HARI Jumat beberapa hari menjelang akhir tahun 1327 Pangeran Rebo Legi menyelenggarakan upacara besar yang tercatat dalam sejarah—dibaca oleh mereka yang suka sejarah maupun yang iseng gemar membaca apa saja.
Akhir tahun yang agak aneh.
Desember yang biasanya ditandai hujan sehari-hari waktu itu dipanggang panas.
Malam hari bulan sangat terang melebihi purnama-purnama yang pernah ada.
Pangeran Rebo Legi mengerahkan seluruh sumber daya istana untuk upacara yang diselenggarakannya.
Gerbang istana dibalut sutera keemasan.
Umbul-umbul dan bendera didirikan sepanjang jalan yang sebelumnya telah dibersihkan dari para pengemis, gelandangan, dan orang-orang miskin.
Dengan tandu bertanduk naga dipanggul 16 prajurit istana berseragam kuning, Pangeran Rebo Legi dibawa ke gerbang istana di mana telah menunggu kereta kencana dihela 8 ekor kuda.
Pangeran mengenakan busana biru bersulam benang emas, berkilau sampai kepala oleh mahkota emas yang dikenakannya—meski kurang pas dan agak kegedean.
Pasukan istimewa kerajaan yang terkenal cakap trengginas berjajar rapat di kiri kanannya.
Lalat pun mustahil mendekat pada Pangeran.
DI belakang kereta Pangeran rombongan penggembira terdiri dari para penari, penyanyi, pemusik lengkap dengan peralatannya mengiringi para penari menari-menari gemulai.
Seluruh penduduk di sepanjang jalan ikut menari.
Rombongan berikutnya adalah para cerdik pandai dan pujangga istana.
Para pujangga bertugas mencatatkan peristiwa tersebut baik sebelum dan sesudahnya.
Agar orang kian paham kebesaran sang pangeran.
Di antara berbagai unsur resmi kerajaan, tak ketinggalan rombongan orang-orang suci terdiri dari para pendeta dan begawan.
Mereka bertugas menyucikan peristiwa, mensahkan pengkultusan raja.
Di bawah langit hanya ada raja.
PANGERAN Rebo Legi berada di kereta dengan tatapan mata ke depan.
Tatapannya kosong.
Bagi sejumlah orang yang memiliki kewaskitaan, tatapan kosong Pangeran sejatinya menggambarkan kekosongan dirinya.
Hanya saja, tak ada yang berani menyatakannya, terkecuali belakangan ini.
Dulu isinya melulu puja-puji.
Sekarang, tidak seperti sebelumnya, makin luas rakyat menggunjingkan bahwa pangeran ini kosong tidak ada apa-apanya.
Mahkota dipakai untuk menutup kepala yang tak ada isinya.
Mulai banyak yang secara terbuka menyatakan ketidak-sukaan pada Pangeran dan kekecewaan terhadap pemerintahan.
Kejayaan negeri merosot.
Para pejabatnya korupsi.
Kemiskinan meluas.
Tatanegara diinjak-injak.
Tatatrapsila dipantati.
Ketidak-adilan terjadi dimana-mana.
Suasana keruh.
Negeri berjalan seperti kapal tanpa haluan.
Mulailah di beberapa daerah orang membangun persengkokolan dan menghimpun kekuatan.
Penguasa bertindak.
Terjadi penangkapan-penangkapan, tapi alih-alih memadamkan bara, yang terjadi api perlawanan membesar.
Istana mengeluarkan seruan: “Kekuasaan untuk kejayaan dinasti.”
Kelompok perlawanan menggaungkan seruan tandingan: “Kekuasaan untuk negeri.”
Seperti panasnya salah musim akhir tahun, begitu pula panasnya situasi politik negeri kala itu.
Rasanya mau terbakar.
TEMPAT upacara agak jauh dari istana, kota tua yang merupakan asal usul Pangeran.
Di kota tua itu dulu leluhurnya bertahta, diawali kakek buyut dari wangsa atau dinasti yang disandangnya, sebelum kemudian ayahnya memindahkan ibukota ke istana baru di mana ia memerintah sekarang.
Di kota tua tersebut terdapat altar yang disebut Altar Langit.
Upacara suci menyembah langit diadakan di situ.
Musik berhenti.
Sunyi.
Angin berhembus.
Wangi dupa dan bunga yang memenuhi tempat upacara menyebar kemana-mana.
Dipandu pendeta, Pangeran Rebo Legi menuju Altar Langit.
Langkahnya kurang gagah.
Begitulah ia sebagaimana adanya.
Kurang baca dan kurang olah raga.
Ia telah menghafal apa yang harus diucapkannya.
Sambil bersujud ia mengucapkan ini:
XXXXYYYYYDDDQQWHAIG
SSSTHHHNNNYYYIUUUNNM
DDTSKKOIIIPISSSUUUSUU
RRRVVVSSSNNTANTOZZZXXX
MMMMUUUAAHHH
UPACARA ini namanya upacara “Prasetya Langit”.
Sangat sakral.
Secara turun-temurun dari dinasti-dinasti sebelumnya siapa saja yang mengingkari dan tidak setia dan sembarangan pada Prastya Langit akan terguling.
Tidak ada yang mengira, bahwa upacara pada akhir tahun 1327 ini merupakan upacara Prasetya Langit terakhir.
Pada tahun 1328, beberapa bulan setelah upacara tadi, pemberontakan meletus.
Pada mulanya dilakukan kaum urakan dari Lembah Delapan Naga.
Tentara dikerahkan untuk mengepung Lembah Delapan Naga.
Pada saat sama dukungan terhadap Delapan Naga meluas.
Pemberontakan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri.
Lembah-lembah, bukit-bukit, dan desa-desa semua angkat senjata.
Titik baliknya adalah ketika Ibu Suri berbalik memihak para pemberontak.
Tidak tertolong lagi nasib Pangeran Rebo Legi.
Pangeran Rebo Legi jatuh, Ibu Suri menetapkan pengganti yaitu keponakannya, perempuan cerdas tiada kira yang di kemudian hari dicatat sejarah mampu membawa negeri di bawah pemerintahannya dengan mengobarkan semangat kesetaraan perempuan.
Rakyat menuntut agar Pangeran Rebo Legi dihukum mati, tapi penguasa baru menolak.
Kemanusiaan harus tetap ditegakkan.
Oleh penguasa baru Pangeran Rebo Legi diasingkan ke suatu pulau, namanya Pulau Hari Kemarin, The Island of the Before.
SEJAK itu pula sampai selama-lamanya upacara Prasetya Langit dihapus dari negeri tersebut.
Tidak boleh lagi diselenggarakan.
Orang diajari untuk tidak percaya pada kutukan—termasuk kutukan langit bahwa siapa yang mengingkari janji akan terguling dari kekuasaan.
Oleh penguasa baru—perempuan luar biasa yang saya jadi ikut memujanya—ditanamkan kabajikan hidup bahwa yang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan bukanlah janji melainkan krida dan penguasaan diri, bahwa menjadi pemimpin adalah siap menanggung penderitaan.
Di bawah pemerintahannya negeri mencapai masa keemasan baru, makmur adil sejahtera.
Persoalannya Saudara-saudara sekalian, telah melekat pada manusia sikap untuk gemar berbohong.
Lebih mudah menebar keburukan daripada menyemai kebaikan.
Lebih nyaman mendengar kabar bohong daripada menerima kabar baik.
Lebih mudah menanam benci daripada memelihara cinta.
Tidak seperti cinta, benci tidak memerlukan obyek khusus, bisa terhadap siapa dan apa saja, benar-benar ada atau tidak ada, nyata maupun tidak nyata.
Air terus mengalir.
Seperti sungai, kotoran-kotoran hidup termasuk dusta dan kebohongan dibawa arus, tanpa kata maupun upacara.
Sejarah terlupakan.
Seusai pemerintahan sang putri, kerajaan tenggelam dalam kebohongan lagi.***
Yangshuo, 31/12/2023
- Diilhami kisah jatuhnya kaisar Guangxu di Tiongkok pada tahun 1899 serta cerita-cerita lain termasuk novel Salman Rushdie “Victory City”, drama Rendra “Panembahan Reso”, dan novel saya sendiri “Dia Gayatri”.