Beberapa malam tidak menginjak stasiun Ekkamai, malam ini aku ke situ lagi. Seperti biasa, tatkala stasiun sudah sepi. Seperti biasa pula, duduk di bangku beton di atas peron menghadap ke barat. Siapa tahu cahaya datang.
Di kejauhan terlihat kuil Wat That Thong. Makin akrab aku dengan kuil kediaman Buddha.
Jadi paham mengapa dulu Richard Gere tinggal lama di vihara di Tibet. Tadinya kukira dia melulu bersenang-senang di Rodeo Drive bersama Julia Roberts.
Ternyata Pretty Woman hanya dagangan untuk orang lain, enak dikunyah-kunyah seperti mengunyah permen karet. Biarkan orang lain yang kunyah-kunyah, sedangkan Gere sendiri mencari kasunyatan di keheningan pegunungan Himalaya.
Tidak tahu apakah di sana ia juga ketemu cahaya atau yang sejenisnya seperti kualami di Ekkamai.
“Kemana saja engkau beberapa hari tidak muncul?” telingaku menangkap suara.
Merdu, kualitas suara broadcaster. Broadcaster langitan.
Ya, cahaya muncul.
“Aku ke Saigon. Diajak teman nonton final piala dunia di bar di Saigon,” jawabku.
Semakin akrab aku dengan cahaya. Bicara dengannya laksana bicara pada diri sendiri. Nyaman di hati.
“Mengapa harus Saigon?”
“Aku juga tidak tahu. Pokoknya ikut saja. Dari Bangkok ke Saigon cuma seperti dari Jakarta ke Yogya. Kata dia enak nonton bola di Saigon sambil minum bir. Bola tanpa bir ibarat mendoan tanpa cabe rawit. Tidak lengkap. Dia orang Purwokerto. Kerja di Saigon, manager hotel bintang lima namaya Rex Hotel,” aku nyerocos.
“Teman kamu hebat-hebat. Dengar-dengar ada temanmu di Melbourne juga, jadi dosen, namanya Ariel Heryanto.”
“Aku sendiri hebat, bahkan lebih hebat karena bisa berhubungan dengan cahaya seperti engkau.”
Cahaya tersenyum.
“Mengapa kamu masih menyebutku cahaya? Beberapa hari lalu engkau telah memberiku nama yang kusuka, Since I’ve been Loving You,” dia protes.
“Oh ya, maaf aku lupa. Apa kabarmu Since I’ve been Loving You?” buru-buru aku berkata demikian. “Pikiranku masih tertinggal di Vietnam.”
“Aku juga telah menemukan nama untukmu?” ia berkata.
“Bukankah kau telah tahu namaku: Min Kebo. Disingkat MK.”
“Kurasa ada nama yang lebih baik untukmu: I Put a Spell on You,” kata Since I’ve been Loving You.
Tidak kukira dia memanggilku dengan judul lagu kesayanganku dari CCR.
“I put a spell on you…. Ohhh I put a spell on you,” aku bergumam dengan suara kubikin serak.
“Sama-sama agak blues kan…,” ucapnya.
“Iya.”
“Kamu suka bola?” tanya Since I’ve been Loving You.
“Terus terang, seperti Umberto Eco aku lebih suka opera daripada bola. Di Saigon aku malah jadi ingat Miss Saigon. Adaptasi opera Puccini Madame Butterfly yang sampai kini melekat di otakku. Kuingat waktu itu yang memerankan Miss Saigon adalah Lea Salonga. Aku jatuh cinta padanya.”
“Pantas malam ini engkau memakai topi pet bersimbol palu arit.”
“Ya, aku membelinya di kaki lima. Murah. 25.000 Dong atau sekitar Rp 15.000. Bagus kan?”
“Tetap saja engkau tidak tampak seperti kamerad,” tukasnya. “Ceritakan sesuatu padaku. Aku senang kalau mas cerita.”
Aku kaget.
Kok tiba-tiba dia memanggil ‘mas’.
Apakah sebagai makhluk wadag aku telah menaklukkan dunia cahaya?
“Baiklah dik,” kataku kepada Since I’ve been Loving You, biar dia juga bingung entitas roh dipanggil ‘dik’.
Kuceritakan padanya bahwa di Saigon ada opera house yang luar biasa cantiknya. Malam itu sedang digelar opera, menampilkan rombongan sirkus kontemporer dari kota Hoi An. Katanya susah untuk mendapatkan tiket. Butuh pesan tujuh tahun sebelumnya.
Aku beruntung. Temanku punya kenalan petinggi partai komunis setempat sehingga aku bisa mendapatkan tiket dengan mudah.
Di mana-mana selalu ada privilege bagi penguasa.
Kulanjutkan cerita.
Opera tersebut judulnya A O. Oleh pemandu, anak muda yang fasih berhasa Inggris, para tamu diajak berkeliling bagian dalam gedung opera terlebih dahulu sebelum pertunjukan dimulai. Ia terangkan seluk beluk gedung.
Zaman perang gedung ini hancur. Oleh pemerintahan sosialis Vietnam gedung gaya Baroque tersebut direstorasi, dikembalikan pada bentuk aslinya.
“Untuk pertunjukan kesenian seperti bakal kalian lihat malam ini. Agar kalian juga tahu budaya Vietnam,” kata si anak muda pemandu.
Aku manggut-manggut.
Begitu pertunjukan dimulai, selama satu jam pertunjukan aku terpukau dan takjub.
Kamitenggengen.
Pertunjukan ini merupakan paduan sirkus bambu yang memiliki akar di kampung-kampung Vietnam, akrobat, musik dan tari dari yang tradisional sampai kontemporer, tata cahaya yang efektif, kemasan cerita yang kompak dan mudah dipahami, pendeknya racikan pertunjukan kontemporer yang komplit.
Dari situ kita melihat dengan jelas transformasi Vietnam dari budaya kampung yang damai, pernah dikoyak perang, dan kemudian menjadi negara yang lumayan gemerlap seperti sekarang.
Berdiri di tengah kota Saigon yang sekarang bernama Ho Chi Minh City kita semata-mata merasa di tengah Trocadero, Paris, kota Mbak Jais.
Bangunan-bangunan kuno bergaya art deco dipertahankan, dijadikan deretan toko-toko barang mewah, Louis Vuitton, Dior, Hermes, tak ketinggalan Zara, Uniqlo, dan entah apa lagi.
Toko Zara dipadati anak-anak muda, ramainya setengah mati.
Kaum sosialis ini banyak duit.
Masuk lorong-lorong kota seperti di Little Japan, kita menemukan bar-bar kecil, tempat pijat, tempat untuk memuaskan hasrat duniawi ditemani perempuan-perempuan muda cantik jelita bak para dewi.
Sorga bagi orang yang pintar sejatinya tidak jauh, di sini, Distrik 1 HCM City.
Negara mengurusi urusan politik kenegaraan, bukan urusan sorga individu.
“Bagaimana dengan sirkus bambu itu?” Since I’ve been Loving You menyela.
Rupanya aku kelewat ngelantur kemana-mana.
Ya, ya, dengan prop sederhana, para pemain, semuanya anak-anak muda, menggambarkan kontras tajam suasana desa Vietnam berikut sungainya, jembatan, bulan, kegembiraan musim panen, dengan kota yang mulai ditumbuhi apartemen-apartemen, gaduh sepanjang hari, jalanan yang kacau seperti umumnya kota-kota besar negara berkembang.
Khusus mengenai jalan raya, aku melihat orang mengendara mobil maupun motor dengan militansi perang. Berani mati. Bagi pejalan kaki, menyeberang jalan raya ibarat memasuki zona perang. Dibutuhkan nyali Rambo.
“Ihhh…,” sela Since I’ve been Loving You sembari menyablek lenganku.
Ah, nyesss rasanya.
“Seperti kukatakan tadi, untunglah aku sempat nonton opera tentang Vietnam itu di Opera House. Lagi-lagi ingat ucapan petinggiku semasa kerja di koran dulu: kebudayaan adalah roh. Tanpa nonton pertunjukan tersebut, kesanku terhadap Ho Chi Minh City terbatas pada jalanan yang ruwet, masyarakat yang sedang terbangun dari tidur sosialisme, silau oleh dunia konsumsi kapitalisme berikut segala kenorakannya.
Dengan tontonan A O yang artinya memang “desa” “kota” aku jadi menangkap spirit kebudayaan mereka.
Termasuk militansi para anak muda itu dalam berkesenian. Mereka mengolah tubuh secara tuntas, bersalto, melompat dari ketinggian, tidak sekadar ketrampilan sirkus, tapi mereka tahu benar apa yang hendak disampaikan: mengkarikaturkan perkembangan negeri.”
“Ceritamu sangat menarik. Tapi pagi sudah akan tiba. Sepuluh menit lagi aku harus pergi,” kata Since I’ve been Loving You.
Sebenarnya aku tidak ingin dia pergi, tapi yach, gimana lagi….
Dunia kami berbeda.
Dengan dongeng ala 1001 Malam ini sekali pun mana bisa aku mencegah datangnya pagi.
Sebagaimana bisakah seseorang menghentikan hujan.
Who’ll Stop the Rain, kata CCR kali ini dalam irama rock n roll.
“Apakah besok malam engkau akan muncul lagi,” tanyaku pada Since I’ve been Loving You.
“Lihat besok ya. Mungkin aku mulai libur,” katanya.
Cahaya menghilang.
Bangkok bertabur cahaya Natal.
Aku garuk-garuk kepala.
Apakah di dunia cahaya juga ada libur Natal?***
24/12/2022
Selamat menyambut Natal