Tujuh jenis bunga mengambang di air dalam mangkuk kuningan. Dupa dibakar di tatakan yang juga terbuat dari kuningan berbentuk bunga padma. Mistik wangi dupa membayangi malam sepi.
Sedari tadi Rangga Lawe diam bersila. Diri diserahkan dalam kekosongan, karena hanya yang kosong berkemungkinan menerima sesuatu. Tak ada ruang dan waktu lain kecuali diri sendiri.
Cahaya mendadak muncul dan lenyap dalam seketika. Bersama lenyapnya cahaya seterang mahacahaya, di depan Rangga Lawe muncul sosok yang hanya ia sendiri bisa melihatnya.
“Duh dewa…,” kata Rangga Lawe.
“Anakku Rangga Lawe, aku utusan para dewa di Girinata,” kata sosok astral ini.
“Hamba menghaturkan sembah dan hormat setinggi-tingginya.”
“Anakku Rangga Lawe, para dewa telah mengetahui maksudmu. Ketahuilah Rangga Lawe, dewa memintamu pulang ke Girinata.”
Rangga Lawe terhenyak. Diri serasa dibekukan oleh air mahadingin. Ia menggigil.
“Begitukah kehendak dewa?” ia memberanikan diri bertanya.
“Betul anakku Rangga Lawe.”
“Rangga Lawe pasrah, tidak akan menolak kehendak para dewa. Hanya mohon diizinkan Rangga Lawe untuk menyelesaikan tugas kewajiban kepada negeri, menyingkirkan Minak Jingga.”
“Para dewa tahu maksudmu. Kamu memikul tanggung jawab besar. Laksanakan tanggung jawabmu. Terimalah berkat dewa. Dewa menunggu kedatanganmu di Girinata, anakku Rangga Lawe.”
Bersama dengan ucapan itu sosok astral tersebut lenyap. Alam ditingkas sepi.
Rangga Lawe mengakhiri semedi. Ia termangu-mangu.
Dikuatkan dirinya mencerna pesan dewa.
Yang tertinggal kini hanyalah darma. Darma seorang ksatria adalah berperang. Bukan memang atau kalah.
Ia teringat Adipati Karna dalam cerita Mahabharata. Menjelang maju perang menghadapi saudaranya sendiri, Arjuna, Karna tahu belaka hidupnya akan berakhir pada peperangan itu.
Karna menghadap ibu Kunti minta restu. Kunti runtuh dalam kesedihan. Sebagai ibu dia tahu sasmita yang telah ditangkap dan dirasakan Karna.
“Putra ibu akan tetap lima jumlahnya,” kata Karna menghibur ibunya, ibu dari Pandawa Lima. “Karna atau Arjuna yang mati, putra ibu tetap Pandawa Lima.”
Kewajiban bagi negeri lebih utama daripada kepentingan diri sendiri. Inilah kehormatan seorang ksatria. Setiap orang menjalani darma masing-masing.
Darma seorang ksatria adalah berperang. Hanya itu. Dia tidak menghadapi saudara atau siapa saja, tetapi sekadar menjalani darma.
Dewa memintaku pulang ke Girinata, kata hati Rangga Lawe.
Aku pasrah pada kehendak dewa, bisiknya.
Hidup menjadi obor langit, mati menjadi bunga sebagai rabuk bumi.
Rangga Lawe keluar dari kamar semedi.
Bersambung
Gaya kethoprak sampakan pada cerita sebelumnya, kini terasa lbh lembut. Cenderung terasa seperti prosa liris.
Karena lagi samadi. Ntar lain lagi kl lagi kasmaran.