Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (46)

By April 12, 2021No Comments

Yang paling blingsatan dengan kemunculan Dewi Anjasmara adalah patih Logender serta kedua putranya Layang Seta-Layang Kemitir.

“Apa yang hendak engkau sampaikan Dewi Anjasmara?” tanya Kencanawungu.

“Yang membunuh Minak Jingga bukanlah kedua kakak hamba Layang Seta-Layang Kemitir,” jawab Anjasmara.

“Maaf paduka ratu. Mohon jangan dengarkan dan maafkan adik kami Dewi Anjasmara,” Layang Seta menyela.

“Mohon dimaklumi paduka ratu,” Layang Kemitir menambahkan. “Bisa dimaklumi beratnya beban yang ditanggung adik kami Dewi Anjasmara. Masih terhitung pengantin baru ditinggal mati suami. Ia jadi gini,” tambahnya sembari menyilangkan jari di jidat.

“Apa,” Anjasmara tersengat. “Jadi kangmas Kemitir menganggap otakku miring? Iya, kamu anggap aku kurang waras?”

“Kangmas bisa paham kesedihanmu dinda Anjasmara. Relakanlah kepergian Damarwulan. Dia gugur membela negara. Jadi bunga bangsa,” kata Layang Seta.

“Engkau masih muda dinda Anjasmara,” Layang Kemitir menambahi. “Cantik pula. Sebagai janda kamu akan cepat dapat ganti. Banyak yang suka janda.”

Marah Dewi Anjasmara.

“Pikiran busuk lelaki. Tidak pantas diucapkan di warung, apalagi di pertemuan agung di depan ratu,” sergah Anjasmara.

“Anjasmara,” kata patih Logender lunak. “Tenanglah cah ayu. Mari ayahanda antar pulang.”

“Pulang, pulang, bagimana saya sudi pulang melihat persekongkolan jahat kekuasaan seperti kalian lakukan,” Anjasmara berkata getas.

Seisi ruangan tidak tahu harus berkata apa.

Ada yang mesem-mesem, menikmatinya sebagai hiburan. Saat marah Dewi Anjasmara tambah menggemaskan (NB: aku suka wanita ngeyelan seperti itu, teman saya Hari Budiono mengaku).

“Tidak ada persekongkolan jahat. Maksud kekuasaan itu baik,” kata Logender menenangkan Anjasmara. “Jangan gemar berprasangka. Orang baik, orde baik.”

“Mau maksud baik atau tidak kekuasaan harus diawasi. Dikira saya tidak tahu apa yang ayahanda lakukan secara diam-diam bersama kangmas Seta-Kemitir. Apa itu namanya kalau bukan persekongkolan jahat.”

“Engkau cuma perempuan cah ayu, tidak tahu apa-apa tentang kekuasaan,” kata Logender.

Samber geledek, cuma perempuan.

Anjasmara tidak percaya apa yang didengarnya.

Ucapan tersebut kian menyulut Anjasmara.

Memperoleh pengetahuan dari biksuni yang ratusan tahun kemudian reinkarnasi menjadi perempuan Bangka yang pindah Jakarta, Anjasmara tahu ketidak-adilan terhadap perempuan sifatnya tidak alami, tapi diciptakan.

Seperti diajarkan biksuni tadi, ada nama Ocalan. Dia meneliti, situasi seperti ini  terjadi sejak 8.000 tahun Sebelum Masehi.

Awalnya perempuan memimpin negara dan pemerintahan. Lelaki memimpin ritual keagamaan. Menjadi pandita. Kaum lelaki kemudian melakukan kudeta, mengambil-alih kekuasaan politik.

Berlangsung turun-temurun ribuan tahun, seolah merupakan hal wajar lelaki menjadi pemborong tunggal kebenaran dunia dan akherat.

Makin sedih, banyak perempuan mengamini pandangan ini. Rela diperlakukan semena-mena, bahkan dimadu.

Rasanya hendak meledak dada Dewi Anjasmara.

Coba kami mogok melakukan hubungan seks, tahu rasa kalian kaum lelaki, gerutu Anjasmara dalam hati.

Agaknya sang biksuni pernah menceritakan dongeng kuno Lysistrata kepada Dewi Anjasmara. Lysistrata adalah tokoh yang menghimpun perlawanan terhadap kaum lelaki dengan menyerukan mogok hubungan badan.

Seluruh lelaki menjadi pinokio. Bukan hidungnya yang panjang, melainkan bagian bawah pusar. Ereksi tidak menemukan lawan. Modar.

“Harap semua diam,” Kencanawungu buka suara.

Adu mulut berhenti seketika.

“Dewi Anjasmara,” ucap Kencanawungu tenang berwibawa. “Ceritakanlah padaku apa yang engkau ketahui.”

“Mohon perkenankan hamba menyampaikan bahwa yang membunuh Minak Jingga adalah kangmas Damarwulan.”

“Apakah engkau memiliki bukti, Anjasmara?”

“Hamba memiliki bukti,” jawab Anjasmara.

Ia memberi isyarat.

Muncullah Damarwulan diiringi Wahita-Puyengan.

Tidak ketinggalan Sabda Palon-Naya Genggong.

Teroktoktoktoktoktok.

Bersambung

Leave a Reply