Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (9)

By February 27, 20212 Comments

Mertasari kaget melihat busana yang dikenakan oleh adipati Rangga Lawe saat hendak berangkat ke Puralingga.

“Kangmas adipati mengapa mengenakan busana serba putih?” Mertasari menatap disertai perasaan tak keruan. “Tidak biasanya apalagi kali ini kangmas adipati hendak berperang. Kenapa memakai busana serba seta,” tambahnya.

Seta artinya putih.

“Inilah titah yang aku dapat dari dewa, dinda Mertasari,” jawab Rangga Lawe.

“Duh kangmas adipati, perasaan saya sungguh tidak enak.”

“Dinda agar membesarkan hati, menguatkan diri. Darma ksatria adalah berperang, meluruskan jalan menuju kebenaran. Bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk kemuliaan negeri beserta rakyat dengan seluruh cita-citanya.”

“Maafkan saya kangmas adipati. Pikiran saya bisa menggapainya tapi hati tak kuat menerimanya.”

“Lho, lho, kok malah jadi begini,” Rangga Lawe menyela. “Dinda Mertasari, jadilah bara merah palmerah, manjing menjadi semangatku.”

Sesaat Mertasari terdiam.

“Maafkan perkataan-perkataan tadi kangmas adipati. Mertasari berjanji sanggup menguatkan diri. Kangmas adipati akan segera menyelesaikan kemelut negeri dan kembali ke Tuban tak kurang suatu apa.”

“Nah begitu dinda Mertasari. Aku janji akan pulang ke Tuban.”

“Lega hati saya mendengar janji kangmas adipati.”

Patih Wangsapati menanti di luar kadipaten. Tidak kalah kagetnya Wangsapati melihat busana yang dikenakan Rangga Lawe.

“Kalau boleh hamba bertanya, mengapa kanjeng adipati mengenakan busana seta?” Wangsapati berucap hati-hati.

“Menuruti titah dewa. Ini wangsit yang kudapat dari dewa.”

Wangsapati terdiam. Berdua mereka melangkah menuju alun-alun.

Ribuan prajurit berjajar memenuhi alun-alun. Bendera, pataka, dan panji-panji berkibar-kibar.

Mata tombak para pasukan menyeringai, siap menombak langit. Tameng-tameng baja berkilat menantang cahaya matahari. Tanah dipijak tak bergerak.

Panglima perang Yudapati menyambut Rangga Lawe melaporkan kesiapan pasukan.

Rangga Lawe naik ke suatu ketinggian yang telah disiapkan. Ia melihat pasukan. Mereka rapi dengan seragam masing-masing sesuai bagiannya. Para komandan berada di punggung kuda.

“Bala tentara Tuban, kita akan berangkat ke Puralingga untuk menghancurkan Minak Jingga dan Blambangan. Semangat kalian adalah obor langit. Jangan takut mati berkalang tanah. Raga prajurit adalah pupuk bagi ibu negeri,” seru Rangga Lawe.

Dibawa angin, suaranya menggema menggetarkan bukit.

“Serukan janji menggepuk Blambangan.”

Alun-alun pecah oleh suara serentak para prajurit.

“Hancur Blambangan…,” seru mereka.

“Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Pantang pulang sebelum Minak Jingga musnah, Blambangan runtuh,” Rangga Lawe mengobarkan semangat. “Sigro lumaksono magito-gito. Hancurkan Blambangan.”

Genderang perang ditabuh. Pasukan bergerak ke timur, menuju Puralingga.

Bersambung

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply