Saya mendarat di bandara Juanda, Surabaya. Bu Kwan menjemput, menyetir sendiri mobil Toyota-nya.
“Pesawat agak delay,” saya minta permaklumannya telah menunggu pesawat yang terlambat mendarat.
“Tidak masalah. Saya juga baru sampai. Jalanan macet,” ucapnya.
Dia menyetir dengan penuh kepercayaan diri, ambil jalur sana sini. Sulit dibayangkan bahwa pengendara ini perempuan berusia 72 tahun.
Jadi ingat istilah “bonek”.
Mobil mulai masuk kota.
Surabaya yang indah dengan taman dan hutan kota, sayang kelewat panas. Saya kadang bertanya dalam hati mengapa teman saya sastrawan Budi Darma tidak menulis kota Surabaya seperti dia menulis kota Bloomington.
“Mas Bram mau makan dulu?” tanya Bu Kwan.
“Tentu saja. Setiap kali mau ke Surabaya sengaja saya menunda makan, biar tersedia tempat untuk segala macam,” jawab saya tertawa.
“Ke Bu Rudy ya,” dia berujar, tahu alamat kesukaan saya.
Dia sangat tahu saya menyukai terutama pisang gorengnya, berwarna cokelat karamel.
Di restoran yang selalu ramai itu kami duduk di pojok.
“Bagaimana dengan Pak Kwan?” sambil menikmati nasi dengan sambal yang sangat istimewa saya menanyakan kabar suaminya.
“Ya begitulah, suka uring-uringan tak berkejuntrungan,” jawabnya.
Saya tertawa.
“Dari pagi dia tanya jam berapa Mas Bram tiba,” lanjutnya.
Perkenalan saya dengan mereka dulu terjadi dengan sangat kasual.
Setiap kali ke Surabaya saya menginap di hotel bintang empat yang terhubung dengan mal terkenal di Surabaya. Selain terhubung dengan hotel, mal tersebut terhubung dengan apartemen mewah di belakangnya.
Sore itu, tidak punya kegiatan dan tidak tahu apa yang harus saya kerjakan di kamar, saya keluar jalan-jalan di mal. Iseng-iseng saya masuk toko yang menjual barang-barang eksklusif dari arloji sampai perhiasan.
Sambil memperhatikan arloji, cincin, dan lain-lain, saya melihat perempuan yang dari tadi sibuk mencoba-coba perhiasan. Dia berganti-ganti memasang giwang, memantas-mantas di kaca yang dihadapkan padanya oleh si penjual.
“Itu sangat bagus,” ucap saya ketika dia mencoba giwang dengan batu safir warna biru.
Ia mendongakkan kepala melihat saya.
“Bagus ya?” ujarnya meminta penegasan.
“Kata yang lebih tepat bukan bagus, tapi cocok,” saya mengemukakan pandangan.
Dia tersenyum. Begitu pun si penjual.
“Benar yang dikatakan om itu,” ucap penjual.
Dari situlah saya mengenalnya.
Kami bertukar sapa, termasuk mengiyakan dugaannya bahwa saya tentulah bukan orang Surabaya.
Logat bicara dan bahasa tubuh saya katanya beda.
Saya katakan saya dari Jakarta, menginap di hotel sebelah.
Dia membeli perhiasan tadi. Setelah itu kami ngopi di kafe beberapa langkah dari toko.
Ia jelaskan bahwa dirinya tinggal di apartemen yang tersambung dengan mal ini.
Kami ngobrol tak berkejuntrungan, terutama soal kuliner di Surabaya. Ketika menyinggung pecel dia menyebut pecel enak langganannya. Buka pagi hari. Kalau saya minat dia akan membelikan untuk saya besok pagi.
Pagi berikutnya saya mendapat telepon dari resepsionis ada kiriman untuk saya, apakah bisa diantar ke kamar.
Ternyata pecel kiriman Bu Kwan—begitu saya kemudian selalu memanggilnya.
Pada masa-masa awal dia memanggil saya Pak. Pak Bram. Lama kelamaan beralih menjadi mas, meski usia saya lebih muda darinya.
Saya juga menjadi akrab dengan suaminya yang ia kenalkan pada saya, saya memanggilnya Pak Kwan.
Mereka jadi teman baik.
Setiap kali ke Surabaya selalu saya mencari mereka.
Saya ingat, pertama kali saya mengenalkan istri pada mereka, Pak Kwan mengomentari istri saya sangat cantik.
“Kalau tidak cantik tidak saya nikahi,” saya menukas.
Pak Kwan dan Bu Kwan terpingkal-pingkal.
Tanpa canggung Pak Kwan menanyakan usia istri saya.
Istri saya lebih muda 15 tahun dari saya.
“Kalau Giok lebih muda 12 tahun dari saya,” Pak Kwan berkata. Dia memanggil istrinya Giok.
“Pak Kwan kalah dari saya,” ucap saya.
Kembali dia tertawa sambil garuk-garuk kepala.
“Dia jarang tertawa-tawa seperti ini,” kata Bu Kwan. “Susah menemukan teman yang cocok.”
Pak Kwan adalah pengusaha farmasi.
Pernah suatu ketika saya dan istri mereka bawa ke Gresik, ke rumah pusaka keluarga.
Saya terkagum-kagum.
Tentulah mereka keturunan keluarga kaya raya. Rumah paduan gaya Indis dan China warisan leluhur itu menurut cerita Pak Kwan dibangun sekitar akhir tahun 1880an. Sempat terbengkelai, sebelum kemudian Pak Kwan merestorasi, mengembalikan seperti wajah aslinya.
Saya mengemukakan apa yang saya ketahui mengenai kedatangan kaum Tionghoa di pesisir timur Jawa termasuk Gresik sejak zaman Majapahit.
Tidak ketinggalan ikhwal masuknya Islam ke Nusantara.
Pak Kwan sangat antusias mendengarnya.
Dia balik bercerita mengenai riwayat rumah keluarga itu berikut silsilah keluarga yang diingatnya.
Ia menceritakan masa kecil tinggal dengan banyak orang di situ.
Kemudian mengikuti orangtua pindah Surabaya.
Ketika merasa diri telah mampu, dengan persetujuan banyak pihak dari keluarga, Pak Kwan merestorasi rumah ini. Fungsinya kemudian lebih sebagai pusaka keluarga.
Pak Kwan tidak tinggal di situ. Sejak pindah ke Surabaya ia tidak pernah lagi tinggal di Gresik.
Dulu mereka tinggal di sebuah kompleks perumahan mewah.
Ketika anak-anak telah berkeluarga, untuk kepraktisan Pak Kwan dan Bu Kwan memutuskan tinggal di apartemen.
Mereka punya tiga anak, yang sulung lelaki tinggal di Kanada. Dua anak perempuannya semua tinggal di Surabaya.
Sebelum saya ke Surabaya kali ini untuk menghadiri pembukaan pameran pelukis sahabat saya, Bu Kwan beberapa kali bercerita bahwa Pak Kwan belakangan sering uring-uringan.
“Apa sebabnya?” tanya saya.
Saya tahu Bu Kwan adalah orang yang aktif pada sebuah organisasi sosial yang memiliki cabang di mana-mana.
Dia bertutur, suatu saat ada kegiatan di Bali.
Di Bali rombongan dari Surabaya bertemu dengan rombongan dari berbagai kota. Bu Kwan berkali-kali mengunggah foto dia bersama anggota dari Manado, lelaki perlente yang selama kegiatan sering bersama dengan dirinya.
“Mungkin Pak Kwan cemburu,” kata Bu Kwan.
Saya tertawa terbahak-bahak.
“Mengapa Mas Bram malah tertawa?” tanya Bu Kwan.
“Sangat indah, ada cemburu di kala senja,” ucap saya.
Bu Kwan senyum-senyum, agak malu.
Sebelum ke hotel saya ke apartemen mereka terlebih dahulu, ingin segera jumpa Pak Kwan. Apalagi saya tahu seperti dikatakan Bu Kwan, Pak Kwan telah berkali-kali menanyakan kedatangan saya.
Bu Kwan membuka pintu. Saya mengikuti masuk ruangan.
Pak Kwan tengah duduk di sofa panjang—tempat duduk favoritnya.
Di hadapannya koran Kompas.
Tidak seperti biasanya, wajahnya tampak agak murung.
Bu Kwan menyikut pinggang saya.
Saya langsung duduk di samping Pak Kwan, merangkul pundaknya.
“Bagaimana, sehat Pak Kwan?” tanya saya.
“Lumayan. Sehatnya orangtua,” dia menjawab kurang bersemangat.
Bu Kwan masuk kamar, muncul lagi duduk di sebelah saya.
Jadilah saya diapit oleh Pak Kwan dan Bu Kwan.
Saya merangkul pundak keduanya.
“Kalian adalah pasangan paling manis se-Surabaya,” ucap saya.
Pak Kwan diam, tapi saya rasakan pundaknya bergoyang-goyang.
Dia merapatkan bibir.
Saya tahu dia menahan tawa.
Tawa kemudian benar-benar pecah.
“Ada-ada saja kamu Bram,” katanya dengan wajah mendadak cerah.
Dia bangkit, meninggalkan kami, muncul kembali dengan botol wine sambil mencangking tiga gelas.
Gelas ia letakkan di meja. Dituangkannya minuman.
Kami sama-sama mengangkat gelas.
“Untuk merayakan kedatangan Bram,” katanya.
“Untuk pasangan terindah di Surabaya,” ucap saya.
Keduanya tertawa tergelak-gelak.
“Lama saya kangen kamu,” kata Pak Kwan sembari tangannya merangkul Bu Kwan.
Sore sampai petang kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul.
Bu Kwan menumpangkan tangan di paha Pak Kwan.
Itulah terakhir kali saya ke Surabaya.
Sejak itu, dikarenakan wabah korona sampai saat ini kami hanya berhubungan via telepon.
Entah kapan kami bakal bisa jumpa lagi mengulangi saat-saat seperti tadi.***
2/7/2021
Cerita sederhana tapi indah, tentang persahabtan tanpa maksud terselubung. Senang bacanya ketika murung teman baik berpulang karena Covid-19
Cerita sederhana yang penuh makna… “suka banget”. Terima kasih telah menulisnya.
Mengingatkan kembali bahwa orang bisa berjalin jodoh menjadi teman baik di waktu dan tempat yang tidak terduga. Ada rasa saling percaya, tidak curiga, dan nyaman. Indah ceritanya.