Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (48)

By April 14, 20212 Comments

Kencanawungu membawa Dewi Anjasmara ke puri ratu. Dia ingin bicara berdua dengan Anjasmara.

“Duduklah yang nyaman Anjasmara. Aku ingin berbincang denganmu,” kata Kencanawungu.

Anjasmara bertanya-tanya dalam hati, apa maunya ratu.

“Jangan jadi ganjalan hatimu. Termasuk apa yang diperbuat oleh ayahandamu patih Logender dan dua saudaramu Layang Seta-Layang Kemitir. Sudah lama aku tahu semuanya. Sebagai ratu aku melihat segalanya.”

“Begitukah paduka ratu?” Anjasmara menebak-nebak kemana pembicaraan hendak berlanjut.

“Sekarang aku akan bicara padamu sebagai sesama perempuan,” Kencanawungu mengawali. “Kuakui sumber perkara adalah diriku. Ayahandamu adalah konsekuensi dari pertimbangan dan keputusanku, membiarkan intrik berkembang di lingkungan istana.

Hanya itulah caraku untuk mengamankan kekuasaan.

Aku mengungkapkan ini padamu sebagai sesama perempuan, perempuan dalam kemelut kekuasaan.

Tidak mudah berkuasa dan memiliki segala-galanya andaikata kita ini perempuan. Tekanan tidak hanya dari luar. Manusia terlanjur menganggap dunia milik kaum lelaki.

Tekanan tak kalah kuat berasal dari dalam diri kita. Merasa memiliki segala-galanya, menggelembunglah ego kita.

Sebagai perempuan aku makin ingin menunjukkan kemampuanku yang lebih besar daripada umumnya kaum lelaki. Maka aku memilih pembantu-pembantu yang lemah.

Orang-orang lemah menemukan pupuknya di lingkungan kekuasaanku. Mereka menjadi-jadi, mengembangkan intrik di kalangan mereka sendiri.

Dengan itu aku makin kuat.

Mereka kuanggap semata-mata sebagai alat untuk memenuhi perjanjian jiwaku sendiri. Ya, perjanjian jiwa.

Hanya saja, kian tambah umur, aku menyadari perlunya keseimbangan hidup. Betapa pun aku adalah darah daging Majapahit.

Panutanku adalah leluhurku, eyang putri Gayatri Rajapatni.

Aku ingin mengutamakan keluhuran hidup seperti beliau.

Kuakui tidak mudah.

Sekali lagi, sebagai sesama perempuan kuharap engkau bisa lebih paham.

Berbeda dari eyang Gayatri yang pernah penuh hidupnya oleh cinta, aku merasa tidak memiliki apa-apa.”

Kencanawungu berhenti sejenak.

Ruangan hening.

Anjasmara tidak menduga ratu akan mengungkapkan diri sejauh itu.

Usai menarik napas panjang, Kencanawungu melanjutkan.

“Yang menyeimbangkan hidup kita sejatinya cinta. Dengan cinta kita belajar akan penyerahan diri dan kepercayaan. Tanpa itu, yang berkembang semata-mata keinginan untuk menguasai segala-galanya sekaligus mencurigai segala-galanya.

Curiga, bahwa selalu akan ada pihak lain yang akan mengambil sesuatu dari kita.

Itulah yang kusadari terjadi padaku. Kini aku mulai belajar untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan hal-hal duniawi.

Aku ingin mengikuti teladan eyang Gayatri. Mengundurkan diri dari kancah kekuasaan, menyerahkan hidup kepada Buddha, menjadi biksuni.”

Kaget Anjasmara. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

“Bagaimana dengan kelanjutan tahta?” tanya Anjasmara.

“Belajar melepaskan diri termasuk belajar tidak memikirkan bagaimana kelanjutan tahta. Kalau kita masih memikirkannya, yang akan terjadi nanti adalah culke ndase cekeli buntute. Kepalanya dilepas, ekornya dipegang.

Itu tidak elok.

Kalau kita memiliki ketulusan dan kepatuhan, alam akan membantu menemukan jalan. Yang masih belum kumiliki saat ini adalah ketulusan dan kepatuhan terhadap jalannya alam.

Aku masih repot dengan diri-sendiri, seolah dunia akan terhenti tanpa kehadiran Kencanawungu.

Meski kusadari pikiran itu keliru, berat aku bisa mengubah diri.

Biarlah kujalani semampuku. Mudah-mudahan alam bermurah hati memberiku kesempatan  mematangkan diri dan memberi jawab atas persoalan-persoalanku.”

Kencanawungu terdiam.

Anjasmara ikut-ikutan diam, tidak tahu harus berkomentar apa.

“Sejatinya, aku iri padamu Anjasmara,” tiba-tiba Kencanawungu berucap.

Anjasmara terhenyak.

“Ya, diam-diam aku mengagumi dirimu. Engkau berani mengambil keputusan yang tidak dimiliki kebanyakan perempuan. Engkau berani menentukan pilihanmu, menikah dengan Damarwulan yang sebelumnya diketahui sebagai semata-mata anak desa, tukang cari rumput.

Kulihat dari kejauhan, engkau tidak mempertimbangkan hal lain kecuali semata-mata menuruti kata hatimu, yakni cinta.

Bahwa kemudian Damarwulan terbukti dipilih dewa sebagai pembebas, tentulah itu bukan menjadi pamrihmu ketika menentukan diri menjadi istri Damarwulan.

Yang mencari tidak mendapatkan, yang tidak mencari menemukan.

Engkau tidak mencari, tapi menemukan,” Kencanawungu berkata.

Anjasmara tidak mengira sedemikian luas dan dalamnya pandangan ratu.

“Adakah yang ratu kehendaki dari hamba?” tanya Anjasmara.

“Tidak ada. Telah lama aku ingin mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikiranku, tapi tidak ada sosok di sekelilingku yang kupandang tepat untuk mendengarkanku,” kata Kencanawungu.

“Terimakasih hamba dipilih untuk mendengarkan ratu,” ucap Anjasmara.

“Aku juga berterimakasih padamu Anjasmara,” kata Kencanawungu. “Kini aku merasa lega.”

Tidak terkira terharunya Dewi Anjasmara.

Ratu yang berkuasa, tapi kesepian.

Bersambung

Join the discussion 2 Comments

  • marinA says:

    Sesi personal. Mas Bre nampaknya mengerti sekali perempuan. Yang jadi pertanyaan, perempuan zaman dulu dimengerti, perempuan zaman now? Apa sama?

    • Bre Redana says:

      Sama aja zaman dulu atau now. Kata Oscar Wilde: banyak lelaki gagal memahami wanita krn mrk mereka mengira wanita makhluk normal. Itu Oscar Wilde loch…

Leave a Reply