Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (7)

By February 25, 2021One Comment

Di kadipaten Tuban, istri Rangga Lawe, Mertasari, berbincang-bincang dengan patih Wangsapati.

“Saya kok terus-menerus kepikiran kangmas adipati Rangga Lawe, paman patih Wangsapati,” kata Mertasari.

“Begitukah gusti putri Mertasari?” Wangsapati menjawab.

“Sebelum memutuskan berangkat ke Majapahit, kangmas adipati Rangga Lawe berhari-hari tampak gelisah. Beliau sangat terganggu kiprah Minak Jingga.”

“Tidak bisa dipungkiri,” sahut Wangsapati. “Majapahit meresap di darah beliau. Mendung Majapahit adalah mendung hati beliau.”

“Gangguan Minak Jingga tidak main-main.”

“Hamba sependapat.”

“Patih Sinduro gugur oleh Minak Jingga. Kini Minak Jingga merebut Puralingga.”

“Apa yang gusti putri pikirkan?”

Mertasari terdiam.

“Kurang apa digdayanya patih Sinduro. Aku khawatir kangmas adipati Rangga Lawe bakal turun tangan menghadapi Minak Jingga.”

“Gusti putri,” tukas Wangsapati. “Kanjeng adipati Rangga Lawe adalah saka guru Majapahit.”

“Itu yang makin aku khawatirkan.”

“Kanjeng adipati Rangga Lawe adalah tentara sejati. Tidak pilih lawan tanding tidak pilih tempat tidak pilih waktu.”

Kembali Mertasari terdiam.

“Perasaanku tidak enak, paman patih,” desahnya.

“Mohon ampun, perasaan jangan diikuti. Gusti putri istri prajurit.”

“Aku tahu. Biasanya aku tidak punya perasaan seperti ini. Hanya kali ini kok aku tidak bisa menghalau perasaan waswas.”

Keduanya terdiam.

Terdengar kesibukan di luar.

“Kangmas adipati Rangga Lawe kelihatannya tiba, paman patih,” ucap Mertasari.

“Betul gusti putri,” Wangsapati menyongsong junjungannya.

Rangga Lawe melangkah masuk, disambut Mertasari.

“Lega perasaan hamba. Saya terus-menerus memikirkan kangmas adipati,” ucap Mertasari.

“Serasa tersiram embun bertemu lagi dengan dinda Mertasari,” Rangga Lawe menyahut.

“Berhari-hari hamba tidak bisa tidur, terbayang-bayang kangmas adipati. Tidakkah ada yang kangmas adipati bawa dari sowan ke Majapahit?”

“Sri ratu Kencanawungu mengangkatku sebagai senapati peperangan menghadapi Minak Jingga,” kata Rangga Lawe.

“Senapati peperangan?” Mertasari terhenyak.

“Paduka kanjeng adipati diangkat sebagai senapati peperangan?” Wangsapati ikut menimpali.

“Iya, dinda Mertasari dan patih Wangsapati,” jawab Rangga Lawe.

“Kenapa harus kangmas adipati,” Mertasari berujar.

“Minak Jingga harus dihentikan, kalau tidak Majapahit bubar.”

“Kalau saya bisa memilih, bukan kangmas adipati yang harus menghentikan Minak Jingga,” kata Mertasari.

“Ini kewajibanku sebagai perwira. Untuk apa saja yang menimpa Majapahit, aku tidak bisa tidak cawe-cawe turun tangan dinda.”

“Kalau memang begitu kehendak kangmas adipati, saya cuma bisa nurut. Hanya saja, kalau boleh terus terang, perasaan saya agak kurang rela.”

“Tidak boleh begitu. Dinda adalah istri tentara. Kewajiban terhadap negeri melebihi kepentingan kangmas sendiri.”

“Saya nderek kemauan kangmas adipati.”

Ranggalawe berpaling kepada Wangsapati.

“Wangsapati,” katanya. “Sekarang juga kamu hubungi panglimaku Yudapati. Mulai sekarang, siagakan seluruh pasukan. Sewaktu-waktu kita akan berangkat untuk menghancurkan Blambangan.”

“Perintah paduka adipati segera hamba laksanakan,” kata Wangsapati.

“Dinda Mertasari,” lanjut Rangga Lawe. “Siapkan perangkat sesaji. Aku akan tirakat mohon petunjuk dewa.”

“Segera semua disiapkan, kangmas adipati.”

Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, petir menggelegar. Hujan turun di Tuban.

Bersambung

Join the discussion One Comment

Leave a Reply