Teroktoktoktoktoktok.
Bumi gonjang ganjing langit kelap-kelap katon.
Patih Logender, Layang Seta, Layang Kemitir, merasa bumi terbalik.
“Dia bangkit lagi. Kita akan ganti dibunuh,” kata Layang Kemitir ketakutan kepada Layang Seta. “Mari kabur saja.”
“Ssstttt, tenanglah. Ayahanda akan menyelesaikan persoalan,” bisik Layang Seta menenangkan saudara kembarnya.
Damarwulan, Wahita, Puyengan, Sabda Palon. Naya Genggong menghaturkan sembah kepada ratu Kencanawungu.
“Astaga, engkau masih hidup Damarwulan,” ucap Kencanawungu.
“Berkat doa paduka ratu, hamba tak kurang suatu apa,” kata Damarwulan.
“Malah dapat bonus dua wanita,” Naya Genggong nyeletuk.
Sabda Palon memukul Naya Genggong.
“Jangan sembarangan di depan ratu,” ia memperingatkan Naya Genggong. “Apalagi di depan yang itu,” bisiknya seraya sembunyi-sembunyi jari menunjuk Dewi Anjasmara.
“Lalu siapa dua wanita cantik ini?” tanya Kencanawungu.
“Hamba Wahita dan ini adik saya, Puyengan. Kami putri-putri adipati Minak Surangga. Setelah Puralingga direbut oleh Minak Jingga, kami dijadikan tawanan. Senapati Damarwulan membebaskan kami. Beliau yang menewaskan Minak Jingga,” Wahita menerangkan.
“Jagad dewa batara, jadi siapa sebetulnya yang telah menewaskan Minak Jingga. Baru saja Layang Seta-Layang Kemitir membawa bukti kepala Minak Jingga, mengaku mereka yang mengalahkan Minak Jingga,” kata Kencanawungu.
“Ternyata ada bukti baru. Senapati Damarwulan yang mengalahkan Minak Jingga. Bahkan senapati Damarwulan yang dikabarkan pralaya nyatanya masih segar bugar,” Minak Kuncar berucap.
“Jadi bagaimana ini,” Kencanawungu bingung.
“Tentunya yang jadi pegangan adalah apa yang pernah dititahkan oleh ratu,” patih Logender mengambil kesempatan bicara. “Ratu pernah bersabda, yang bakal dapat hadiah adalah yang menyerahkan kepala Minak Jingga.”
“Lhah tapi sekarang ada bukti, bahwa yang membunuh Minak Jingga adalah senapati Damarwulan. Ada pula saksi, Dewi Wahita dan Puyengan,” Minak Kuncar menanggapi Logender.
“Betul, tapi yang namanya sabda pandita ratu tidak bisa dicabut begitu saja,” jawab Logender.
“Begitu saja kok repot. Tinggal dikeluarkan SK baru,” Naya Genggong kembali nyeletuk.
“Kamu jangan ikut-ikutan. Ngawurnya jangan kabangetan,” Sabda Palon memperingatkan. “Raja tidak boleh sembarangan mengeluarkan SK.”
“Jadi menurut pandanganmu bagaimana Minak Kuncar?” Kencanawungu bertanya.
“Menurut pendapat hamba, diadu saja senapati Damarwulan dengan Layang Seta-Layang Kemitir,” ucap Minak Kuncar. “Bertarung sampai mati.”
“Aaaaaaaaa….,” Layang Kemitir teriak. “Ayahanda, selamatkan kami,” dia menjadi tak terkendali.
Seluruh ruangan tertawa-tawa. Minak Kuncar mesem-mesem.
Tak ada yang tahu bahwa celana Layang Kemitir basah. Dia pipis di celana.
“Jadi mereka diadu?” Kencanawungu berucap.
“Benar paduka ratu. Untuk memperlihatkan kesejatian seorang ksatria,” jawab Minak Kuncar.
“Ayahanda, kenapa jadi begini? Kami tidak mau bertarung melawan saudara sendiri,” Layang Seta berkata. “Kami rela mengalah demi persaudaraan. Biar hadiah didapat dimas Damarwulan.”
“Tidak apa bertarung. Tapi tidak boleh sampai ada yang mati. Lecet, cedera pun tidak boleh. Ini kan cuma seperti memperebutkan undian. Usulku bagaimana kalau tebak-tebakan isi buah manggis saja? Yang tebakannya tepat berhak memperoleh hadiah dari sri ratu,” kata Logender.
“Wah ini patih malah lebih sembarangan dari kita,” Naya Genggong garuk-garuk kepala.
“Urusan negara kok dibuat main-main seperti ini,” Minak Kuncar berucap. “Hancur masa depan negeri kalau semua pejabat seperti patih Logender dan anak pejabat seperti Seta-Kemitir.”
“Baiklah aku merestui. Penyelesaian adalah mengadu senapatiku Damarwulan dengan Layang Seta-Layang Kemitir,” kata Kencanawungu. “Kapan di mana serta bagaimana tata laksananya kuserahkan bulat-bulat kepada Minak Kuncar. Moso borong Minak Kuncar.”
Usai berucap demikian Kencanawungu memberi isyarat pertemuan selesai.
Ratu bersiap meninggalkan ruangan.
“Dewi Anjasmara, kamu ikut denganku,” kata Kencanawungu bangkit dari singgasana.
“Siap melaksanakan titah paduka,” Anjasmara menyambut.
Kencanawungu meninggalkan ruangan, diikuti Anjasmara dan Wangi Seruni.
Bersambung