Santiana, sosok yang hanya hidup dalam dunia cerita, serupa manusia yang hidup dalam dunia nyata mulai jenuh melulu di rumah. Ia coba-coba keluar, meski diakuinya ia dicekam perasaan tidak enak tatkala di luar. Lebih tentram bertapa dalam goa, begitu ia mengibaratkan.
Seperti orang coba-coba menyeberang sungai berair deras agar tidak hanyut dan hilang, tanpa direncanakan ia lewat depan restoran/bar langganan.
Terkesima dia. Tidak mengira efek wabah seperti ini.
Dihentikannya perjalanan, ingin menangkap seutuh-utuhnya gambaran tempat yang diakrabinya tersebut.
Pintu restoran tertutup rapat. Di teras bertumpuk dua kursi, salah satu ditumpangkan pada kursi lainnya secara terbalik.
Kaca, pintu, lantai, semua berdebu.
Ia mengintip melalui kaca ingin tahu keadaan di dalam.
Bar gelap, beku. Bangku-bangku dan kursi ditumpuk di sudut. Ada yang ditumpuk di atas meja, juga dalam keadaan terbalik.
Sangat menyedihkan.
Kucing kumal melintas.
Diingatnya bagaimana dulu tempat ini sedemikian menggairahkan.
Billboard menyala ketika petang tiba. Neon warna biru membentuk nama restoran disertai lingkaran merah. Ruangan remang khas suasana Irish bar—suasana yang selalu dirindukannya.
Dia biasa duduk di bangku tinggi di bar. Keperluannya cuma minum bir.
Seluruh kru mengenalnya. Bar tender tanpa bertanya menyiapkan merk bir kesukaannya dalam gelas besar, pine.
Glekkk, ia ingat kesegaran bir dingin.
Dan teringat Sisca.
Ah, apa kabar dia? Satu setengah tahun tak ketemu, pikir Santiana yang baru sadar bahwa selama ini ia melupakannya.
Dipotretnya tempat yang merana ini.
Ia kirim foto ke Sisca.
Dalam hitungan detik telepon selularnya berdetak.
Muncul jawaban Sisca.
“Mas…” begitu teks muncul di layar digital.
“Apa kabar Sisca?” ia menulis balasan.
“Saya sedang isolasi mandiri. Saya terkena covid,” ungkap Sisca sembari menyebut nama hotel tempatnya menjalani isolasi.
Rumah sakit sudah tidak sanggup menampung.
Petir meledak siang bolong.
Telah banyak kalangan dekat meninggal.
Seketika Santiana disergap perasaan tak keruan, antara merasa bersalah, prihatin, waswas, bahkan ketakutan bahwa kemanusiaan di ambang berakhir bersama pandemi.
“Beberapa kali saya mempertimbangkan untuk menghubungi mas, tapi tidak berani,” Sisca melanjutkan mengirim teks. “Saya tidak punya siapa-siapa, khawatir terjadi apa-apa pada diri saya.”
Keringat dingin keluar pada Santiana.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku, ucapnya dalam hati.
Betapa aku tidak mempedulikan sekelilingku.
Di bar itu ia dikenal sebagai Bambang—nama diri yang ia ciptakan sembarangan.
Pernah ada yang tanya apa pekerjaannya, dia berkata pensiunan.
Pensiunan apa?
Pensiunan bank, jawabnya lebih sembarangan, tanpa memikirkan apakah dirinya cocok sebagai pensiunan bank. Orang bank, seperti sahabatnya, Bramy, umumnya perlente, hati-hati, decent, tidak seperti dirinya acak-acakan.
Apa peduliku, siapa pun di sini tidak ada yang benar-benar peduli.
Para kru memanggilnya om Bambang.
Dia mengoreksi, sebaiknya mas Bambang. Kepada yang panggil mas dia janji memberikan tip besar. Makin banyak minum dia makin dermawan.
Semua berlomba memanggilnya mas.
Sejak itu meski terbilang gaek siapa saja di lingkungan tadi memanggilnya mas—mas Bambang.
Termasuk Sisca.
Seperti dirinya, Sisca langganan nongkrong di bar, meski urusannya lain.
Sisca duduk dengan posisi menggoda. Minum sekadarnya. Tujuan utama menggaet tamu, siapa tahu ada yang mengajak kencan.
Banyak ekspatriat menjadi langganan bar ini. Merekalah terutama sasaran Sisca.
Santiana tidak peduli.
Setiap orang bebas dengan pilihan masing-masing.
Pada saat bar sepi dan tidak punya teman kencan, Sisca selalu menghampiri, duduk menemaninya.
Santiana menawarinya minum dan makan.
Sisca tidak pernah menolak. Santiana memperhatikan bagaimana Sisca kelihatan bersyukur. Ia melihat Sisca selalu menunduk, berdoa sebelum menyantap makanan.
Acapkali Sisca bercerita mengenai hidupnya.
Santiana mendengarkan, meski sumpah tidak ada yang diingatnya.
Selain dermawan dan murah hati, ketika banyak minum ia tidak mendengarkan orang bicara.
Hearing without listening.
“Mas…” kembali Sisca mengirimkan teks.
“Apa yang bisa kubantu Sisca?” buru-buru Santiana menjawab.
“Bolehkah saya menelepon?” jawab Sisca.
Sebelum yang bersangkutan menelepon, Santiana memencet nomor menghubungi Sisca.
“Mas, pertama-tama saya harus meminta maaf pada mas,” ucap Sisca ketika telepon terhubung.
“Kenapa harus minta maaf. Saya gembira bisa bicara dengan Sisca,” jawab Santiana.
“Selama ini saya berbohong pada mas. Nama saya bukan Sisca, tapi Sri Murniati. Tidak seperti saya omongkan dulu bahwa saya berasal dari Semarang, saya berasal dari Pemalang.”
Santiana bahkan tidak ingat atau tahu bahwa Sisca yang ternyata bernama Sri Murniati pernah mengaku berasal dari Semarang.
“Mas tentu tahu dimana Pemalang,” Sisca menegaskan.
“Saya tahu. Sangat tahu. Tidak jauh dari Tegal.”
“Saya nanti akan mengirimkan alamat lengkap desa saya di Pemalang. Di kampung saya dipanggil Murni.”
Santiana jadi ingat, dulu sekali di daerah Cikampek nama gadis kota banyak menghiasi kiri kanan jalan sebagai nama warung: Sisca; Rosita; Helen; Sandra; Monica; dan lain-lain.
Cewek-cewek nongkrong di situ. Berpakaian minim, merokok.
Selain menjajakan makanan warung-warung tersebut menyediakan jasa perempuan penghibur.
“Keadaan saya sungguh kurang baik,” Sisca melanjutkan.
“Sisca harus optimis. Tidak boleh kehilangan semangat,” Santiana berusaha menghibur.
“Betul mas, tapi saya beberapa kali mendapat firasat kurang baik.”
Santiana diam, tidak ingin terlibat percakapan tentang firasat.
“Salah satu pertanda orang yang sudah dekat dengan waktunya katanya perasaan kesepian. Ia akan pulang sendirian. Di sini banyak orang tapi saya selalu kesepian,” ucap Sisca.
Baru kali itu Santiana mendengarkan Sisca sebagai lawan bicara.
Mungkin karena tidak dalam keremangan bar dan bir.
“Kalau diizinkan, kepada perawat saya akan memberikan nama dan nomor mas sebagai pihak yang harus dihubungi seandainya terjadi apa-apa pada saya.”
Santiana termangu-mangu.
“Mas…,” suara Sisca memanggil. “Apakah mas bersedia?”
“Tentu, tentu saya bersedia, Sisca,” jawab Santiana.
“Mulai saat ini mas jangan panggil saya Sisca. Panggil aku Murni seperti ibu saya di kampung memanggil saya.”
Santiana gemetar.
“Aku juga ingin minta maaf padamu,” Santiana berkata.
“Apa yang harus saya maafkan? Mas begitu baik.”
“Nama saya bukan Bambang. Saya bukan mas Bambang seperti dikenal di situ.”
“Oohh…” terdengar suara Sisca.
Dengan ringkas Santiana menceritakan dirinya.
Termasuk bahwa dirinya bukan pensiunan pegawai bank.
Dia membuka diri sejujur-jujurnya, meski tentu tidak semua bisa diterangkan kepada Sisca—yang kini Murni—dalam sesaat.
Bahwa dirinya bernama San Santiana; pernah kerja di koran dan menulis berita dengan kode SS; oleh kalangan luas dipanggil Es-es; punya galeri bernama Lucy in the Sky; nama aslinya bisa dicari di mesin pencari Google sebagai penulis sejumlah buku; dan lain-lain.
… dan kematian makin akrab, seakan kawan berkelakar.
Santiana teringat puisi Subagio Sastrowardoyo.
Betapa kacaunya hidupku selama ini, ia mengakui.
“Kamu akan kembali sehat. Percayalah padaku,” kata Santiana.
“Iya, mas,” jawab Murni.
“Yang diperlukan adalah daya hidup,” kali ini ia berucap sebagai San Santiana, bukan Bambang.
“Apa itu daya hidup, mas?”
“Kebalikan dari daya mati. Percayalah pada kekuatan doa, cinta, dan persahabatan.”
“Baik, mas. Saya merasa agak kuat kini.”
Telepon ditutup. Percakapan berhenti.
Santiana percaya Murni akan baik kembali.***
6/7/2021
Selalu saya tunggu cerpen2 Ma Bre yg padat tapi kaya imajinasi.
Terimakasih sudi membaca. Seperti panggung, dia hidup karena ada penontonnya, begitu pula cerita, berkembang karena ada pembacanya.
“Kamu akan kembali sehat. Percayalah padaku” ini kalimat yang dibutuhkan saat ini.