Skip to main content
Cerita

Never Gonna Let You Go

By August 23, 2021No Comments

Kalau saya menyebut judul sebuah lagu, lagu itu sungguh-sungguh punya makna bagi saya. Melalui kuping semangat saya bangkit, sebagaimana melalui mulut komitmen terpateri, dan melalui mata otak terjaga. Seperti setiap kali mendengar lagu Sergio Mendes, Never Gonna Let You Go. Mudah-mudahan ada yang kenal lagu tersebut.

Semua tahu media sosial menghubungkan kita dengan teman, keluarga, atau siapa saja yang penting maupun kurang penting dalam hidup kita. Bagi saya pribadi secara tak terduga facebook ibarat kereta api membawa saya ke stasiun yang telah hilang. Tentu kaget, takjub, sebelum kesadaran pulih, dia-saya terhubung kembali setelah dulu sempat beberapa waktu—tepatnya 2 malam—bertemu dan melewatkan waktu bersama.

“Tidak mengira gara-gara facebook kita terhubung kembali,” kata saya.

Kami bercakap-cakap melalui video call, bisa melihat wajah masing-masing di layar handphone.

Jelas banyak perubahan pada diri kami, meski terhadap saya dia berkomentar: kamu tidak banyak berubah.

Untuk mengimbangi perempuan yang hampir saya lupakan ini saya menyahut:

“Kamu juga. Tetap cantik.”

Dia tertawa.

“Mana mungkin. I’m wrinkled. Rambut banyak yang putih, untung tidak rontok,” ucapnya.

Soal wrinkled atau keriputnya jelas saya lihat. Mungkin kebanyakan minum alkohol dulu. Susunya kendor, terbaca dari jatuhnya pakaian yang dikenakannya.

“Gila ya, 26 tahun lalu,” kata saya. “Tahun 1995.”

“Bukan. 27 tahun lalu, 1994,” dia mengoreksi.

“Oh iya…,” saya berucap.

“I’m gonna let you go…,” dia menyenandungkan lirik Never Gonna Let You Go..

Saya menimpali: “I’m gonna hold you in my arms forever.”

Berdua kami tertawa.

Begitulah saya mengibaratkan: stasiun lama yang siapa saja tidak akan menyinggahinya kembali.

Waktu itu, menjelang pergantian tahun di Jakarta tiba-tiba saya merasa kosong dan sendirian. Belum lama saya memutuskan biarlah perempuan yang biasa saya kencani kembali ke keluarganya, selamanya.

Dia histeris, ngamuk, ngancam bunuh diri, tapi saya tak peduli.

Hubungan saya anggap berakhir.

Hanya saja kemudian saya merasa sepi. Bukan karena kangen perempuan tersebut. Sama sekali bukan, melainkan apa yang hendak saya lakukan pada malam tahun baru.

Tiba-tiba saya memutuskan terbang ke Bali.

Saya ingin melihat show pemusik Brazil, Sergio Mendes dalam old & new di sebuah hotel terkemuka di Nusa Dua.

Segalanya saya lakukan hari itu, 30 Desember 1994.

Dewi fortuna memihak saya: kemudahan mendapat tiket pesawat, hotel, dan lain-lain yang agak mustahil didapat dalam super peak season.

Kalau diingat-ingat, meski tidak terlalu pintar dan rajin, saya punya banyak keberuntungan.

Petang saya mendarat di bandara Ngurah Rai.

Langsung menuju hotel.

Malam hari, segar usai mandi, saya nongkrong di bar.

Di situlah saya bertemu wanita ini, yang untuk menghormati privacy, di sini saya menyebut dia dengan “Madam X”—madam dari dunia yang oleh sebagian orang disebut remang-remang.

Dari sejak bertatapan di bar, dari tatapan dan senyum sekilas, saya sadar tengah bertemu seorang seducer.

Cantik, tampilan mewah, duduk sendirian.

Kaklnya bagus.

Seketika saya tertarik padanya.

Sebagaimana keputusan terbang ke Bali yang tidak banyak saya pikirkan, tanpa pikiran pula saya menghampirinya.

“Sendirian?” tanya saya.

Ia tak menjawab, melihat saya dengan sudut mata.

“Boleh saya duduk di sini?”

Dia membalas dengan senyum tipis dan isyarat mata.

Saya duduk di sebelahnya.

“Ada yang ditunggu?” tanya saya.

“Ada, yang mau berkencan dengan saya,” jawabnya sembari menghembuskan asap rokok.
Saya suka dengan kelugasannya.

Bar tender sambil mengelap gelas melirik kami.

“Tidak keberatan saya traktir minum?”

“Mengapa tidak,” jawabnya.

Saya berseru pada bar tender: Blue Label.

Wanita ini agak terperangah mendengar pesanan saya.

Bar tender datang dengan botol dan dua gelas.

“On the rock,” saya melanjutkan order.

Gemericik suara spirit tertuang ke gelas.

Saya mengajaknya bersulang.

“Dari mana?” ia buka suara.

“Jakarta.”

“Mau bertahun baru di sini?”

“Ya. Anda dari mana?”

“Dari dekat-dekat sini saja. Jimbaran,” jawabnya. “Kok bertahun baru sendirian?”

“Tidak lagi sekarang. Ada anda,” sahut saya to the point.

Dia tersenyum.

Tidak ingin bertele-tele, dengan sengaja saya membuka diri sebagai manusia iseng dan kesepian.

Sekaligus ingin memberinya impresi, bahwa yang ia hadapi bukan pelanggan biasa. Sebenarnya malu mengenangnya: saya ingin tampak makmur dan banyak duit.

Aroma saya Creed. Meski kurang menikmati, saya bergaya mengisap cerutu.

“Saya suka bau minyak wangi dan cerutu ini,” ia bereaksi.

Tak lama bukan hanya tercapai transaksi untuk malam itu, esok hari dia dengan senang hati—bahkan tampak tidak percaya—menerima ajakan saya untuk menyambut old & new dengan dinner party sembari menonton Sergio Mendes.

“Saya akan dandan secantik-cantiknya,” katanya di tempat tidur.

Tidak saya ragukan.

Yang membuat saya tadi seperti kerbau dicocok hidung mendekatinya adalah gebyar penampilannya. Masa itu saya tidak peduli pada inner beauty. Tidak penting.

Selanjutnya, dari sejak di bar sampai saya meninggalkan Bali untuk kembali ke Jakarta praktis saya terus-menerus bersamanya.

Siang tanggal 31 Desember saya mampir ke rumah kontrakannya di Jimbaran. Dia tinggal sendirian.

Tidak perlu saya ceritakan yang kami lakukan berdua di rumahnya.

Malam ia memenuhi janji, a gorgeous appearance, begitu di mata saya.

Saya anggap penampilannya setara wanita jalanan yang diperankan Julia Roberts tatkala dibawa ke pesta oleh Richard Gere dalam Pretty Woman.

Tengah malam di panggung Sergio Mendes menghentikan musiknya. Dia mengajak penonton menghitung mundur untuk berakhirnya 1994 diganti 1995.

Suasana  gegap gempita. Penonton riuh, sedia bodoh menerima seolah waktu bisa diiris-iris, padahal tidak ada beda antara yang kemarin dan saat ini.

Yang tak bisa saya lupakan, seusai hujan convetty dan ramai bunyi terompet, lampu hall mendadak redup. Sekejap sunyi.

Dari panggung mengalun intro lagu yang ditunggu-tunggu sekaligus tema pesta malam itu: Never Gonna Let You Go.

“Kamu masih jadi jurnalis,” tanya wanita yang saya sebut Madam X ini dalam percakapan sekarang.

“Tidak lagi. Sudah pensiun.”

“Apa yang kamu kerjakan?”

“Menulis.”

“Apa bedanya? Dulu sebagai jurnalis pekerjaanmu menulis, sekarang menulis,” tanyanya.

“Beda. Sebelum pensiun 90 persen aku dapat uang, 10 persen aku mendapat kesempatan bersenang-senang. Setahun sekali, seperti rejeki nomplok saat bersamamu waktu itu. Sekarang  cuma 10 persen aku mendapat uang, 90 persen mendapat kesempatan bersenang-senang. Selain kesunyian. Biarlah, ternyata kebutuhanku tidak banyak-banyak amat” jawab saya.

Dia tertawa.

“Bagaimana kalau sekarang aku membayarimu? Datanglah ke Bali. Aku akan membelikanmu tiket. Kamu bisa tinggal di rumahku sampai kapan pun kamu suka. Aku tinggal di desa,” ucapnya.

“Apakah ini serius?” tanya saya.

“Seperti 27 tahun lalu, semua tawaranmu yang aku kira main-main terbukti semua serius,” katanya. “Itu peristiwa yang tak kulupakan seumur hidup.”

Saya terkesiap.

Teringat pagi hari saat breakfast menjelang kembali ke Jakarta, saya bertanya padanya apakah dia bahagia dengan apa yang kami jalani berdua.

“Secara jujur aku ingin menjawab, aku takut,” katanya.

Saya menatapnya.

“Mungkin kamu tidak percaya, aku mulai jatuh cinta padamu. Kini kamu akan kembali ke Jakarta, dan sudah tentu aku akan kamu lupakan.”

Tidak tahu saya harus menjawab apa.

“Aku akan mengembalikan uangmu,” katanya.

“Tidak bisa demikian,” saya menyergah.

Saya menolak.

Kami sama-sama diam.

Dia tampak sedih.

Yang jelas dia benar.

Nyatanya berselang 27 tahun baru kami terhubung kembali karena keajaiban teknologi bernama facebook.

“Bagaimana?” dia bertanya mengenai tawarannya.

“Kamu tidak perlu membelikan tiket. Meski uang dan kesenanganku tidak lagi 90 banding 10 seperti dulu, aku lumayan punya uang untuk mencarimu,” jawab saya.

“Aku harap tawaranku tadi tidak menyinggungmu. Kamu dulu memberikan segalanya padaku. Tak kuduga menemukanmu kembali. Aku merasa giliranku memberikan apa yang kupunya padamu.”

Saya termangu-mangu.

Tidak mengira ada wanita seperti ini.

Stasiun yang dulu telah tiada, tidak ada kereta bakal membawa saya atau siapa saja kepada dia pada masa  itu.

Dari penuturannya saya tahu dia tetap hidup sendiri. Usahanya berkembang. Ia merintis tanaman obat, termasuk membuat pil dari bahan daun kelor. Produk tersebut cukup dicari orang, selain beredar di dalam negeri juga luar negeri.

“Ketika ketemu kamu dulu aku sebenarnya dalam fase ingin mengubah hidup,” katanya. “Ah, sebenarnya banyak yang hendak kuceritakan. Akan kuceritakan kalau kamu datang ke Bali. Di depan rumahku ada pohon beringin besar yang siapa tahu akan memberimu inspirasi. Juga pura kecil tempat aku biasa berdoa,” ucapnya.

“Aku akan mencarimu setelah pandemi berlalu,” kata saya.

“Janji?”

“Ya, aku janji.”

Saya bermimpi melihat rumahnya, pohon beringin di depannya, pura kecil tempatnya berdoa, dan dalam hati bertanya-tanya apa yang hendak ia ceritakan.***

23/8/2021

Leave a Reply