Skip to main content
Cerita

Pelanggan Koran Terakhir

By July 5, 2021One Comment

Saya orang koran. Loper dan pelanggan koran seperti diceritakan oleh Hasan Aspahani di bawah ini adalah bagian dari hidup saya. Selamat menikmati. Tetap di rumah. Jaga kesehatan. (bre)

1.

“MAS Bimo ada, Mbak Hana? Boleh ketemu sebentar?”

Aku mendengar Pak Johan loper koran langganan kami itu bicara dengan istriku. Aku bergegas ke teras.

“Iya, Pak Johan, ada apa? Uang langgannnya kan sudah dibayar, Pak?”

“Oh, ya, Mas Johan. Maaf. Merepotkan. Sudah, Mas.. Sudah dibayar. Tiga bulan malah. Makanya ini saya mau ngomong, Mas. Saya mau kembalikan uang langganannya yang sisa dua bulan…”

“Pak Johan mau kemana?” tanya istriku.

“Saya mau berhenti, Mas Johan, Mbak Hana…”

2.

Pak Johan sudah menjadi bagian dari hidup kami di rumah ini. Rumah warisan Papa ini. Aku tak tahu sejak kapan ia mulai menjadi loper koran.

Seingat saya, sejak kecil saya sudah mewarisi majalah anak-anak Bobo, Donald Bebek, lalu majalah remaja Hai, dari kakak-kakak saya, dan melanjutkan berlangganan ketika mereka sudah tak lagi remaja.

Pak Johan mengantarnya bersama Kompas dan majalah Tempo yang dilanggan oleh Papa. Juga majalah Femina dan Trubus yang dilanggan Mama.

3.

Pak Johan sudah seperti saudara bagi Mama dan Papa, juga bagi kami, anak-anaknya. Kami mengundangnya ketika kakak-kakak saya menikah. Juga ketika aku menikah dengan Hana.

“Saya ini bisa jualan begini karena Papamu, Johan…” kata Pak Johan memulai pembicaraan. Sebenarnya itu sudah sering sekali ia ucapkan. Saya tahu ceritanya.

Pak Johan dulu pemuda luntang-lantung. Pernah kerja pabrik tapi tak betah dan tak kuat kalau dapat giliran kerja malam. Komplek perumahan kami baru dibangun. Papa termasuk penghuni yang pertama. Papa di rumah sebelumnya yang ia kontrak berlangganan koran. Agennya tak mau mengantar ke alamat baru. Papa berkenalan dengan Pak Johan di pos ronda kampung yang tak jauh dari komplek.

4.

“Bapak kerja di koran ya? Bapak wartawan?” tanya Johan yang lagi mengadu bidak-bidak catur di pos ronda itu.

“Kerja di koran iya, tapi bukan wartawan… Saya bagian percetakan…” kata Papa, seperti yang diingat oleh Johan.

Papa lalu menawarkan Johan untuk pegang distribusi di komplek dan wilayah perumahan baru itu. Johan bekerja dengan gigih dan tampaknya cocok sekali dengan pekerjaan itu. Pelanggannya banyak.

Beberapa kali ketika perlu modal untuk menambah pelanggan dan membayar loper, Papa membantu Pak Johan. Pinjaman tak berjangka waktu dan tanpa bunga. Bagi Papa, kalau koran dan majalah terjual banyak kan itu membantu perusahaan juga.

5.

Beberapa tahun terakhir pelanggan koran cetak dan majalah anjlok. Pak Johan merasakan betul itu. Di komplek kami, barangkali kami adalah pelanggan terakhir. Bukan barangkali, memang begitu… Kami adalah pelanggan terakhir yang dilayani Pak Johan.

“Untungnya anak-anak saya semuanya sudah selesai sekolah dan sudah kerja… Tapi, gak enaknya nggak ada lagi yang mau mengantar langganan, Mas…”

“Bayar anak-anak loper aja, Pak…”

“Itulah, Mas Bimo, nggak ada yang mau lagi… Yang nganter koran sekarang orang tua-tua seperti saya…”

6.

Pak Johan menemui saya untuk menyelesaikan urusan sisa uang langganan yang sudah saya bayar. Kami terbiasa membayar tiga bulan di depan. Uang langganan terakhir baru berjalan sebulan. Sisa uang langganan dua bulan itulah yang ingin dikembalikan olehnya.

“Nggak usah dikembalikan, Pak…”

“Jangan, Mas… Jangan. Saya nggak enak.”

“Nggak enak sama siapa? Pak Johan itu sudah kayak keluarga kami, Pak…”

“Justru karena itu saya nggak enak, Mas…”

7.

Kata Pak Johan, Papa dulu pernah berpesan, jangan berhenti jadi agen koran. Itu pekerjaan penting. Mendistribusikan pengetahuan dan informasi. Itu bagian dari kerja besar bersama untuk membuat masyarakat tercerahkan.

“Nah, sekarang mau nggak mau saya harus stop, Mas… Sudah enggak kuat.”

“Pak Johan masih sehat gitu, kok…”

“Sudah tua, Mas… Saya juga nggak kuat lihat rumah-rumah para pelanggan yang sekarang kosong… Anak-anaknya pada nggak mau nungguin… atau dijual, penghuninya ganti dan nggak ada lagi yang langganan…”

8.

Maksud Pak Johan bicara dengan saya pagi itu adalah meminta foto lama. Foto dia dan Papa saya di teras. Saya tak tahu foto itu pernah ada atau tidak. Saya tak pernah melihatnya.

“Ada, Mas… Itu foto saya ingat banget, persis seminggu sebelum papamu meninggal. Papamu meninggal mendadak gitu, kan… Nggak sakit, nggak ada apa-apa…”

Saya berjanji akan mencarikan foto itu dan nanti kalau ketemu akan saya antar ke rumahnya. Pak Johan pamit pulang. Saya melihat wajahnya bahagia sekali. Saya tak bisa menolak uang langganan yang ia kembalikan.

9.

Seminggu kemudian, saya baru ingat untuk mencari foto yang diminta oleh Pak Johan. Saya ada pekerjaan yang mengharuskan saya dan istri saya keluar kota beberapa hari. Baru hari Jumatnya saya pulang. Foto itu memang ada. Disimpan di album foto lama keluarga.

Sabtu pagi, saya dan istri saya mengantar foto itu ke rumah Pak Johan. Rumahnya tampak sepi. Istrinya menyambut saya dengan ramah dan hangat, seperti biasa.

“Bapak mana, Bu… Ini ada fotonya dengan Papa yang minggu lalu dia minta…”

“Minggu lalu?” tanya istri Pak Johan, heran.

“Iya… sambil ngantar koran terakhir dan pamitan mau berhenti…”

“Bapak meninggal, Mas… dua minggu yang lalu…”

Jakarta, 2020 – 2021.

Join the discussion One Comment

Leave a Reply