata apa kalian memenggal leher Minak Jingga?”

“Tentu saja dengan pisau,” Layang Seta langsung menjawab.

“Pisau dapur,” Layang Kemitir menambahi.

Minak Kuncar tertawa.

“Aku kok jadi ingin lihat pisau dapur istimewa itu,” ucap Minak Kuncar.

“Ketinggalan di dapur puri Puralingga,” ujar Layang Kemitir.

“Sengaja kami tinggalkan. Siapa tahu masih diperlukan untuk masak, mengiris cabe bawang,” kata Layang Seta.

Kekhawatiran Logender terbukti. Anak-anaknya ngawur. Kebohongannya kurang meyakinkan.

Dia menyesali diri kurang keras mengajarkan kebohongan. Sebagai pejabat, semestinya dia mewariskan satu-satunya kompetensinya kepada anak cucu, yakni berbohong.

“Bagaimana Layang Seta-Layang Kemitir memenggal leher tidaklah penting. Yang penting kini mereka telah membawa bukti kepala Minak Jingga, bahwa mereka yang mengalahkan Minak Jingga,” patih Logender membela.

“Lho, kalau menurutku keterangan bagaimana mereka mengalahkan Minak Jingga penting. Proses bagi saya tak kalah pentingnya dibanding hasil,” Minak Kuncar menjawab Logender. “Lalu sekarang dimana senapati Damarwulan?”

“Damarwulan tewas oleh Minak Jingga,” kata Layang Kemitir.

Seluruh ruangan kaget.

“Senapati Damarwulan tewas?” tanya Kencanawungu.

“Betul sri ratu,” kali ini yang menjawab Layang Seta. “Sejak dimas Damarwulan berangkat ke Puralingga kami mengkhawatirkan keselamatannya. Ipar kami itu hanya bocah desa. Kebisaannya cuma ngarit. Cari rumput. Bakal bisa apa dia menghadapi Minak Jingga. Maka diam-diam kami menyusul untuk menjaga dan membantunya.”

“Sayang kami berdua terlambat,” Layang Kemitir menimpali. “Ketika kami tiba dimas senapati Damarwulan telah pralaya. Tidak bisa kami menahan amarah kepada Minak Jingga. Nyawa harus dibayar nyawa,” tambahnya gagah.

“Namanya saudara, harus saling bantu,” Logender menambahkan.

“Semua senapatiku gugur oleh Minak Jingga,” Kencanawungu berucap dengan nada sedih.

“Mereka telah menjadi tumbal negeri sri ratu. Negara perlu banyak tumbal, itu biasa. Jangankan 2-3 orang, dua tiga juta juga tidak apa-apa,” kata Logender. “Kini telah muncul anak-anak saya, siap menjadi senapati untuk menghadapi gangguan-gangguan Majapahit di masa depan.”

“Tunjukkanlah bukti kepala Minak Jingga padaku,” perintah Kencanawungu.

Layang Seta maju. Perlahan-lahan dia membuka bungkusan kain berisi kepala Minak Jingga.

Bungkusan terbuka.

“Aaauuuuuuuu…,” Kencanawungu menjerit keras.

Layang Seta kaget. Dia meloncat mundur menubruk Layang Kemitir. Keduanya berdekapan gemetaran.

“Ada apa?” tanya Layang Kemitir kepada saudaranya.

“Sepertinya hidup lagi. Hendak menelan kita,” jawab Layang Seta.

Minak Kuncar dan beberapa perwira meloncat mencabut keris.

Mereka bersiaga mengamankan ratu.

“Matanya mengedip padaku,” kata Kencanawungu usai hilang kagetnya.

“Ooh, hamba kira hidup lagi,” Minak Kuncar menyarungkan kembali kerisnya. “Sudah mati pun masih kurang ajar. Agaknya bagi Minak Jingga hanya ada satu kata: Kencanawungu.”

Belum habis kegaduhan tadi, datang kegaduhan baru.

Dewi Anjasmara tiba-tiba muncul.

“Dewi Anjasmara…,” kata Kencanawungu demi melihat kemunculan Anjasmara.

“Maafkan hamba paduka ratu, menghadap secara tiba-tiba tanpa diundang,” kata Anjasmara.

Logender, Layang Seta, Layang Kemitir, bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan kemunculan Anjasmara ini. Bagi mereka Anjasmara berarti kompleksitas persoalan.

“Hamba harus mengingatkan paduka ratu, bahwa yang membunuh Minak Jingga bukan Layang Seta-Layang Kemitir, melainkan Damarwulan,” kata Anjasmara.

Tersentak seisi ruangan.

Bersambung

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply