Agar tanaman tumbuh subur termasuk bunga-bunganya saya mendapat pelajaran dari beberapa orang supaya berkomunikasi dengan tanaman. Tidak cukup cuma merawat, menyirami, memangkas ranting dan dahan yang tidak berguna, tapi coba ajaklah bicara.
Mulailah kebiasaan saya bercakap-cakap dengan tanaman.
“Rupanya kamu kurang matahari ya,” kata saya pada tanaman wijayakusuma dalam pot sambil memindahkannya ke tempat yang lebih banyak terkena cahaya matahari.
Saya terpesona mitos kembang wijayakusuma. Katanya kembang dewa. Dalam cerita wayang pencarian kesejatian hidup oleh seorang ksatria dilukiskan dengan pencarian dia akan kembang wijayakusuma.
Bentuk dan wanginya tak asing bagi saya. Pernah saya menunggui kembang itu mekar tengah malam di rumah teman saya, Cicilia.
Dalam keheningan malam saya mendengar denting lembut terbukanya kelopak bunga.
Kelopak mekar perlahan-lahan.
Menjelang tengah malam ia mekar penuh.
Wanginya memenuhi udara.
Baru sadar, wangi bunga ini kalau dihirup terlalu lama bikin pusing.
Seperti menghirup bau ganja di lorong-lorong Zeedijk, Amsterdam.
Jangan-jangan karena itu ia disebut bunga dewa. Aromanya membangkitkan halusinasi.
Saat itu saya hampir terseret merasa ketemu Dewi Bunga.
Pakai rok putih. Edan cantiknya. Pinggang diikat kain hijau pupus.
Untung saya segera sadar bahwa itu cuma lamunan masa SMP.
Dulu saya memuja-muja artis Hongkong Shangkuan Ling-fung.
“Saya butuh matahari tapi cinta saya pada bulan,” tanaman wijayakusuma menjawab.
Percaya atau tidak, tanaman memang bisa bicara.
Benar juga, ilmu berasal dari alam.
Alam mampu menjawab segalanya seandainya kita bersedia berserah padanya.
Words invite words, love invites love.
“Jadi kamu akan hadir saat purnama?” tanya saya.
“Ya,” jawab dia.
“Sumpah?”
“Lihatlah di salah satu sisi daun. Kamu akan melihat putik yang mulai muncul. Itu calon bunga.”
Segera saya cari.
Di satu lembar daun yang berbentuk panjang-panjang saya temukan putik kecil sekali.
Inilah rupanya yang dia maksud.
“Selamat datang Pengeran Wijayakusuma,” saya menyapa putik bunga.
Ia diam saja. Mungkin karena masih kecil. Belum fasih ngomong.
Pagi berikutnya putik membesar.
Merah keunguan.
“Good morning,” kata saya.
“Good morning, Mas.”
Hah, dia memanggil saya ‘Mas’.
Ah, alam memang penuh kejutan.
Dari titik kecil yang mula-mula saya lihat, tiap pagi saya menemukan perkembangan.
Saya mengistilahkan daya partumbuhan.
Dia senang dengan istilah yang saya bisikkan padanya itu.
“Kamu adalah daya hidupku,” kata saya.
Mulailah tumbuh tangkai, merah kecoklatan, tampak ada urat-uratnya. Bagian atas berbentuk segi tiga.
Pada saat bersamaan, bulan mulai menampakkan diri di langit jauh.
Mula-mula segores tipis warna perak.
Bertumbuh tiap petang menjadi bentuk lengkungan.
Semua orang tahu, nanti akan menjadi sabit—bulan sabit—sebelum kemudian bulat, bulat dan terang seterang-terangnya.
Pada pertumbuhan bulan menuju purnama, selain tangkai wijayakusuma yang kian kokoh, saya amati burung hantu mulai muncul di tempat biasanya.
Di belakang rumah ada pohon sengon besar. Dia biasa muncul di situ. Mengeluarkan suara seperti manusia tersedak biji salak.
“Kecuali kamu juga ada burung hantu menunggu bulan,” kata saya kepada Pangeran Wijayakusuma.
“Biar saja, urusan dia,” jawabnya.
Tampaknya pangeran tidak suka.
“Ia muncul tiap malam,” kata saya memanas-manasi.
Dia diam saja, tidak menjawab.
“Kamu cuma hadir semalam, setelah itu langsung layu,” saya melanjutkan kata-kata.
“Lebih baik demikian,” Pangeran Wijayakusuma buka suara. “Lebih baik ketemu kekasih sekali sebulan selama ratusan tahun, daripada ketemu terus-terusan tiap hari, dalam sebulan bosan dan tak merasa perlu ketemu lagi.”
Saya mengernyitkan dahi.
Dari mana Pangeran Wijayakusuma memiliki pekerti setinggi ini.
“Dari mana kamu memperoleh pengetahuan itu?” saya penasaran.
“Tergantung. Bercakap-cakap dengan orang bodoh saya jadi bodoh, bercakap-cakap dengan orang ngawur saya jadi ngawur. Bukankah kamu juga berpikir demikian?”
Giliran saya terdiam.
Pangeran Wijayakusuma rupanya bisa membaca pikiran orang.
Berjalan seiring siklus bulan yang makin mendekati puncak purnama, makin tegas bentuk sang pangeran.
Kuncupnya menggumpal berbentuk segi tiga, ditopang oleh tangkai bunga yang kian membesar dan berotot.
Kalau tadinya tangkai tunduk mengarah ke bawah, kini ia mulai hendak tegak. Tangkai membengkok, mengarahkan pucuk ke atas. Agaknya dia tersedot oleh sasaran rindunya, bulan di langit. Ia mulai mendongak ke atas.
Tersenyum saya melihatnya.
“Saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu,” Pangeran Wijayakusuma mendahului bicara. “Kamu membayangkan diri saya sebagai penis.”
Saya tertawa. Ternyata pangeran ini memiliki sense of humor.
“Kamu seperti penis yang mulai ereksi,” ucap saya.
“Aku terpesona menantikan tibanya kopulasiku dengan bulan,” ia berterus terang.
Tanpa ia ucapkan, getarannya sebenarnya bisa saya rasakan.
Alam tidak pernah ragu dan setengah-setengah.
Tidak ada air terjun yang tiba-tiba mengurungkan diri, ah tidak jadi terjun saja. Sungai mengalir secara wajar, menumbuk batu, menghanyutkan yang bisa ia hanyutkan, terjun ketika sampai ngarai curam.
Totalitas kembang wijayakusuma dalam percintaannya dengan bulan saya bayangkan serupa film Jepang karya sutradara Nagisa Oshima, In the Realm of the Senses.
Film ini secara eksplisit menampilkan adegan seks antara majikan lelaki dengan pelayan perempuan. Sangat total keduanya melakukan hubungan seks, bermain di antara tapal batas hidup mati, sebelum si lelaki benar-benar mati di puncak eksplorasi kenikmatan tubuh.
“Hemmm…,” gumam saya.
“Tunggulah besok malam kalau ingin melihat,” kata Pangeran Wijayakusuma.
Kelihatannya dia tahu saya tidak sabar ingin melihat dia bercinta dengan bulan.
Pangeran Wijayakusuma dengan Dewi Bulan.
“Saya kalau bercinta lama,” tiba-tiba saya mendengar suara lain. Suara perempuan.
Saya celingukan, kemudian melihat ke atas.
Bulan senyum-senyum.
Rupanya bulan yang baru saja bersuara.
“Begitukah?” saya tak percaya pendengaran sendiri.
“Ya, semalaman,” jawab bulan.
Angin berdesir. Malam tambah dingin.
Saya putuskan untuk tidur. Menunggu esok malam. Tidak saya duga bulan yang lembut sevulgar itu.
Terngiang ucapannya, bahwa dia lama kalau bercinta.
Pagi hari kembali saya periksa wijayakusuma.
Seberapa siap dia untuk mekar nanti malam seperti dijanjikannya.
Jagad dewa batara, yang terjadi adalah kekagetan.
Tangkai bunga wijayakusuma hilang.
Saya periksa seluruh daun. Jangan-jangan posisi bergeser—sesuatu yang saya tahu tidak mungkin. Tidak ada yang menggeser-geser posisi pot.
Apakah patah tak kuat menanggung beban kelopaknya?
Sama sekali tidak ada tanda-tanda tangkai patah.
Ia semata-mata lenyap.
Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja? Sungguh saya tidak habis pikir.
Sampai kemudian petang tiba.
Ini tanggal 15 dalam sistem kalender lunar.
Bulan bercahaya seterang-terangnya. Dunia mandi cahaya perak.
Kepada bulan saya bertanya: “Di mana kembang wijayakusuma?”
Terlihat bulan senyum-senyum, sebelum menjawab: “Kami sama-sama tidak tahan. Tadi malam ketika kamu tidur dia mekar. Saya mencumbu dan menelannya.”
Edan, saya terhenyak.
Mengapa tadi malam saya tidur.
Betul kata orang, wijayakusuma adalah kembang misterius.
Kita harus menjaganya, kalau perlu dengan ritual khusus.
Saya akan menanti, sebulan lagi.***
11/09/2021
Metafora lintas makhluk. Tak semua orang sanggup menanti wijayakusuma mekar.